Desya terbangun tengah malam. Tubuhnya terasa panas belum lagi rasa sakit di kepala yang ia rasakan. Desya terisak, jika sudah sakit begini yang Desta butuhkan hanyalah bundanya.
"Hikss...... Bundaa...... Desya mau bunda," lirihnya.
Arsen terbangun, ia terusik karena tangisan Desya. Arsen membuka matanya kemudian terdiam. Ia beralih ke arah Desya yang masih menangis lalu bergerak mencoba untuk menenangkannya.
"Hei, kenapa?" Arsen mencoba untuk berbicara lembut.
Desya menoleh. Bibirnya melengkung ke bawah dan jangan lupakan pipinya yang basah karena lelehan air mata.
"Desya mau pulang, mau sama bunda." rengeknya seperti anak kecil.
Arsen melihat ke arah jam, sudah tengah malam. Ia tidak bisa membiarkan Desya pulang sendirian meskipun di antar supir tetap saja Arsen tak akan percaya begitu saja. Dirinya juga tak mungkin untuk mengantarkan Desya jujur saja saat ini Arsen sangat lelah mengingat sedari tadi Arsen hanya duduk di sofa dengan berbagai tugas kantor yang harus ia kerjakan.
"Jangan sekarang, ya. Besok saja, sekarang saya capek." tangan Arsen aktif mengelus-ngelus pipi Desya.
Desya menggeleng tanda tak mau. "Mau sekarang... Hiks.... Desya mau sama bunda aja."
Arsen menghela nafas sepertinya cukup sulit untuk membujuk Desya.
"Sudah malam Desya. Saya tidak bisa menyuruh supir untuk mengantarkan kamu malam-malam begini dan saya juga butuh istirahat." ucap Arsen.
Desya semakin terisak. Arsen menarik Desya ke dalam pelukannya namun Desya memberontak, tangannya ia gunakan untuk memukul dada Arsen.
"Gak mau! Desya mau pulang! Pokoknya mau pulang.... Hiks.... Desya mau ketemu bunda!" teriaknya. Ya, beginilah Desya jika sudah sakit ia akan rewel juga.
Arsen menahan tangan Desya. Rahangnya mengeras ia tidak suka di teriaki apalagi sekarang ia sedang kelelahan jangan salahkan Arsen jika ia akan melampiaskan emosinya pada Desya.
"Kamu dengar saya tidak! Saya bilang besok! Apa susahnya sih nurut dengan ucapan saya! Saya capek Desya jangan membuat saya semakin capek dengan kelakuan kamu yang kekanak-kanakan!" sentak Arsen.
Ucapan Arsen berhasil membuat Desya terdiam. Desya membalikkan badannya memunggungi Arsen. Arsen bisa melihat punggung Desya yang bergetar hanya saja Desya menggigit bibir bawahnya agar isakkannya tak terdengar.
Arsen mengacak rambutnya frustasi, ia sadar sudah keterlaluan apalagi posisinya Desya sedang sakit. Seharusnya Arsen bisa sedikit memaklumi sikap Desya.
Arsen memegang bahu Desya berusaha membalikkan badan Desya agar mau menghadapnya. Tentu saja Desya menolak, ia beberapa kali menepis tangan Arsen. Namun tenaga Desya tak sekuat tenaga Arsen akhirnya Arsen berhasil membalikkan tubuh Desya dan kini mereka berdua saling berhadapan.
Desya tak berani menatap mata Arsen, ia menundukkan wajahnya. Desya juga semakin kuat menggigit bibirnya.
Arsen tersenyum lembut, ia semakin merasa bersalah. Arsen menangkup wajah Desya kemudian mengecup kedua mata Desya dengan lembut. Bisa ae nih duda...
"Sstttt.... Udah ya, kan saya bilang besok. Kalau sekarang tidak memungkinkan Desya, kamu harus bisa ngertiin saya."
Desya memandang Arsen dengan polos. Arsen terkekeh kecil pandangannya beralih ke bibir Desya, ia mengusap lembut bibir itu kemudian menariknya ke dalam pelukannya.
"Udah, jangan di gigit. Maaf saya sudah keterlaluan. Nangis saja tidak apa-apa, luapkan semuanya pada saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Duda Impian
Teen FictionBerbagai cara ia lakukan, berharap sang duda akan luluh. Namun, ketika dirinya sudah menyerah karena tidak tahan dengan sikap yang sang duda lakukan kepadanya. Sang duda dengan terang-terangan malah memperjuangkannya. Padahal dirinyalah yang meminta...