9: Konflik & Kecemasan

20 9 0
                                    

Malam telah berlalu. Kegan menatap sendu pada fajar yang mulai menampakkan sinarnya. Kematian sang ibu kemarin adalah sebuah luka yang amat dalam baginya.

"Ibu, aku akan membalaskan semuanya! Seumur hidup, kau tak pernah mendapatkan keadilan, aku pun juga begitu. Itulah sebabnya, aku akan merebut semuanya dari tangan suamimu itu. Tahtanya, keluarganya, dan hidupnya!"

Kegan sangat penuh dengan amarah dan dendam yang begitu dalam terhadap Drake King, ayahnya. Sebuah rencana jahat terbesit di pikirannya.

"Aku sudah berubah, dan tak akan tinggal diam."

Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Kegan menatap ke arah pintu yang perlahan terbuka.

"Kenapa kau kemari?" tanya Kegan dengan ekspresi datar.

"Ah, begini, aku kesini untuk melihat keadaan kakak," ucap Abner, orang yang mengetuk pintu tersebut.

Kegan tertawa kecil. "Kau mau melihat keadaanku? Apa kau sengaja kemari untuk melihat diriku yang sedang lemah dan terlihat menyedihkan? Lalu kau akan mengasihaniku untuk menaikkan reputasimu sebagai anak Raja?"

"Apa maksudmu, Kak? Aku kurang mengerti." Abner kebingungan dengan perkataan Kegan barusan.

"Aku kesini untuk melihat keadaan kakak, apakah kakak baik-baik saja, dan juga aku ingin menyampaikan kata-kata penghiburan yang disampaikan ayahanda padaku," lanjutnya.

"Baik-baik saja? Bagaimana mungkin aku baik-baik saja setelah kematian ibuku! Kau tahu, ibuku yang meninggal!" Kegan menatap wajah Abner dengan amarah.

Abner mulai paham bahwa sang kakak sedang tak bisa mengendalikan emosi. Ia lalu berkata pada kakaknya, "aku mengerti perasaanmu, Kak."

"Mengerti bagaimana? Kau belum pernah merasakan satupun penderitaan yang kualami. Pergi dari sini! Pergi dari sini!" Kegan menyahut dengan cepat.

Abner mengangguk, lalu pergi tanpa berkata lagi.

"Aku tak butuh kata penghiburan apapun! Kata-kata bodoh itu takkan mengembalikan ibu dariku."

***

Saat ini, Robert tengah menunggangi kudanya yang dikawal oleh pasukan pengawalnya. Pagi-pagi sekali setelah badai reda, mereka segera mencari tahu keberadaan Asher. Pasukan yang juga sedang menuju ke beberapa tempat pembuatan senjata untuk mencari Asher di sana.

"Aku tahu, Asher bisa melindungi dirinya. Dia sangat kuat, tetapi aku tidak tahu kenapa aku begitu khawatir," ucap Robert kepada Pengawal pribadinya.

"Tidak ada hal buruk yang akan terjadi, Yang Mulia," balas sang pengawal pribadi kepada Robert.

Robert mengangguk pelan lalu menghela napasnya.

"Masalahnya, sebentar lagi dia akan dinobatkan sebagai putra mahkota. Dia tak boleh kenapa-napa sampai hari penting itu datang."

***

Kenneth sedang menyiapkan senjata berburunya. Ia melihat Lucy yang tertidur di samping Asher karena terjaga semalaman. Dia kemudian membangunkan putri kesayangannya itu. Tak lama kemudian, Lucy pun terbangun dari tidurnya.

"Nak, ayah ingin pergi untuk mencari beberapa obat untuk laki-laki ini. Kau tinggal di sini bersamanya sementara. Jangan berlatih dulu selagi laki-laki ini belum sadarkan diri." Kenneth memberi pesan pada Lucy.

Lucy mengangguk paham sambil membantu ayahnya menyiapkan peralatan. "Bukannya daging kemarin masih cukup untuk kita? Ayah ingin berburu lagi?"

"Tentu. Namun, ayah tidak akan berburu banyak hari ini. Kau ingat, sekarang laki-laki ini berada di rumah kita. Ketika ia bangun, dia mungkin harus makan yang banyak untuk memulihkan energi."

Lagi-lagi Lucy mengangguk.

"Baiklah, kalau begitu, ayah pergi dulu!" Seru Kenneth pada putrinya. Perlahan ia menjauh dari rumah, dan mulai beraktivitas seperti biasa.

Lucy hanya diam menatap Asher yang masih belum terbangun. Dia benar-benar merasa sangat bersalah untuk kejadian semalam. Ia mengusap wajah lelaki yang tak ia kenal itu.

"Aku minta maaf, aku minta maaf. Aku salah, aku tidak sengaja!"

"Kalau kau bangun, kau bisa memarahiku sepuasnya. Aku memang salah."

Tiba-tiba, kelopak mata Asher terlihat sedikit bergerak. Lucy terkejut melihat hal itu. "Kau, kau akan bangun?"

Asher membuka matanya perlahan. Ia menatap langit-langit rumah kayu tersebut. Tubuhnya seperti tidak bisa bergerak, ia mencoba mengumpulkan tenaganya.

"Aku di mana," batinnya.

Asher akhirnya tersadar sepenuhnya. Ia melirik ke arah Lucy yang tengah tersenyum senang. Asher sungguh terkejut melihat Lucy, emosi mulai menguasai dirinya.

"Aku senang akhirnya kau sadar! Aku pikir kau tidak akan bangun dalam waktu dekat. Itu membuatku khawatir!"

"Kau, kau kenapa ada di sini!" Asher membentak Lucy. Ia berusaha untuk duduk, tetapi tenaganya masih belum terkumpul.

"Ah, kenapa rasanya sakit sekali. Hah!"

Lucy mencoba menenangkan Asher. "Ini rumahku. Kau sedang berada di rumahku! Tenangkan dirimu, lukamu masih belum pulih."

***

Sementara itu, Ryan juga turun ambil alih dalam pencarian sang kakak. Ia memacu kudanya, dengan ditemani sedikit pengawal. Sekarang tujuannya adalah menuju sebuah hutan lebat. Dia melihat sungai besar yang menjadi pemisah antara tanah kerajaannya dengan hutan tersebut.

"Bagaimana cara menyebrangi sungai sebesar ini? Aku rasa kemampuan es-ku belum cukup untuk mengatasi hal ini."

Ryan turun dari kudanya. Ia mencoba menginjak air sungai tersebut. Air tersebut membeku, tetapi itu tak bertahan lama. Ia terus berpikir, akankah ia menyebrangi sungai itu saja, atau tidak.

"Aku rasa, pangeran tidak boleh melakukan hal ini. Menyebrangi sungai sebesar itu sangat berbahaya," ujar salah satu pengawal pada Ryan.

"Aku setuju! Pangeran lihatlah! Air tadi membeku, tetapi itu tidak bertahan cukup lama. Kami khawatir pangeran tidak akan mencapai sisi lain dari sungai ini. Membekukan sesuatu butuh tenaga besar. Kami khawatir, pangeran kehabisan tenaga." Pengawal yang lain melanjutkan.

Ryan mengangguk paham. Ia mencoba melihat-lihat pinggiran sungai. Tak lama, terdengar suara kuda yang tidak jauh dari sana.

"Sepertinya, itu suara kuda Kak Asher." Ryan lalu menunggangi kudanya lagi, dan menuju sumber suara tersebut.

Namun, tak disangka yang mereka temukan hanyalah kuda putih Asher. Kuda tersebut terlihat bernaung di bawah pohon besar. Kemungkinan kuda tersebut menghindari badai kemarin dengan berdiri di bawah pohon itu.

"Di mana kak Asher? Kenapa hanya ada kudanya di sini?"

Ryan turun dan mengecek kondisi kuda tersebut. Tangannya gemetar, ia mulai menghawatirkan Asher.

"Apa jangan-jangan kakak memang menyebrangi sungai ini, dan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Badai kemarin, itu adalah ...," batin Ryan kemudian menatap pengawalnya.

"Kalian bawa kuda ini ke istana. Kondisinya tidak baik mengingat badai semalam. Kita kembali ke istana. Aku harus menyampaikan sesuatu pada ayahanda."

Para pengawal tersebut segera melaksanakan perintah Ryan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali ke istana.



T. B. C.

Element [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang