Bagian 28

89 3 4
                                    

"Tak ada yang tahu kepada siapa kita akan jatuh cinta, tapi sebaik-baiknya rasa cinta adalah yang selalu melibatkan Allah di dalamnya."

Assalammu'alaikum Cinta
Karya : Siti Maimunah

***

Langit tampak cerah hari ini. Matahari bersinar begitu indah. Perkarangan yang tak lagi asing itu juga terlihat begitu nyaman, bersih dan rapi, dengan tanaman hias sebagai pemanis. Seorang wanita menggunakan dress berwarna navy senada dengan kerudung yang ia gunakan, berdiri di depan pintu masuk rumah itu, seperti sedang menunggu seseorang, beberapa kali pemilik rumah menawarkannya masuk, tapi ia menolak. Lebih memilih di luar rumah. Dengan alasan ingin melihat langit yang hampir tak diisi awan. Sangat memesona dengan warna biru muda.

"Terkadang kamu terlihat begitu indah, terkadang juga mengerikan, dan terkadang membuatku terpana tanpa mengeluarkan kata-kata." Dia terus saja berbicara sendiri, mengagumi salah satu ciptaan Allah yang membuktikan bahwa Allah itu nyata. Bumi dan langit adalah bukti bahwa Allah itu benar adanya meskipun tak kasat mata.

"Sepertinya ayah senang berada di sana." Setiap menatap langit, Dinda akan mengingat kejadian menyedihkan ketika takdir harus membuatnya berpisah dengan cinta pertamanya. Dia bahkan tak pernah menyangka bahwa di usia 15 tahun lelaki itu meninggalkannya, akibat gagal ginjal kronis yang di derita oleh sang ayah, menjadikannya anak yatim. Namun, ia tetap bersyukur karena sampai saat ini, ia masih mempunyai seorang ibu, wanita hebat yang mampu membesarkannya hingga dewasa.

"Semoga ayah selalu bahagia, Dinda dan Ibu selalu mendoakan Ayah, semoga kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti," ujarnya pelan sambil tersenyum penuh harap. Kali ini tak ada butiran bening yang jatuh dari sudut mata Dinda. Memang benar, ketika rasa ikhlas itu sudah tertanam di hati, yang ada hanyalah harapan agar bisa dipertemukan kembali, walaupun dahulu tak mudah bagi Dinda menerima perpisahan yang begitu tiba-tiba. Seiring berjalannya waktu Dinda pun sadar, setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Dan sekarang dirinya juga menunggu giliran. Memang lawan dari kehidupan adalah kematian.

Kenop pintu di putar perlahan. Seorang wanita dengan dress bordir coklat tua, sedikit renda pada pergelangan tangan kanan dan kiri, menggunakan kerudung berwarna mocca senada dengan cadar miliknya. Kini tersenyum melihat sang sahabat.

"Dinda!" sapanya. Mendengar namanya dipanggil Dinda pun menoleh.

"Iya! sudah siap?" tanya Dinda

"Iya, ayo berangkat sekarang, biar pulangnya nggak kesiangan." ajak Humaira

"Ok." balas Dinda menyetujui.

"Ubi, Abi, Humaira berangkat sekarang." pamit Humaira kepada kedua orang tuanya, sebenarnya ia sudah berpamitan ketika masih berada di dalam rumah. Sekarang ia berpamitan kembali sebagai formalitas sebelum meninggalkan rumah. Terdengar sahutan dari dalam membuat Humaira tersenyum senang.

Dinda dan Humaira pun meninggalkan halaman rumah dengan langkah santai. Seperti biasa mereka akan mengobrol panjang lebar sebelum sampai di halte depan, bukan untuk menunggu Bis, melainkan angkot yang akan membawa mereka ke pasar pagi itu. Sudah menjadi rutinitas Humaira dan Dinda setiap ujung pekan mereka akan berbelanja ke pasar, selain membeli kebutuhan pokoknya bersama sang Ibu, Dinda juga bertugas menemani sang sahabat membeli bibit bunga mawar. Pemilik kedai bunga akan menjual bibit bunga mawar terbaik yang mereka dapatkan dari kota, bibit bunga hanya di kirim satu minggu sekali, jika tidak membelinya hari ini, maka Humaira harus menunggu satu minggu lagi untuk mendapatkannya. Tentu saja gadis pecinta mawar putih itu tak mau ketinggalan.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya mereka tiba di halte, satu-satunya tempat pemberhentian angkot di Desa itu, beberapa ojek terlihat mangkal di sana. Dinda dan Humaira memilih duduk dan lanjut bercerita.

Assalamu'alaikum Cinta (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang