42. Emang Boleh Pacaran?

2.1K 338 26
                                    

18:30

Malam hari di hari minggu, Jaena dan Kakaknya sudah berdiri di depan rumah Edward. Laki-laki itu tersenyum lebar saat Yuna membukakan pintu untuk keduanya.

"Alin, Jaena. Ayo masuk." Yuna semakin membuka lebar pintu utama rumahnya untuk kedua keponakannya tersebut.

"Berdua aja ke sini?" Tanya Yuna sambil menuntun Alina dan Jaena ke ruang keluarga.

"Iya, Tante. Tadi Adek bilang mau ke sini, makanya aku ikut sekalian." Balas Alina.

"Chandra sama Om Jordan mana, Tan?" Tanya Jaena saat tidak mendapati kedua orang tersebut.

"Om kalian lagi keluar kota, ada kerjaan di sana. Kalau Chandra ada di kamarnya, lagi main game kayaknya." Jawab Yuna.

"Aku mau ke Chandra dulu." Jaena dengan paper bag yang dibawanya lantas berjalan ke lantai atas di mana kamar Edward berada setelah Yuna membalas ucapannya.

Meninggalkan Kakak perempuannya tersebut bersama Tante mereka. Biarkan para wanita menghabiskan waktu bersama.

Jaena mengetuk pintu, lalu membukanya. Hal yang laki-laki itu lihat setelah masuk ke kamar Edward adalah Anak itu yang sedang duduk di kursi di depan komputernya.

Tidak seperti dugaan Yuna, Edward nyatanya tengah berkutat dengan buku-buku di tangannya, bahkan komputer di depannya tidak memperlihatkan game, melainkan pelajaran.

Benar-benar Anak yang rajin.

Edward menolehkan kepalanya begitu tahu ada yang masuk ke kamarnya. Ini sedikit mengejutkan. Kenapa Jaena datang ke rumahnya?

Jaena mengambil satu map di dalam paper bag yang dirinya bawa, lalu meletakkan map itu di atas meja Edward, membuat laki-laki yang sedang duduk tersebut memperhatikan benda itu.

"Lo ada masalah apa sama Marcus?" Jaena bertanya dengan serius.

Edward masih memperhatikan map di atas mejanya, itu benda yang pernah dirinya berikan kepada Marcus waktu itu.

"Kenapa dia nggak mau ngasih ini ke lo langsung? Dia bilang udah nggak bisa bantu lo lagi. Dan waktu gue lihat ini rekap nilai lo." Belum mendapatkan tanggapan tapi Jaena sudah tidak bisa bersabar lagi untuk mengutarakan pertanyaannya.

"Lo juga keluar dari klub bola. Nggak mungkinkan tiba-tiba keluar tanpa sebab?"

Edward mendongak menatap Jaena, lalu beranjak dari kursinya.

"Na, akan lebih baik kalau kamu nggak tau. Ini bukan masalah besar." Ucap Edward yang sebenarnya sudah tidak ingin membahas hal ini kembali.

"Enggak, gue harus tau lah. Gue yang sering minta lo supaya mau sekolah bareng, terus kalau sekarang lo punya masalah kayak gini, gue harus tau, gue harus bantu." Balas Jaena.

"Hidup nggak selamanya mulus kan? Jangan diambil pusing. Cukup ini jadi urusanku sendiri." Ucap Edward sambil menepuk pundak Jaena pelan.

"Nggak bisa. Gue harus terlibat." Jaena kembali menekankan.

"Jaena, jangan keras kepala."

"Lo yang keras kepala, Chan. Gue bisa gebukin Marcus sekarang juga kalau dia yang salah." Jaena ini benar-benar peduli dengan Edward, Saudaranya yang sudah tumbuh besar bersamanya.

Meskipun Edward kaku, tapi bagi Jaena tidak ada celah untuk tidak menyukai Saudaranya ini.

Setidaknya Edward tidak pernah munafik. Dia Anak yang jujur mekipun kata-katanya terkadang menyakitkan.

"Sebagian besar dari pemain di klub mengira kalau aku bisa selalu dimainin dalam pertandingan karena bantuan dari Ayahku dan kepala sekolah, singkatnya mereka kira aku pakai kuasa orang dalam. Mereka bilang hal yang nggak bener tentang Ayahku. Lingkungan dan persaingan yang nggak sehat, aku nggak bisa terus ketemu sama orang-orang kayak gitu. Lagipula nggak ada yang bisa diharapkan dari klub bola sekolah itu, karena dari mulai pemain sampai pelatihnya pun nggak bener. Aku berani taruhan kalau klub itu nggak akan pernah dapat trofi." Ucap Edward tidak bisa membiarkan Jaena terus mendesaknya.

TarachandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang