27 | tenang

2.9K 375 183
                                    

"Gue turut berduka, Ni."

Kedua sahabat itu saling memeluk erat.

Tidak ada lagi tangisan yang merebak di pipi Aghni. Aghni sudah lelah. Bagaimanapun tak ada yang bisa melawan takdir. Dan, takdir Mbah Kung telah usai. Meski berat Aghni terus menguatkan diri. Aghni percaya Mbah Kung sudah tenang di alam sana, sudah mendapatkan tempat terbaik di sisi Yang Maha Kuasa.

Abi mengurai lebih dulu dekapan mereka. Kedua tangan Abi menangkup pipi Aghni. Ibu jarinya mengusap lingkaran hitam di bawah mata Aghni yang tampak membengkak. "Lo tahu, kan, Ni, sejak dulu lo selalu punya gue?" Abi melihat Aghni mengangguk. "Jadi, tolong, jangan pernah merasa kalau lo sendirian."

Hati Aghni menghangat mendengarnya. "Thanks, Bi," bisik Aghni, lalu kembali menyembunyikan tubuh kurusnya dalam belitan sepasang lengan Abi.

"Lo akan selalu punya gue dan ... Jihane," lanjut Abi sembari mengusap punggung Aghni penuh sayang.

Mendengar nama itu Aghni sontak menegang. Untuk kali kedua pelukan di antara mereka terurai. Aghni melangkah menuju kaki ranjang. Duduk di sana dengan tatapan menerawang. Andai bisa sedikit lebih egois, Aghni ingin sekali meminta agar Jihane ada di sini bersamanya. Saat ini. Sekarang juga. Aghni ingin berbagi banyak hal yang tak mampu dia utarakan pada siapa pun.

"Jangan lo kira Jihane nggak peduli dengan kepergian Mbah Kung, ya!" kecam Abi dengan wajah tak terima. Entah mengapa ekspresi Aghni memancing Abi untuk bereaksi demikian. "Yep, gue dan Jihane ada di pemakaman kemarin," terang Abi lebih lanjut saat Aghni melempar tatapan skeptis padanya.

"Kalian ... datang?"

"Yes. Sayangnya Julian ada di sana. Jihane lebih tertarik untuk pulang dibanding nyamperin lo."

Kabar dari Abi benar-benar membuat Aghni kehilangan kata-kata. Mata gadis itu membulat, bibirnya terbuka seperti ingin melakukan pembelaan, tetapi tak ada satu huruf pun yang meluncur dari sana. Aghni bergeming di tempat.

"Berani taruhan, handphone lo sampai sekarang masih nggak aktif, kan?" terka Abi dengan mata menyipit. Pemuda itu benar-benar meyakini apa yang dia katakan. "Karena kalau udah aktif lo pasti tahu, Jihane—dan juga gue—berulang kali coba menghubungi lo."

Teringat akan benda itu, Aghni beranjak cepat menuju nakas. Ponselnya tergeletak di sana sejak Aghni tiba di Semarang dua malam yang lalu. Aghni terlampau sibuk. Seluruh perhatian Aghni tercurahkan pada sosok Mbah Kung yang terbujur kaku di ruang keluarga rumah mereka. Tanpa memedulikan Abi yang melirik penuh rasa ingin tahu, Aghni lekas menonaktifkan airplane mode di ponsel pintarnya itu.

Detik selanjutnya denting demi denting saling bersahutan. Satu per satu notifikasi masuk. Direct Message di Instagram, puluhan pesan di WhatsApp—personal maupun grup, juga tak ketinggalan laporan panggilan tak terjawab dari banyak nomor, dengan dua kontak yang paling mendominasi. Tentu yang datang dari Jihane Almira adalah yang terbanyak.

Napas Aghni praktis memberat.

Masih di posisinya duduk di tepian ranjang, dengan ponsel tak lepas dari genggaman tangannya, Aghni menelengkan kepala ke arah Abi. "Sekarang Jihane ada di mana, Bi?"

"Kemarin setelah dari pemakaman, gue antar Jihane ke rumahnya. Gue nggak tahu apa Jihane masih ...."

Tak memedulikan kalimat Abi yang belum selesai, Aghni meloncat berdiri. Aghni menyibak pintu kamarnya hingga membuka lebar, lalu melangkah cepat menuruni anak tangga. Aghni mengitari seisi rumah, mencari keberadaan Ibu. Usai ke ruang keluarga, bahkan teras, Aghni akhirnya menemukan ibunya di dapur, bersama Sri—gadis muda yang suka bantu-bantu di rumahnya. Keduanya tengah merapikan piring-piring sisa acara tahlilan semalam.

#2 When You Love the Same PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang