Malam itu hening menyelimuti perjalanan pulang Aghni dan Jihane.
Aghni sadar, kekasihnya—yang sejak tadi duduk di sebelahnya, tetapi hanya raganya yang tinggal, entah ke mana jiwanya melayang—tengah memikirkan sesuatu. Entah apa persisnya, itu yang Aghni tak tahu. Sejak Aghni kembali ke griya tawang milik Dex, tentu setelah mampu menguasai diri dan mengenyahkan sisa-sisa kesedihan di wajahnya, Jihane-nya tak seperti Jihane yang Aghni temui sebelumnya.
Jihane lebih banyak diam. Tangannya terus bergerak menyelesaikan masakannya, tetapi sorot matanya kerap kali tampak kosong. Jihane juga selalu menghindar ketika ada yang memandanginya lekat-lekat. Tak terkecuali yang datang dari Aghni. Ada saja yang Jihane lakukan agar dia tak harus bertahan di posisinya. Entah mengambil air minum atau sekadar memeriksa isi kulkas.
Pada pukul dua lewat sedikit, sesudah sesi makan siang, mereka berempat beralih ke ruang teater. Dex punya satu ruang khusus dengan televisi super besar memenuhi dinding seluas tiga meter, lengkap dengan seperangkat sofa dan sofa bed berwarna cokelat susu. Rasa-rasanya, XXI premiere kalah jauh dibanding dengan studio pribadi milik Dex ini. Dari semua hal luar biasa di griya tawang Dex, jujur saja, ruangan satu ini merupakan favorit Aghni.
Sayangnya, hal yang sama tak berhasil menarik perhatian Jihane.
Alih-alih menikmati film yang sedang diputar, Dex memilih The Adam Project sebagai film pembuka movie marathon mereka, Jihane malah sibuk termenung. Aksi si tampan Ryan Reynolds tak jua berhasil mengalihkan atensi gadis itu. Bahkan, Aghni sempat terpikir Jihane terlelap—saking tak ada suara yang terdengar selain helaan napasnya. Aghni kemudian merapat ke sofa bed Jihane. Aghni mendekap hangat gadisnya itu.
"Kalau kamu ngantuk, tidur aja. Nanti aku bangunin," begitu pesan Aghni.
Tidak ada penolakan dari Jihane. Kepala Jihane mengangguk samar selagi Jihane berbalik menghadap Aghni. Jihane menyembunyikan wajahnya di dada Aghni. Namun, Aghni tahu, sepanjang film berlangsung, Jihane sama sekali tidak tidur. Sesekali Jihane mengeratkan pelukan mereka. Setiap kali Aghni menunduk dan mengintip ke wajah gadis itu, mata Jihane tetap saja nyalang.
Tak ada bedanya dengan yang terjadi sekarang.
Aghni sungguh tak kuasa melihatnya. Tangan kiri Aghni terulur untuk menggapai sebelah tangan Jihane ketika mobil klasik yang dibawanya memasuki kawasan jalan bebas hambatan. Aghni mendekatkan punggung tangan gadisnya itu ke bibirnya. Satu kecupan dilepas, yang syukurnya berhasil membuat Jihane menelengkan kepala ke arah Aghni. Jihane memandanginya sekian jenak, lalu mengentas jarak dengan menjatuhkan sisi kepalanya di pundak Aghni.
"Kenapa, Sayang?" tanya Aghni.
"Nggak." Jihane menggosok-gosokkan pucuk hidung bangirnya ke ujung bahu Aghni. "I love you, Nin."
Bibir Aghni membentuk senyuman. Tanpa melepaskan pandangan dari jalan di depannya, Aghni membalas, "I love you the most, Ji." Sekali lagi Aghni mencium tangan Jihane. Kali ini bagian telapak tangan yang mendapat jatah. Bibir Aghni tertanam lama di sana. Ada sebagian dari dirinya yang enggan melepas.
Jihane tidak lagi menanggapi. Hanya helaan napas beratnya yang terdengar.
"Capek, Bep?"
"Hm-mh. Sedikit."
"Bobok, ya. Sampai apartemen aku bangunin."
Jihane masih diam. "Mau nemenin kamu aja," katanya kemudian. Jihane merangkul lengan Aghni lebih erat. Terlalu erat, bahkan. Jihane benar-benar seperti orang yang takut kehilangan. Seakan, sedikit saja terlepas maka Jihane akan kehilangan Aghni selama-lamanya.
Padahal, Aghni tidak ke mana-mana. Bagaimana mungkin bisa ke mana-mana jika pikiran, hati, dan tubuh Aghni sepenuhnya telah Jihane kuasai? Jihane menggenggam kesemuanya secara utuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
#2 When You Love the Same Person
FanfictionWhen you love the same person, would you stay there? [24/05] #665 fiksi out of 135k stories [15/04] #11 romancestory out of 2,4k stories [10/02] #1 aghninyhaque out of 147 stories