24. Kesempatan

104 10 3
                                    

🦋🦋🦋

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦋🦋🦋

Seharusnya tak perlu marah, hubungan mereka bahkan diawali tanpa cinta, lantas apa yang kini Aruna tangisi. Apa yang dirinya harapkan dari hubungan ini, dimulai tanpa suka, diakhiri dengan duka. Ini sudah pagi, hari kemarin sudah lewat namun sampai sekarang Aruna masih tidak bisa menahan air matanya bila tak sengaja kepalanya mengingat Nathan. Ternyata yang ia lakukan hanya sebatas menghargai, bukan cinta.

Menjadi orang lain hanya untuk bisa mengasihani Aruna, apa yang dilakukan Nathan sangat lah jahat buat perempuan itu. Seandainya dia tahu sejak awal, maka Aruna tidak akan pernah menerima pernikahan itu sekali pun demi mendiang ayahnya.

"Ayah, kenapa sakit? Rasanya sakit banget," rintihnya sambil menutupi kedua wajahnya dengan tangan. "Una boleh ikut ayah aja gak sih?"

Tangisan Aruna terdengar begitu pilu, mengisi sunyi rumah yang dulu hangat ketika keluarganya masih lengkap, ketika dirinya masih dikelilingi orang baik. Jika tidak mengingat hari ini dia harus bekerja, Aruna memilih untuk tinggal di kamarnya seharian.

Pintu rumahnya terasa sedikit berat dari biasanya. Aruna nyaris teriak karena dikejutkan dengan Nathan yang rupanya tidur bersandar pada pintu. Refleks laki-laki itu pun terbangun merasa mimpi indahnya terusik. Ternyata Nathan semalaman tidur di depan pintu? Benar kah seorang Nathan mau melakukan hal itu? Aruna tidak mau lagi berharap. Karena kecewanya itu bermula dari harapan.

"Una," gumam Nathan sambil mengucek matanya, dia bangun agak sempoyongan.

"Ngapain kamu masih di sini?" tanya Aruna ketus.

"Ini kan rumah saya juga," jawab Nathan.

"Gak perlu tinggal di sini lagi, Na. Tinggal aja di rumah kamu yang pasti jauh lebih besar dan nyaman dari pada rumah ini." Lagi, Aruna masih menyindir secara halus soal latar belakang Nathan.

"Saya harus gimana lagi, sih, Una?"

Aruna menatap netra laki-laki itu lurus. "Pergi, lupain semuanya. Lepas yang gak harus kamu genggam, Na. Terlebih kamu menggenggam sesuatu yang gak kamu mau."

Dengan hati-hati Nathan memberanikan diri untuk meraih satu tangan Aruna. Dia menggenggamnya dengan erat, dengan sorot mata nanar itu, Nathan seakan tengah memohon pada Aruna. Meminta belas kasih.

"Saya sudah yakin dengan apa yang saya genggam dan apa yang sudah saya genggam adalah tanggung jawab." Kata demi kata yang keluar dari Nathan justru melukai hati Aruna semakin banyak. Guratan-guratan yang semula samar menjadi amat dalam.

"Udah cukup pura-puranya. Semua cuma akan berakhir—" Sebelum Aruna menyelesaikan kalimatnya, Nathan menarik tubuh itu ke dalam pelukannya.

This All Goes to You 3 | JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang