25 | insecurity issue

1.9K 314 102
                                    

Pandangan Abi bergulir pelan.

Setelah cukup lama menunggu di kursi teras Almira's, dengan sepasang kaki yang terus bergerak gelisah, penantian Abi akhirnya terbayarkan. Visa kembali menghampirinya, kali ini ditambah dengan senyum tersungging di bibir perempuan itu. Sedikit banyak Abi bisa menebak. Ada pertanda baik di depan mata.

"Gimana, Teh?" Abi refleks berdiri.

"Masuk, gih. Langsung ke atas, ya."

Sesaat, Abi membeku. Ini benar-benar di luar prediksi Abi.

Jihane bersedia menemuinya, itu satu hal. Jihane menanti di area privasinya, itu lain hal. Abi masih ingat benar Aghni pernah bercerita mengenai aturan yang Jihane tetapkan di Almira's. Hanya orang terpilih yang diizinkan beredar di lantai dua rumah merangkap kantor tersebut. Hari itu Aghni benar-benar bahagia. Dia dan Jihane belum lama saling mengenal, tetapi Aghni sudah dimasukkan dalam daftar orang-orang pilihan.

"Nggak papa, Teh?"

"Jihane sendiri yang minta. Setelah naik tangga langsung ke kanan, Bi. Jihane tunggu Abi di balkon."

Abi mengangguk paham. Sejujurnya, Abi mengira dia akan mendapat jawaban sama seperti kunjungan-kunjungan Aghni terdahulu. Bagaimanapun secara tidak langsung Abi dan Aghni adalah satu paket. Menghindari Aghni seharusnya juga menghindari Abi. Meskipun Abi juga tidak menemukan alasan kenapa Jihane harus menolak berjumpa dengannya.

"Hai, Ji?"

Sapaan Abi mengundang Jihane yang tengah berdiri membelakangi untuk memutar tubuh ke arah kedatangan. Senyum khas perempuan titisan bidadari itu mengembang. Tidak lama, tetapi cukup membuat Abi menghela napas lega. "Halo, Bi."

"Gue ganggu nggak?"

"No, it's okay." Jihane mempersilakan Abi untuk duduk. "Lo mau minum apa, Bi? Gue minta Teh Visa buat bawain ke sini, ya."

"Nggak usah, Ji. Gue nggak lama, kok."

Abi memperhatikan sekitar. Ada sepasang kursi rotan berpelitur. Satu diletakkan di dekat pintu sementara yang satu lagi membelakangi pagar hitam setinggi dada orang dewasa. Sebuah meja kaca bundar berada di antaranya, lengkap dengan tanaman kaktus koboi tanpa duri sebagai penghias. Di bagian lantai dilapisi dengan permadani bermotif sederhana didominasi warna hitam dan putih. Juga, tak ketinggalan satu round stool dengan Macbook Air dalam posisi terbuka.

Singkatnya, balkon Jihane tidak terlalu luas, tetapi sukses mendatangkan rasa nyaman.

"Lo ... apa kabar, Ji?"

Jihane memaksakan senyum kecil mengintip di wajahnya. "I'm good."

Abi mengangguk saja. Meskipun Abi tak sepenuhnya bisa memercayai ucapan Jihane. "Kapan pulang ke apartemen, Ji?"

Jihane mengerling cepat. Jihane tak menyangka Abi akan melempar pertanyaan itu sesegera ini. Tak lantas menjawab, Jihane membawa tubuhnya untuk bangkit dan berdiri di belakang pagar. Ketika angin sore berembus sedikit lebih kencang, Jihane praktis mendekap dirinya sendiri. Telapak tangan Jihane mengusap sepanjang lengan, mengundang kehangatan untuk singgah.

"Aghni yang minta lo buat datang ke sini, ya?"

Abi menggeleng. "Aghni memang minta gue buat ketemu sama lo," terang Abi sembari beranjak untuk mendekati Jihane. Keduanya berdiri bersisian. Pandangan satu sama lain tak saling bertemu, justru menatapi langit dengan gumpalan awan kelabu di depan sana. "Tapi gue datang ke sini atas kehendak gue sendiri."

Jihane menarik napas panjang. Bibir perempuan itu mengerucut. Sejak tadi, sejak mengetahui kedatangan Abi, ada satu pertanyaan yang menggelayut di benak Jihane. Satu pertanyaan yang berat untuk diucap, tetapi sekaligus sesak bila terus ditahan. "Dia gimana kabarnya, Bi?" Jihane akhirnya tak lagi sanggup.

#2 When You Love the Same PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang