Tangannya tergerak untuk mengelus foto yang terpajang di salah satu meja. Sebuah senyum manis terukir di bibirnya. Foto itu menunjukkan sebuah senyum bahagia seorang balita bersama ayahnya. Balita itu sangat cantik nan manis dengan balutan dress yang ia kenakan begitu juga dengan sang ayah yang terlihat sangat tampan dengan balutan kemeja putih. Di foto itu sang ayah mengecup pipi balita yang berada di pangkuannya, tak lupa di tengah-tengah keduanya terletak sebuah kue dengan lilin yang menunjukkan angka dua.
Desya mengalihkan pandangannya pada Bella yang tertidur pulas. Seluruh badannya terbungkus selimut. Aroma minyak telon tercium dimana-mana. Ya, setelah dari kampus keadaan Bella kian memburuk. Hal itu yang membuat Desya harus izin beberapa mata kuliah hari ini.
BRAK!!!
Desya tersentak. Ia mematung ketika melihat seseorang di depan pintu dengan penampilan yang sedikit berantakan, nafasnya pun masih belum stabil. Tak berselang lama, kedua mata mereka bertemu. Desya masih terdiam kaku di tempat bahkan ketika orang itu mulai mendekati dirinya.
Desya meringis ketika seseorang dihadapannya
dengan kejam meremas kuat bahunya."Apa yang sudah kamu lakukan pada anak saya?!" teriaknya marah.
"Shhhss........ Le—pas, om." Desya memegang erat lengan Arsen yang berada di bahunya, menyalurkan rasa sakit yang sedang ia terima.
Tak puas dengan jawaban yang Desya berikan. Arsen dengan segala emosi yang menguasai dirinya. Ia langsung menarik lengan Desya, menyeretnya keluar kamar Bella.
Langkah kaki Desya terseok-seok berusaha mengimbangi langkah kaki Arsen yang begitu cepat menyeretnya keluar. Desya beberapa kali menepis lengan Arsen namun tak berhasil juga. Arsen berhenti melangkahkan kakinya, ia memutar tubuhnya menghadap Desya.
Mereka saling bertatapan. Desya dengan mata sayupnya, dan Arsen dengan mata tajamnya. Bukannya melepas, Arsen malah semakin meremas kuat jari-jari Desya hingga sebuah suara terdengar akibat remasan tersebut.
"Aw—aw om! Udah sakit!" Desya menitikkan air matanya. Sial! Kenapa jika berhadapan dengan Arsen dirinya bisa selemah ini?
Arsen melepaskan genggamannya, ia mengacak rambutnya frustasi. Desya terdiam sejujurnya ia bingung dengan keadaan seperti ini.
"Kamu..... " Arsen mengangkat jari telunjuknya pada Desya.
"Kenapa tidak bisa membiarkan hidup saya dengan tenang?! Kenapa selalu saja membawa dampak buruk pada saya maupun anak saya?! Kenapa!!! Dendam apa yang kamu punya untuk saya maupun anak saya. Katakan!! Katakan dengan jelas!"
Desya menggeleng, ia menggenggam jari Arsen yang terangkat.
"Enggak om, Desya sama sekali gak punya dendam untuk kalian. Malahan Desya say—"
"Bohong! Kamu bohong! Saya sudah muak dengan segala kebohongan yang kamu ucapkan!"
"Kamu lihat pintu yang terbuka lebar di sana.... " Arsen menunjuk pada pintu utama yang terbuka.
"Sekarang kamu pergi dari sini, bukan hanya dari rumah ini tapi dari hidup anak saya maupun saya!" ucapnya dengan tegas.
Desya menggeleng dengan air mata yang terus menerus menetes. Tetesan itu semakin lama semakin deras.
"Gak! Desya gak mau! Desya gak akan pernah ninggalin Bella gitu aja!" tolak Desya mentah-mentah.
"Pergi!"
"Cukup! Om sadar gak sih! Kehadiran Desya bukan ngebuat dampak buruk bagi Bella. Apa pernah om liat Bella menangis sendirian lagi di kamar selama ini?! Apa om pernah ngeliat senyum lebar Bella seperti sekarang?! Bahkan dengan tingkah konyolnya?! Pernah?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Duda Impian
Teen FictionBerbagai cara ia lakukan, berharap sang duda akan luluh. Namun, ketika dirinya sudah menyerah karena tidak tahan dengan sikap yang sang duda lakukan kepadanya. Sang duda dengan terang-terangan malah memperjuangkannya. Padahal dirinyalah yang meminta...