5: Anak Panah

42 15 4
                                    

Clara akhirnya sampai di depan pintu kamar Asher. Dia agak kagum dengan ukiran es yang melekat di daun pintu kamar itu. "Pangeran Asher mungkin punya selera yang tinggi mengenai seni. Itu mungkin akan menjelaskan ukiran indah di daun pintu kamarnya."

"Ah, aku harus mengetuk pintu agar bisa masuk."

Ketukan pintu dari luar kamar didengar oleh Asher. Dia bergegas membuka pintu.
"Ada apa lagi, Bunda?" Tanya Asher. Dia terkejut saat melihat yang di hadapannya sekarang adalah Putri Clara.

"Tuan Putri Clara?"

"Heh, jangan panggil aku Tuan. Kita sama kedudukannya, Pangeran." Clara tersenyum.

"Kalau begitu, kenapa kau kemari? Ada yang bisa aku bantu?" Asher membuka pintu lebih lebar. "Kau boleh masuk, Putri."

Clara mengangguk dan masuk. "Sebenarnya, ada yang ingin aku bahas bersamamu. Kita berdua akan membahas ini secara pribadi."

Asher menutup pintu kamarnya. "Di sini tidak ada orang lain selain diriku. Jadi, kau tak perlu khawatir percakapan pribadi kita akan di dengar orang lain."

Clara tersenyum. Asher kemudian memberi isyarat bahwa Clara dipersilakan untuk duduk.

"Kenapa kau tidak ikut dengan yang lain keliling istana?" Clara bertanya, tetapi tak dijawab Asher.

"Ngomong-ngomong, kau punya banyak sekali buku." Clara memandang rak buku yang berada di kamar Asher.
"Kau pasti suka membaca. Aku juga suka membaca," lanjut Clara.

Asher hanya mengangguk. "Kita ternyata memiliki kesamaan."

"Hei, kau rupanya sangat tampan dari yang kubayangkan." Clara tersenyum lagi.

Untuk kesekian kalinya, Asher menatap senyuman manis Clara. "Maksudmu?"

"Matamu yang indah, rambutmu yang putih, dan wajahmu yang ..."

"Kau ingin menghina rambutku yang putih?" Asher menyela dengan pertanyaan.

Clara menggeleng. "Bukan itu maksudku, aku ..."

"Sepertinya, kita sudahi membahas hal ini." Asher menundukkan kepalanya.
"Kau tadi ingin membahas hal pribadi. Katakan saja sekarang!"

"Uhm, kalau begitu, kau tahu soal perjodohan kita?" Clara mulai bertanya.

Asher tertawa kecil saat Clara bertanya. "Sudah kuduga kau akan menanyakan hal itu."

"Kalau begitu, bagaimana menurutmu? Perjodohan kita akan membawa untung bagi negara kita masing-masing."

Asher menggeleng. "Tidak. Aku minta maaf harus mengatakan ini. Aku tidak ingin dijodohkan dengan siapapun. Aku juga tak ingin menikah dengan seorang Tuan Putri yang akan menjadi Ratu di kerajaan Air."

Clara mengangguk mendengar jawaban pasti itu.
"Ya, mungkin aku bukan ciri-ciri orang yang kau sukai, Pangeran."

Asher menyeringai. "Sejujurnya, Putri memang sangat cantik. Namun, menikah denganku hanya akan membuatmu menderita karena cinta di antara kita tidak ada sama sekali."

"Dengar, ayahku berkata kalau perjodohan ini akan menjadikan kedua negara kita memperoleh kekuatan baru. Kau ..."

"Aku tahu itu. Ayahku juga berkata seperti itu. Namun, sebaiknya kau berpikir tentang masa depanmu, bukan masa depan kerajaanmu. Kau bisa jadi ratu yang mandiri tanpa harus menikah dengan raja dari kerajaan lain." Penjelasan Asher membuat Clara tak bisa menjawab.

Clara terdiam sejenak dan mengangguk paham. "Baiklah, sepertinya aku mengerti keputusanmu."

Clara kemudian berdiri. "Percakapan kita mungkin diakhiri sampai di sini saja, Pangeran."

***

Sementara itu, di hutan pengasingan, putri dari Kenneth dan Belle yang bernama Lucy kini bertumbuh dewasa seiring berjalannya waktu.

Dia memiliki kegemaran yang unik, yakni memanah. Ayahnya, Kenneth membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Kenneth memberikannya sebuah busur dan beberapa anak panah untuk membantu Lucy mengembangkan kemampuan memanahnya.

Saat ada kunjungan para bangsawan ke Negeri Es, saat itu juga Lucy sedang berlatih memanah burung-burung di langit. Dia terus berusaha, walau ujung-ujungnya tak ada satupun anak panahnya yang mengenai burung-burung kecil itu.

Kenneth yang menemani latihan putrinya itu hanya diam seraya tersenyum. Akhirnya ada sebuah panah dari busur Lucy yang melesat terlalu jauh. Panah itu mendarat entah kemana, dan Lucy pun tak menghiraukan kemana perginya anak panah itu.

"Nak, kau sepertinya memanah dengan amarah. Panahmu melesat terlalu jauh!" Kenneth tertawa.

Lucy menjatuhkan busurnya ke tanah dan melihat ayahnya. "Ayah mengejekku, ya?"

"Tidak! Caramu memanah yang membuat ayah tertawa. Dari tadi tak ada satupun burung yang berhasil kau taklukkan."

Lucy menarik nafas dalam-dalam. "Ya, ayah benar!"

"Itu karena kau kurang fokus, Nak." Ayahnya melangkah mendekati Lucy dan menepuk bahunya.

"Bagaimana aku bisa fokus, Ayah? Lihatlah! Untuk memanah babi hutan atau hewan darat lainnya, itu cukup mudah karena mereka memiliki saat untuk diam. Sementara burung di atas sana, mereka terus bergerak. Aku tidak bisa! Bagaimana cara membuat burung-burung itu diam? Ah, ini menyebalkan!" Lucy menggerutu.

"Dengarkan arahan dari ayah! Tetapkan anak panahmu di satu arah saja, jangan mengikuti kemana arah burung itu bergerak. Ketika burung itu akan mendekati arah yang kau tetapkan, lesatkan anak panahnya!" Ayahnya tersenyum saat memberi arahan itu.

Lucy terdiam sejenak. Ia berusaha untuk mencerna kata-kata ayahnya tersebut. Beberapa saat kemudian, ia mengangguk tanda ia paham akan perkataan Kenneth.

"Nah, sekarang kau paham, kan?"

***

Sementara itu, Clara kembali ke taman kerajaan dan menemui Abner yang tengah duduk di bangku taman. Clara kemudian ikut duduk di samping Pangeran Api itu.

"Kau sedang apa?" Tanya Clara.

"Oh, hai. Kau kembali, Clara. Aku sedang melihat cara merawat Ice Flower yang sangat indah ini. Para pekerja kebun mulai menyebarkan sihirnya untuk menambah keindahannya. Aku suka sekali melihatnya." Abner menjawab panjang lebar.

Clara tersenyum. "Ice flower memang berwarna-warni dan indah. Namun, mereka dingin sekali."

Ice Flower bunga cantik yang tumbuh di Negeri Es ini memiliki keindahan yang luar biasa dengan warna-warna yang cerah seperti bunga lain. Namun, uniknya bunga ini sangat dingin ketika disentuh. Para pekerja kebun biasanya akan mempertahankan keindahan bunga-bunga itu dengan sihirnya.

Setelah selesai melihat cara para pekerja kebun menggunakan sihirnya, Abner menatap Clara dan bertanya.
"Ngomong-ngomong, Clara, kenapa tadi kau menemui Pangeran Asher?"

***

Matahari terbenam, para bangsawan yang berkunjung akhirnya kembali ke kerajaannya masing-masing. Ryan melambai ke arah Putri Aurora dan yang lainnya.

Sementara Asher, ia berdiam di kamarnya sambil melihat kepergian para tamu kerajaan dari jendelanya. Dia menghela nafas dan berusaha melupakan tentang Clara yang tadi berbincang dengannya. Dia tak menyangka sudah berbicara sangat banyak dengan seseorang hari ini.

Saat malam hari, Asher meraih dan mengamati panah yang ia letakkan di atas mejanya. Itu bukan panah dari prajurit kerajaan. Panah itu memecahkan kaca jendelanya dan hampir melukainya tadi siang. Dari posisi jendela, Asher berpikir kalau panah itu berasal dari hutan yang berada tak jauh dari istana kerajaan.

Dalam kegelapan malam, Asher menatap hutan lebat itu dan mulai berpikir ada apa saja di dalamnya. Dia juga heran, kenapa ayahnya selalu menutupi rahasia tentang hutan itu.

Ya, ngomong-ngomong, panah yang berada di tangan Asher sekarang adalah panah Lucy yang melesat sangat jauh tadi siang.



T. B. C.

Element [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang