Dengan napas terengah dan darah bercucuran dari hidungnya, orang itu tak juga mengaku. Tangannya terikat, begitu pula kakinya pada kursi. Tali tambang itu diikat dengan sangat kencang agar dia tak melarikan diri. Perihnya begitu terasa begitu keringatnya membasahi luka. Tapi masih dengan pendiriannya, ia tak peduli walau harus disiksa lebih sadis lagi. Jian menjeggut rambutnya setiap kali orang itu menundukan kepala.
"Berani banget nyamperin Una dan ngajak balikan," ujar Nathan yang kemudian menyeringai.
Leo masih membisu, menahan segala ringisan yang ada di ujung lidahnya. Tak mau terlihat lemah, Leo merasakan sakit luar biasa di tubuhnya. Ia mencoba menatap Nathan dengan berani, sambil merasakan sakit luar biasa di tulang hidungnya yang terasa retak sehabis dipukuli dengan brutal.
"Di mana file aslinya?" tanya Nathan yang masih tak mendapat jawaban. Lama-lama ia geram melihat tingkah Leo. "Lo ini mau mati, ya?" Nathan mendekati wajahnya.
Hal itu tak berhasil membuat Leo takut. Justru terlihat di matanya dengan jelas, andai ia mampu, Leo sudah habis mencabik-cabik Nathan.
"Jauhin Aruna! Lo ngincer apa sih dari dia?! Udah cukup! Kalau Aruna tau gue yakin lo bakal dia tinggalin!" Leo menyeringai di sela ringisannya.
"Apakah hidupnya bakal jauh lebih baik kalau bersama lo?" Nathan balik bertanya dengan ekspresi dingin.
Kali ini Leo tak berani menjawab. Karena ia cukup sadar dengan sikap tempramen nya. Dia juga sering menyesal setelah menyakiti Aruna. Tapi Nathan jauh lebih mengerikan, dia monster. Lihat saja sekarang, dia menyekap Leo dan menyiksanya hanya untuk menghilangkan bukti kecelakaan malam itu.
"Gue akan kasih tau semua kebusukan lo ini!" ancam Leo. Siapa sangka, Nathan tertawa geli mendengar ancaman itu.
"Silakan kalau bisa," balas Nathan tenang. Bersamaan dengan itu, ujung pistol Jian arahkan tepat di kepala Leo.
Bohong bila Leo tidak ketakutan. Tubuhnya bahkan sampai gemetar. Keringatnya mengalir makin deras. Nathan tak pernah main-main dengan ucapannya, tak peduli meski harus menghilangkan nyawa seseorang.
Nathan seakan memberi arahan pada Jian begitu dia hendak meninggalkan ruangan tersebut. Saat punggung Nathan berada tepat di depan pintu, bersamaan dengan itu pelatuknya ditarik.
"Satu masalah teratasi," gumam Nathan.
Timah panas itu berhasil membuat napas Leo terhenti. Dengan darah segar mulai membasahi lantai, Jian menghela napasnya sebentar. Dia menaruh pistolnya di meja, kemudian dia mengambil sebuah pisau bedah di sana.
"Harusnya tadi aku congkel matanya lebih dulu," monolog Jian yang terlihat tetap tenang, bahkan setelah melihat kepala itu nyaris pecah dengan darah yang bercucuran.
🦋🦋🦋
Aruna terlihat tengah bersiap untuk pulang. Walau dia sekarang sudah tahu Nathan adalah pria kaya raya, ia tetap bekerja di Kafe. Padahal Nathan sudah menyuruhnya berhenti. Alangkah baiknya Aruna tetap begini, sebab tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok. Bisa saja sewaktu-waktu Nathan oergue meninggalkannya.
Di depan pintu ia berpapasan dengan Nathan.
Keduanya lalu pulang bersama dengan motor Nathan. Aruna kali ini tidak memeluknya sama sekali. Hal itu membuat Nathan sedih.
"Kamu nggak mau peluk?" tanya Nathan polos.
"Nggak."
"Una ..."
"Hm?"
Nathan sempat terdiam selama lima menit. Aruna yang tak terlalu penasaran pun tak menanyakannya lagi.
"Kalau suatu saat saya melakukan kesalahan besar yang mungkin melukai perasaan kamu. Apa kamu akan pergi?" Pertanyaan Nathan agaknya terdengar bodoh.
"Aku nggak tau, karena belum lihat sendiri kesalahannya kayak apa," jawab Aruna apa adanya. "Peluang ditinggal dan meninggalkan itu akan selalu ada, Na. Jadi aku nggak bisa jawab sekarang," lanjutnya.
Laki-laki itu tertegun setelah mendengar yang Aruna katakan. Secara logis ia setuju dengan itu, namun Nathan sedikit kecewa.
Motor Nathan lalu terhenti di parkiran VIP.
Dering telepon dari ponsel Nathan memecah ketegangan di antara mereka. Lantas Nathan pergi sebentar untuk mengangkat panggilan dari Jian.
"Kenapa, Ji?"
"Ada jamuan makan di rumah Tuan Laksana," kata Jian.
"Sekarang banget?" tanya Nathan. "Ya udah sebentar!"
Nathan menghampiri Aruna yang masih berdiri di sana menantikannya. Dengan raut wajah merasa bersalah ia harus membiarkan perempuan itu sendirian malam ini di griya tawang.
"Una, saya harus pergi malam ini. Kamu istirahat aja, ya." Nathan mengecup kening Aruna sebelum kembali menaiki motornya.
🦋🦋🦋
Meja makan itu hanya di isi dua manusia dengan ego yang sama besarnya. Nathan terdiam sejak menyelesaikan makannya. Begitu pula dengan ayahnya yang duduk di seberangnya
"Kamu menikah tanpa sepengetahuan ayah, Nathan?" Ayahnya memecah ketegangan itu dengan suaranya.
Masih geming. Nathan malas menjawabnya, karena akan muncul pertanyaan-pertanyaan lain yang menyudutkannya.
"Masih bisa menjawab, kan?" tanya ayahnya lagi.
"Bisa, Ayah."
"Jelaskan perihal pernikahan itu!"
Nathan menatap ayahnya lurus. "Ayah nggak butuh penjelasan, Ayah cuma mau aku mengakui kesalahan, kan?" Pertanyaan itu dibalas tawa dari ayahnya, sebab tepat seperti maksud ayahnya, Nathan mengerti.
"Kamu tau, pernikahan itu nggak sah tanpa persetujuan ayah," balasnya.
Nathan mengangguk. "Aku tau, dan aku pun menganggapnya tidak sah sejak awal."
"Terus buat apa Nathan? Buat apa?" Ayahnya kini terheran.
"Makanku sudah selesai. Aku harus pamit, permisi." Nathan betul-betul meninggalkan ruangan tersebut tanpa peduli oleh amukan ayahnya.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
This All Goes to You 3 | Jaemin
RomanceDia Nathan. Dia warna dalam hidup Aruna, sekaligus guratan luka yang abadi dalam hatinya. ❝Kamu adalah bahu ternyaman, Na. Kamu juga rumah paling aman. Kalau kamu nggak ada aku harus gimana?❞ -Aruna ©hanekyung, 2021