D I | 09

14.2K 511 12
                                    

Desya masih meringkuk di dalam selimutnya. Dirinya menggerang ketika mendengar suara dari handphonenya, tangannya meraba-raba atas nakas. Setelah menemukan benda pipih yang ia cari. Desya langsung mengangkat telepon tersebut.

"Eunghh, kenapa? Ngapain lo nelepon gue pagi-pagi gini Bella!"

Desya kesal, Bella sudah mengganggu acara tidurnya.

"Aduh, Des, sorry banget tapi ini gawattt banget Des,"

"Apasih! To the point aja bisa kan,"

"Ehhmmm," Bella seperti ingin mengucapkan sesuatu namun ragu.

"Oke, gue matiin sekarang,"

"Eh, jangan!"

"Yaudah, cepetan!"

"Des, bokap gue demam banget ini. Kemarin kayaknya dia kehujanan deh, lo ke sini yah. Kasian bokap gue,"

Desya menggigit bibir bawahnya, "Terus masalahnya sama gue apa?"

"Oke, fine. Dengerin gue dulu. Bokap gue dari semalem demam gue udah bujuk dia supaya mau makan sama minum obat, tapi bokap gue gamau. Tadi gue udah cek keadaan bokap gue, demamnya makin naik, gue khawatir. Lo kesini deh, gue yakin bokap gue pasti mau kalau lo yang bujuk dia," Bella menjelaskan panjang lebar.

Desya termenung mendengarnya, dirinya juga khawatir bahkan sangat khawatir dengan keadaan Arsen sekarang. Desya mengingat kejadian kemarin. Arsen sakit mungkin karena dirinya, Desya jadi merasa bersalah. Baiklah Desya akan menjenguk Arsen hanya sebatas tanggung jawab.

"Des? Lo masih disana kan?"

Desya langsung tersadar dari lamunannya sendiri.

"Ck! Iya, gue bakal kesana. Gue siap-siap dulu sebentar, tungguin gue."

"YEAYYY! Makasih Desyaa sayanggg," Bella bersorak gembira disana, entah apa yang membuatnya senang.

***

Ceklekk

Desya masuk kedalam kamar Arsen. Ruangan yang di dominasi oleh warna abu dan hitam, warna yang selalu menjadi ciri khas Arsen.

Pandangan Desya beralih pada seseorang yang sedang meringkuk di dalam selimutnya. Desya berjalan menuju ranjang lalu duduk di tepiannya. Desya memperhatikan wajah Arsen yang terlihat pucat namun masih tetap tampan. Tangannya terulur untuk mengelus surai rambut Arsen.

"Ehmm," Arsen menggeliat karena merasakan usapan lembut dan nyaman di kepalanya.

"Bella udah ayah bilang, ayah gapapa, kamu gausah khawatir bentar lagi juga pasti sembuh kok." gumam Arsen.

"Gimana mau sembuh, om aja gak mau makan apalagi minum obat. Udah tua tapi kelakuan kayak anak kecil,"

Arsen langsung membuka matanya ketika mendengar suara yang tidak asing. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seseorang yang sangat ia rindukan.

Arsen langsung saja menarik Desya hingga membuat Desya berbaring kemudian memeluknya erat. Desya yang mendapatkan serangan tiba-tiba dari Arsen menjadi gugup.

"O-om lepasin," pinta Desya.

"Biarkan gini dulu, sebentar saja," Arsen malah mengeratkan pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Desya.

"OM! SAYA BILANG LEPASIN," tanpa sadar Desya membentak Arsen, dirinya risih dengan posisi yang seperti ini.

Arsen yang mendengarnya tentu saja terkejut, kedua kalinya Desya membentaknya. Dirinya menjauh dari tubuh Desya lalu membelakanginya.

Desya langsung tersadar, ia merutuki dirinya sendiri. Desya memberanikan diri untuk memeluk Arsen dari belakang.

"Om maaf, Desya tadi gak sadar. Desya juga kaget om tiba-tiba meluk Desya,"

Arsen menghela nafas, "Tidak apa-apa, saya ngerti. Kamu pulang saja, saya janji bakal makan dan minum obat nanti. Kamu tidak usah merasa bersalah kepada saya,"

Desya terdiam, ia yang mendengarnya menjadi sesak. Dirinya jadi semakin merasa bersalah. Desya berusaha untuk membalikkan badan Arsen agar menghadapnya, namun Arsen menolak.

"Saya gamau, lebih baik kamu pulang, saya akan menyuruh supir untuk mengantarkan kamu," ucap Arsen.

"Om, maaf. Desya janji gabakal gitu lagi. Om mau dipeluk kan? Ini Desya udah peluk. Jangan ngambek ya, Desya udah jauh-jauh kesini buat jenguk om loh," Arsen masih tak bergeming. Desya yang melihatnya hanya menghela nafas.

"Yaudah, kalau itu maunya om Desya pulang aja," Desya melepaskan pelukannya. Arsen langsung membalikkan badannya lalu memeluk Desya erat, wajahnya ia tenggelamkan di ceruk leher Desya.

"Jangan," lirihnya.

Desya tersenyum, tangannya mengelus surai rambut Arsen. Sudah beberapa menit mereka terdiam dengan posisi yang sama.

"Om, sampai kapan kita kayak gini?" tanya Desya.

"Kenapa, kamu gak nyaman?"

"Enggak, bukan gitu om,"

"Yaudah, kamu diam saja dulu."

Desya akhirnya pasrah. Membiarkan Arsen memeluk dirinya sesukanya. Dirinya juga merasa nyaman berada dalam dekapan Arsen.

"Kamu tau, saya sangat merindukan kamu. Saya sangat pusing, pengen bertemu kamu. Saya sebenernya ingin menghubungi kamu hanya saja saya takut mengganggu, saya juga takut kamu tidak mau menemui saya. Tapi akhirnya kamu berada disini bersama saya, terima kasih banyak," Arsen tiba-tiba berucap panjang lebar.

Desya yang mendengarnya menjadi terharu. Dengan perlahan Desya membalas pelukan Arsen lalu mengelus lembut punggungnya.

"Iyaa, sekarang Desya udah disini sama om. Om udah janji kan tadi bakalan makan sama minum obat. Nanti Desya masakin bubur deh,"

Arsen menduselkan hidungnya ke leher Desya, "Hmm, iya."

Sudah 15 menit, Arsen masih saja tidak mau melepaskan pelukannya.

"Om, lepas dong. Desya mau masak di bawah,"

"Hmm," Arsen menduselkan wajahnya di dada Desya.

Desya merasa risih, dirinya langsung menahan kepala Arsen, "Udah om, Desya geli. Lepasin gak! Atau Desya pulang sekarang juga," ancamnya.

Arsen akhirnya mau melepaskan pelukannya. Desya menahan tawa ketika melihat wajah Arsen yang sedang ngambek, bibirnya dimajukan beberapa senti. Rasanya Desya tidak percaya jika yang ia lihat adalah Arsen karena yang biasa Desya lihat hanya wajah datarnya yang seperti tembok.

"Udah jangan ngambek, entar Desya suapin deh makannya." Desya berusaha membujuk Arsen.

"Hm, jangan lama tapi,"

"Iyaa,"

Baru saja Desya hendak melangkahkan kakinya, tangannya sudah dicekal oleh Arsen.

"Jangan lama, inget!"

Desya menghela nafas. "Iyaa, sayang."

"Shit!" Arsen menahan sudut bibirnya agar tidak tersenyum. Dirinya sungguh salting sekarang.

"Kenapa diem aja? Om salting yah?"

Telinga Arsen kini sangat merah. Desya yang melihatnya tertawa geli.

"Dasar lemah, baru dipanggil sayang aja udah meletoy," ejek Desya.

"Awas kamu! Saya akan balas nanti," Arsen menatap tajam Desya yang masih tertawa.

Desya tidak peduli dengan tatapan Arsen, ia masih saja tertawa. Desya melanjutkan langkahnya untuk menuju dapur, ia meninggalkan Arsen yang sedang menahan malu.

Jiakhhh si om malu-malu kucing nichhh.

****

Kalian jangan bosen ya sama cerita ini :D

Di part ini mungkin agak panjang atau kurang?

Duda ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang