Kegan, putra dari selir Drake King kini terdiam dengan mata sembab. Ia menyaksikan pembakaran jasad ibunya yang meninggal dunia sore ini. Tatapannya sangat penuh arti, sebuah tatapan kebencian. Api yang menyala di depannya membuatnya kehilangan kesabaran. Ia berteriak sekuat-kuatnya, lalu menangis. Orang yang ia sayangi dan paling menyayanginya kini pergi darinya, selamanya.
"Ibu, laki-laki yang kau anggap suamimu, yang kau anggap ayahku itu, sekarang tidak mengikuti upacara penting ini. Aku sudah memintanya untuk melihatmu ketika kau sakit, tetapi dia malah tidak mau. Dia bilang sibuk dengan urusannya. Dan ketika aku mengabarinya tentang kematianmu, dia tidak terlalu peduli. Inikah nasib jadi seorang selir raja? Apakah ibu yang sangat mencintai ayahanda pantas diperlakukan seperti ini sampai akhir hidupmu? Dari aku kecil sampai sekarang, ayahanda tidak mempedulikan aku, begitu pula dengan ibu," tangis Kegan dengan penuh rasa pedih di hatinya.
Ia seperti mengeluarkan api di tangannya. Kekuatannya tidak terkontrol karena amarah kini tengah membakar jiwanya. Ia menatap istana megah penuh cahaya orange itu. "Jika aku kehilangan ibu, maka raja yang selama ini jadi ayahku harus kehilangan orang yang dia sayangi juga. Aku akan menunjukkan pada Drake King betapa pedihnya ditinggal oleh orang yang dicintai! Dia bukan ayahku, tetapi kini dia adalah musuhku. Akan kubunuh putra mahkota kerajaan ini, dan akulah yang akan jadi penguasa kerajaan ini selanjutnya!"
Teriakan pedih Kegan lagi-lagi terdengar, terdengar di telinga Drake King yang menatap proses peristirahatan terakhir selirnya itu dari jauh. Dia ingin sekali menghampiri Kegan, tetapi dia merasa bersalah tentang dirinya yang tak memperhatikan selirnya itu ketika sakit.
"Anakku ... aku berjanji, akan lebih memperhatikanmu sekarang," ucap Drake King menatap dari jauh putra sulungnya itu.
***
Arella memperhatikan badai dari jendela kamar. Ia benar-benar khawatir dengan putranya, Asher. Dia juga sempat berpikir mengenai kata-kata sang suami barusan.
"Kasih sayang seorang ibu. Ya, Robert benar. Asher selama ini kurang perhatian dariku," tutur Arella sembari menatap jendela.
Dari kecil, Asher memang tak selalu mendapat perhatian dari ibunya. Semuanya berawal ketika sang suami, Robert, memperlakukan kedua anaknya dengan berbeda. Arella memperhatikan Robert hanya menyayangi Asher, sedangkan Ryan tak dipedulikan sama sekali. Robert bahkan sering berkunjung ke kamar Asher daripada Ryan.
Hal ini membuat Arella geram. Dia memutuskan untuk lebih memperhatikan Ryan daripada Asher. Lagipula, Ryan juga sangat dekat dengannya. Dia lebih menyayangi putra bungsunya itu.
Arella benar-benar menyesali perbuatannya. Ia sadar, bahwa yang salah selama ini adalah Robert, bukan Asher. Dia sadar dengan perbuatannya, perbuatan pilih kasih yang seharusnya tak seorang ibu lakukan.
***
Sementara itu, Lucy memohon berkali-kali pada ayahnya. Ia meminta sang ayah agar bisa menolong sang laki-laki yang kini sekarat karenanya.
"Jika ia mati, maka seharusnya aku juga tiada!" Lucy berucap spontan. Itu membuat Kenneth terkejut.
"Apa maksudmu, Lucy? Kau tidak boleh berkata seperti itu!"
"Jika ia mati, aku yang telah membunuh dia. Itu sama saja aku harus dihukum karena perbuatanku. Ayah pernah berkata bahwa nyawa adalah ganti nyawa. Aku benar-benar takut! Aku tak ingin rasa bersalah terus menghantuiku tiap waktu!" Lucy menangis lagi, matanya sudah sangat sembab karena menangis.
Kenneth menepuk-nepuk kepala putrinya itu untuk menenangkan dirinya, tetapi tangis itu tetap tidak berhenti. Kenneth menatap tubuh Asher sesaat sambil berpikir.
"Jadi, ini anak yang diinginkan Robert? Yang dulu demi mendapatkan seorang anak, ia menyiksa Belle?" Kenneth mengingat masa lalu.
"Aku harus menyelamatkan orang bodoh ini, demi putriku. Aku akan menyelamatkannya hanya karena putriku yang meminta. Namun, aku akan kembali lagi untuk membunuhnya." Kenneth menyeringai kecil.
Kenneth menyuruh Lucy ke kamarnya. Ia akan menyelamatkan laki-laki sekarat yang ada di hadapannya itu. Lucy segera melaksanakan perintah sang ayah.
Kenneth meletakkan telapak tangannya di atas dada Asher. "Jantungnya membeku, sama seperti Belle dulu. Namun, ini masih bisa diselamatkan. Ah, aku harus membuang tenaga hanya untuk laki-laki ini. Ini kesempatan emas untuk membunuhnya, tetapi tak bisa karena putriku meminta untuk menolongnya."
Kenneth menekan dada Asher sekuat tenaga. Cahaya merah keluar dari telapak tangannya. Ia memejamkan mata dan berusaha sekuat tenaga untuk menolong Asher. "Bodoh, bangunlah!"
Beberapa menit berlalu, akhirnya Asher kembali bernafas. Jantungnya perlahan berdetak normal. Kenneth tersenyum bangga. "Kau berhutang nyawa padaku."
Kenneth lalu mengambil beberapa obat yang ia kumpulkan dalam perjalanan pulang tadi. Ia mengobati luka di dada Asher, lalu membalutnya dengan kain.
Lucy memperhatikan semuanya di balik pintu. Ia tak benar-benar pergi ke kamarnya. Ia berpikir sesaat setelah melihat semua yang terjadi.
"Cahaya merah itu? Keluar dari tangan ayah? Apakah ayah punya kekuatan?" batin Lucy sambil menghela nafas lega saat tahu laki-laki yang ia lukai kini selamat.
Badai salju di Negeri Es dan di hutan pengasingan kini berakhir, bersamaan dengan nafas Asher yang kembali. Ya, badai itu hanya terjadi di Negeri Es saja, dan hutan pengasingan ikut menjadi korban badai karena posisinya yang dekat dengan negeri tersebut.
"Badainya berhenti," ucap Robert sambil berusaha berpikir positif tentang keadaan putranya itu.
"Sebentar lagi hari penobatannya sebagai putra mahkota. Aku harap dia baik-baik saja di manapun ia berada."
***
Arella menuju ke kamar Asher. Ia jarang melihat kamar putranya itu. Kini, ia melihat kamar Asher yang penuh buku dan beberapa senjata. Dan ada juga papan penyusun strategi perang di atas meja Asher.
"Pantas saja Robert menginginkan Asher jadi penerus kerajaan."
Arella melangkah menuju ranjang Asher. Ia merapikan bantal dan selimut yang berantakan. Namun, tanpa disengaja ia menemukan sebuah buku kecil saat merapikannya.
Arella membaca buku itu pelan-pelan. Ternyata itu buku harian Asher. Beberapa halaman telah terisi penuh. Arella terkejut membaca curahan hati putranya pada buku mungil itu. Semuanya tentang keluh kesah Asher mengenai kehidupannya.
Ayahku selalu menekanku. Dia selalu memaksaku harus bisa segalanya untuk menjadi putra mahkota yang baik. Itu sangat melelahkan! Bunda juga, dia tidak pernah menyayangiku. Dia lebih memperhatikan Ryan daripada aku, bahkan ketika aku sakit sekalipun.
Aku iri dengan kehidupan Ryan yang serba bahagia. Ayah tak pernah menekannya, bunda selalu memperhatikannya. Aku ingin membencinya, tetapi aku tidak bisa. Aku sangat menyayanginya, entah kenapa.
Kira-kira itulah garis besar curahan hati Asher di buku itu, setahun yang lalu. Dan itu juga curahan hati terakhirnya. Ia tak pernah mengisi buku itu lagi setelahnya.
Arella yang membacanya kini benar-benar memahami kondisi putranya itu. Ia kemudian berpikir untuk menyetujui bahwa Asher akan jadi putra mahkota. Namun, dia harus menanyakan pada Ryan kesiapannya terlebih dahulu.
T. B. C.
KAMU SEDANG MEMBACA
Element [On Going]
FantasyAir, Api, dan Es. *** Start: 25 Oktober 2021 End: - Tidak ada izin copyright baik untuk kepentingan umum maupun pribadi!