13: Perdebatan

16 7 0
                                    

Nou kini membawa Kegan ke suatu tempat ketika gelap malam masih menyelimuti alam. Kegan mengikuti jalan yang ditunjukan oleh pelayan barunya itu. Rasa penasaran yang besar menghampiri batinnya. Hingga, setelah beberapa lama berjalan cukup jauh, Nou berhenti di depan sebuah gua yang memiliki akses masuk yang kecil. Kegan menatap gua tersebut dan menatap Nou.

"Aku belum pernah melihat tempat seperti ini sebelumnya," ucapnya pada si pelayan.

"Tuan, inilah tempat persembunyian kami. Kami sangat mempercayai Tuan sehingga memberitahu tempat rahasia kami selama ini." Nou menjelaskan.

"Lalu, bagaimana kita masuk ke dalamnya? Jalan masuknya sangat mustahil untuk dilewati."

"Aku punya jalan masuk lain. Itu adalah jalan rahasia! Tuan bisa ikut denganku lagi untuk tahu jalan masuknya."

***

Matahari perlahan memunculkan sinarnya. Lucy bangun tidurnya dan terkejut tak mendapati Asher tidak ada di tempat tidurnya.

"Dia kemana?"

Lucy segera mengecek di luar rumah, tetapi Asher tak ada di sana. Lucy seketika panik dan memanggil ayahnya.

"Ayah!" Ia berteriak.

Kenneth terbangun dan melihat putrinya itu sedang panik. Lucy segera memberitahu kepada ayahnya bahwa Asher telah pergi tanpa sepengetahuan mereka. Mendengar itu, Kenneth tak bereaksi apa-apa.

"Biarkan saja dia pergi. Ayah tidak terlalu peduli!"

"Tapi, ayah ... dia,"

"Sudahlah, Lucy! Biarkan dia pergi kalau ia mau. Kita tak boleh menahannya." Kenneth berdiri dan bersiap untuk mandi.

"Aku tak tahu, kenapa aku benar-benar sangat mengkhawatirkannya," ucap Lucy dalam hatinya.

Ia keluar dari rumah dan menatap pepohonan yang masih diselimuti salju putih akibat badai dua hari yang lalu. Lucy lalu mengambil busur dan anak panahnya dan pergi menjauh dari rumah untuk mencari Asher.

***

Cyra mengunjungi suaminya, Drake, yang tengah mengurusi beberapa masalah kerajaan. Cyra duduk di sana sampai Drake menyelesaikan pekerjaannya. Hampir sejam kemudian, Cyra tak tahan lagi menunggu. Ia tertidur di sana karena bosan.

Drake menatap sang istri yang tertidur di ruang kerjanya. Ia tersenyum memandang wajah manis istrinya yang mulai menunjukkan keriput kecil.

"Dia masih seperti dulu. Cantik sekali," celetuk Drake sendirian.

"Aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Sepertinya Cyra ingin menyampaikan sesuatu yang penting."

Tak lama kemudian, setelah selesai mengerjakan pekerjaannya, Drake menuju ke arah si istri yang masih tertidur. Ia mengusap pelan pipi istrinya itu.

"Cyra, bangunlah!"

Ratu Negeri Api tesebut terkejut mendengar suara Drake. Dia segera bangun dan mengusap matanya yang masih terlihat mengantuk.

"Pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Cyra.

Drake mengiyakan. "Apa yang ingin kau sampaikan?"

Perempuan itu merenung sesaat dan melihat wajah suaminya. "Suamiku, aku benar-benar terus kepikiran mengenai selir pertamamu yang meninggal beberapa hari yang lalu."

"Kenapa kau memikirkannya? Ada apa denganmu?" Drake ingin tahu.

"Aku pikir, selama ini kau tak pernah memedulikan keadaannya. Dia sakit beberapa waktu yang lalu. Aku mengunjunginya saat itu, dan memberitahu kalau kamu sibuk sehingga tak bisa melihatnya. Wajahnya terlihat sangat kecewa terhadapmu. Aku pikir, tindakanmu selama ini ada salahnya," jelas Cyra dengan agak ragu.

"Kenapa kau benar-benar berpikir begitu? Aku ini benar-benar sibuk, sayang. Kalau aku punya waktu, aku juga akan mengunjunginya saat sakit." Drake membela diri.

"Aku rasa, kau harus mengubah sikapmu, Drake. Bahkan untuk keluargamu saja, untukku, dan anak-anak kita, kau tidak terlalu memberi perhatian lebih. Kau hanya fokus pada pekerjaanmu sebagai raja. Kau kurang membagi waktu untuk keluarga." Cyra menyampaikan isi hatinya dengan serius.

"Cyra, kau tahu, menjadi raja serta menjadi ayah dan suami sekaligus itu tidak semudah yang kau bayangkan. Aku sibuk dengan urusan kerajaan, tetapi aku selalu menyempatkan waktu untuk menikmati waktu dengan keluargaku, denganmu, dan dengan anak-anak kita."

"Kau salah!" Cyra menyela. "Kau tidak sadar, ketika Kegan, putra pertamamu dari selir itu sedang berduka atas kematian ibunya, kau tak datang menghiburnya. Kau malah menitipkan kata-kata hiburan itu pada Abner. Abner bercerita padaku, bahwa Kegan tak bisa mengendalikan emosinya. Dia sepertinya butuh engkau di sampingnya saat ini."

"Sudahlah, Kegan itu bukan siapa-siapa. Dia bukan anggota keluarga inti kerajaan ini. Kenapa kau begitu peduli padanya?"

Cyra segera menyahut dengan cepat. "Dia anakmu!"

"Aku tahu, dia anakku. Namun, dia adalah anak dari seorang selir. Bukan dari dirimu! Aku tak terlalu peduli selagi itu bukan anak kita."

***

Asher terbangun dari pingsannya. Ia kaget melihat Lucy yang kini berada di sampingnya. Rupanya, Lucy menemukannya pingsan di bawah pohon itu.

"Kau lagi?"

Lucy terlihat kesal. "Sudah kubilang, kau jangan pergi kemana-mana dulu. Tubuhmu belum pulih sepenuhnya!"

"Kenapa kau begitu peduli?"

"Karena aku memang peduli! Kau jangan banyak bicara! Ayo, aku bantu kamu untuk kembali ke rumah," ujar Lucy yang menarik tangan Asher tiba-tiba.

Asher melepaskan genggaman tangan Lucy. Dia memasang muka kesal. "Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Aku ingin pulang dan berhenti menyusahkan kalian."

"Kau tidak menyusahkan siapapun!" Lucy membalas.

"Aku ingin pulang! Kau mengerti? Hah? Jangan membuatku sampai marah!" Asher menaikkan sedikit nada bicaranya.

"Tidak akan kubiarkan kau pulang! Kau tidak ingat perkataanku kemarin? Kau tidak akan pulang sebelum lukamu sembuh!" Lucy ikut menaikkan nada bicaranya.

"Bodoh! Aku tidak selemah yang kau pikirkan!" Asher tiba-tiba menyerang dengan kekuatan esnya.

Lucy terkejut melihat serangan itu. Ia terjatuh kesakitan. Tatapannya berubah menjadi ketakutan melihat Asher yang mulai bertindak kasar.

"Aku hanya ingin menebus kesalahanku karena telah melukaimu," ucap Lucy dengan suara kecil.

Asher benar-benar tak menyangka bahwa ia akan menyerang Lucy. Ia mengulurkan tangannya pada Lucy.

"Aku minta maaf! Aku tidak sengaja karena tadi aku terbawa emosi," ucapnya dengan nada datar.

Lucy tak menghiraukan uluran tangan itu. Dia menatap tanah yang masih memiliki salju putih di atasnya. Ia terlihat meneteskan air mata.

Asher benar-benar terkejut melihat Lucy yang mulai menangis saat itu. "Kau, kau tak perlu menebus kesalahan apapun. Anggap aja serangan dariku tadi adalah balasan karena telah melukaiku. Kita sama-sama tak sengaja, kan? Kita impas kalau begitu! Aku akan pergi sekarang!"

"Jangan pergi!" Lucy tiba-tiba berteriak.

Asher menoleh ke arah Lucy yang berteriak padanya. "Apa maksudmu?"

Lucy tiba-tiba berdiri. Ia menatap Asher dengan cukup serius. "Alasanku tidak membiarkanmu pergi karena lukamu belum sembuh, itu salah!"

"Apa maksudmu? Hah?"

"Aku, aku menahanmu untuk tidak pergi karena aku tidak memiliki teman di sini! Kau lah manusia yang aku ajak bicara setelah ayahku. Aku sudah menganggapmu sebagai temanku!"

"Teman?"

"Tolong, tolong jangan pergi! Aku tidak memiliki teman selain ayahku di sini. Bertemanlah denganku, setidaknya sampai kau sembuh. Aku mohon, aku mohon! Aku berjanji, akan menunjukkan banyak hal yang menarik di hutan ini. Aku berjanji padamu!"

"Tinggallah di sini sebentar lagi, ya?" pinta Lucy untuk membujuk Asher yang kebingungan saat itu.



T. B. C.

Element [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang