1 | interval

2.9K 293 23
                                    

Sabtu sore kali itu Teatrika tampak begitu ramai.

Tak hanya area parkir yang dipadati kendaraan roda empat, di bagian dalam kafe para barista tak henti-hentinya meracik kopi. Ada saja pesanan yang datang. Keriuhan itu bermula sejak pukul dua siang, yang adalah lebih dari tiga jam lalu. Sumbernya? Tentu saja ruang Baladewa, workspace terluas yang Teatrika miliki, yang hari ini kedatangan pengunjung dari Almira's dan vendor-vendor yang bekerja sama dengannya.

Jihane, sang pemilik wedding planner, terlihat duduk di kepala meja. Disusul Visa dan Nuke di kanan dan kirinya. Sesudah mendengarkan detail penjelasan dari vendor venue, AYANA Midplaza, Jihane mempersilakan tim dokumentasi mengambil alih. Sesuai permintaan klien, yang tak hanya menginginkan fotografi tapi juga sepaket dengan videografi, Winworks yang diwakili oleh Restu mulai menjelaskan secara rinci tugas dan kapan saja keberadaan mereka dibutuhkan. Salah satunya saat sesi foto selama proses makeup.

Teringatlah Jihane untuk mengenalkan Nuke pada vendor MUA. Nantinya semua yang berkaitan dengan MUA dan kebutuhan vendor maupun klien akan ditangani oleh Nuke alih-alih Jihane. Namun, tak ingin menyela, Jihane memilih mendengarkan penjelasan Restu sampai dengan selesai. Saat Restu kembali ke tempatnya duduk, sebelum meneruskan ke vendor MC—yang mendapat jatah paling akhir, Jihane lebih dulu meminta perhatian.

"Sori, guys, saya sela bentar, ya," ujar Jihane dengan mikrofon di tangan kanannya. "Untuk tim MUA bisa langsung berkontak dengan Mbak Nuke, ya. Nuke ini yang ditugaskan untuk sesi morning call. Gimana enaknya entar, Mbak Fitri dan Nuke bisa dibicarakan, ya, after pertemuan ini."

Permintaan Jihane diangguki serentak oleh stafnya dan perwakilan dari Marlene Hariman itu. Diam-diam, Nuke mengingatkan dirinya sendiri untuk memberi tahu Fitri bahwa dia akan stand by di lokasi sebelum pukul tiga dini hari, mengingat tadi Fitri menyinggung Ci Marlene akan memulai sesi makeup-nya tepat pukul tiga. Nuke juga akan memastikan betul-betul jadwal itu pada calon pengantin wanita. Nuke tak ingin tugas khusus yang diberikan Jihane untuk membangunkan calon pengantin ini berujung berantakan. Sebab, satu saja ada agenda yang meleset, akan berdampak pada keseluruhan rencana.

"Oke, teman-teman, terima kasih untuk briefing-nya hari ini. Semoga acara kita pekan depan berlangsung lancar tanpa satu kendala apa pun," Visa menutup pertemuan yang disambut dengan teriakan amin dari berbagai penjuru.

Sementara itu, Jihane melirik arloji di pergelangan tangannya. Nyaris pukul enam. Tak ingin membuang waktu, Jihane segera bangkit dari kursinya untuk menyalami satu per satu vendor yang hadir.

Mulai dari vendor wedding cake, photo booth, wedding shoes, favors & gifts, decoration & lighting, jewelry, dress & attire—semuanya, tanpa terkecuali, Jihane kesulitan untuk menyebutkan saking banyaknya. Tak lupa, Jihane juga menyapa kedua calon pengantin beserta orangtua masing-masing. Andai saja Visa tak pandai mencari celah, sepertinya untuk satu jam ke depan Jihane akan kembali disibukkan dengan obrolan lanjutan bersama orang-orang itu.

Ketika Jihane berhasil mengembuskan napas lega, berpikir dirinya telah selamat, Restu yang sejak tadi mengincar agar bisa berbicara empat mata dengan Jihane, tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghampiri Jihane yang berdiri seorang diri tak jauh dari pintu masuk.

"Hai, Ji," sapa Restu.

"Oh, hai, Tu." Berkecimpung di dunia seperti ini membuat Jihane terbiasa bersikap ramah-tamah pada siapa saja, tak peduli keadaan dirinya sedang lelah maupun suasana hatinya sedang tak mendukung. Seperti sekarang ini. Sungguh, Jihane hanya butuh sesegera mungkin merebahkan diri. "Gimana entar? Aman, ya?"

"Aman, aman." Pemuda bertubuh tinggi tegap itu dengan sengaja memamerkan senyum menawannya. "Pokoknya kalau Winworks yang pegang, gue jamin pasti aman."

"Glad to know that."

Restu, yang semakin terkesima dengan senyuman bidadari di hadapannya, bukannya menyudahi percakapan mereka, malah asyik sekali membetahkan diri di depan Jihane. Sebisa mungkin Restu mencari topik, agar pembicaraan mereka tak habis-habis, dan Jihane tak segera berlalu darinya.

"Anyway, Ji, lo free nggak ini malem?"

Beruntungnya Jihane, di saat dia kebingungan, di saat bersamaan Abi yang sejak tadi memperhatikannya dari kejauhan memutuskan untuk mendekat. Dengan ringannya Abi berdiri di sebelah Jihane dan merangkul pundak Jihane. Awalnya Jihane bingung, tetapi saat dilihatnya Abi mengedipkan sebelah mata padanya, Jihane lantas mengangguk paham.

"Ji, gue cariin dari tadi juga," keluh Abi. "Jadi, kan, abis ini?"

"Jadi, kok." Jihane mengiakan. "Restu, sori, ya, gue harus pergi. Next time kita ngobrol lagi. Sampai ketemu pekan depan." Begitu saja, masih dengan Abi yang belum rela melepaskan tangannya dari Jihane, keduanya meninggalkan Restu yang hanya bisa terbengong-bengong menyaksikan kepergian gadis incarannya.

"Udah aman, Ji," bisik Abi selagi membantu Jihane melebarkan pintu penumpang.

"Thanks, Bi. Kalau nggak ada lo, nggak tahu, deh, bakal gimana."

"Anytime, Ji," Abi menyahut setelah bergabung bersama Jihane di dalam mobil. "Lo sadar, dong, kalau cowok tadi punya perhatian khusus ke elo? Untung aja Mbak Pacar nggak ada. Gue yakin, deh, Aghni nggak bakal tinggal diam lihat lo dideketin gitu." Sembari mengenakan seatbelt, Abi terkekeh sendiri dengan imajinasi yang membayang di kepalanya.

Jihane ikut melepas tawa. Abi benar, Aghni memang sepencemburu itu. Menyenangkannya, Aghni bukan orang yang suka menutupi, tetapi bukan berarti juga meledak-ledak. Biasanya, Aghni langsung mengambil sikap. Aghni akan melindungi Jihane. Mereka baru akan membicarakannya ketika hanya tersisa mereka berdua, tak ada satu pun orang lain. Saat Jihane bertanya, Aghni dengan santainya menjelaskan, "Masalah kita urusan kita. Orang lain cukup lihat bagian bahagia-bahagianya aja."

"You okay, Ji?" Abi menelengkan kepala sebab tak ada tanggapan dari Jihane.

"Yeah, everything is fine." Jihane tersenyum kecil, tetapi masih belum mampu mengusir binar khawatir di matanya.

"Aghni masih belum ada kabar, ya?"

"Belum. Mungkin masih sibuk. Chat terakhir gue tadi siang juga belum dibalas."

"Bener-bener, deh, Aghni. Apa perlu gue kasih tahu dia ada cowok yang coba ajak lo pergi malam Mingguan biar dia di sana kebakaran jenggot?" Abi menaikturunkan alisnya, mencoba mengajak Jihane bersekongkol.

"Hahaha. Jangan mulai, deh, Bi. Aghni lagi jauh. Gue nggak tertarik berantem kalau lagi jauh-jauhan gini."

Abi manggut-manggut saja. Kemudian, hening. Keduanya lalu tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Abi dengan kemudi di tangannya dan padatnya jalanan ibukota di penghujung petang, sementara Jihane kembali menekuri aplikasi WhatsApp di ponsel pintarnya. Berharap tiba-tiba masuk pesan balasan dari sang kekasih hati, yang saat ini tengah terpisah ratusan kilometer darinya.

#2 When You Love the Same PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang