🦋🦋🦋
Derap langkah kaki itu kian mendekat. Aruna menyeka air matanya yang sudah sejak tadi membasahi pipi. Begitu ia menoleh, netranya mendapati seseorang yang tidak asing. Aruna buru-buru menghampirinya lebih dulu.
"Leo? Kamu ngapain di sini?"
"Una aku mau kita balik lagi," jawab Leo memelas.
Aruna nyaris tak percaya. "Kamu gila ya?" Perempuan itu menarik Leo keluar, menjauh dari ruang ICU.
"Aku tau, Una. Aku salah sama kamu waktu itu. Tapi please, balik sama aku, ya?" Tatapan Leo bahkan tak cukup mampu meyakinkan Aruna. Lagipula untuk apa kembali? Aruna sudah menikah dengan Nathan.
"Una, kamu bakal bahaya kalau sama cowok itu!" Ucapan Leo terdengar tak masuk akal. Atas dasar apa ia bicara begitu?
"Maksudnya gimana?"
Baru saja Leo membuka mulutnya, pintu terbuka mengalihkan semua perhatian mereka. Leo mendadak bisu saat melihat Jian hendak masuk. Mata mereka bertemu untuk beberapa saat, dan itu berhasil membuat Leo gemetar. Tanpa pamit Leo meninggalkan tempat tersebut buru-buru, seakan takut pada sesuatu.
Jian menghampiri Aruna yang masih mematung tak mengerti dengan kehadiran Leo serta ucapannya barusan.
"Siapa, Kak?" tanya Jian polos.
"Bukan siapa-siapa," jawab Aruna yang kembali mengalihkan pandangannya pada sang ibu dari balik kaca.
"Kak, saya mau kasih tau tentang kondisi ibu kak Aruna. Tapi ini mungkin akan berat—" Ucapan Jian terhenti begitu Aruna menoleh ke arahnya dengan mata yang sembab. Muncul kembali rasa tidak tega untuk bicara yang sebenarnya. Jian lantas menghela napasnya lebih dulu, mengumpulkan keberaniannya.
"Kondisi beliau semakin menurun. Dokter udah gak bisa bilang bilang apa-apa. Untuk pelepasan ventilator akan dilakukan atas persetujuan kak Aruna."
Di ruangan itu menggema suara tangis Aruna yang pecah dalam sesaat. Mendengar apa yang Jian katakan sudah membuatnya mengerti. Ini lah yang membuatnya tak bisa tidur setiap malam. Dia takut ketika ia menutup mata, satu persatu orang yang ia sayangi pergi. Pergi tanpa sepengetahuannya, pergi ke tempat yang jauh tak mampu Aruna gapai. Tubuhnya jatuh lemas ke lantai. Jian melihat itu mencoba membantu Aruna untuk bangun, tapi penolakan Aruna berikan. Uluran tangan Jian rasanya tak mampu menariknya keluar dari penderitaan ini. Sebab takdir yang menenggelamkannya dalam semua penderitaan dan rasa pedih ini.
Terdengar langkah kaki lain yang mendekat. Jian segera menjauh dari Aruna sebentar.
Seseorang menekuk lutut di depan Aruna yang enggan bangun dari sana. Lalu perlahan tubuhnya ditarik ke dalam dekapan hangat yang menenangkan. Nathan memeluk tubuh Aruna dengan tulus, berharap itu memberikan sedikit saja ketenangan.
🦋🦋🦋
Pikirannya yang kalut lantas membuatnya melamun sejak dua puluh menit yang lalu. Matanya kembali memicing saat melihat sebuah foto yang dikirimkan seseorang padanya. Entah sudah di helaan napas yang keberapa, Jian sendiri mulai bingung melihat Nathan bergeming."Seharusnya malam itu gak ada saksi hidup, Ji." Nathan berusaha tetap tenang.
"Waktu aku sampai, kak Nathan memang cuma sendirian malam itu. CCTV juga sudah langsung aku urus malam itu," sambung Jian. Jian kembali memeriksa foto itu.
Terlihat Nathan berdiri di depan mobil kedua orang tua Aruna yang rusak parah dengan kondisi pelipis Nathan yang juga mengeluarkan darah. Entah siapa yang memotretnya malam itu. Nathan harus segera menutup mulutnya, ia tak mau sampai Aruna tahu hal ini. Hubungan mereka sendiri sedang tidak baik. Perpisahan adalah hal yang Nathan usahakan tak pernah ada di antara mereka.
"Foto ini diambil sebelum aku datang, Kak. Jadi kemungkinan dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit orang itu di sana lihat semua yang terjadi," jelas Jian hati-hati. Malam itu, Nathan langsung menghubungi Jian, dan butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di lokasi Nathan mengalami kecelakaan.
Kecelakaan terjadi di sebuah pertigaan yang sepi. Nathan yang mabuk berat malam itu kehilangan kendali. Matanya samar-samar menyadari bahwa ada kendaraan lain yang hendak melaju berbeda arah dengannya. Akan tetapi Nathan linglung sekaligus panik, tak sengaja menginjak pedal gas dan menabrak mobil orang tua Aruna hingga hancur.
Setiap kali Nathan mengingat kejadian malam itu, dirinya terus mengutuk diri. Seharusnya dia tak nekat mengendarai mobil dalam keadaan mabuk.
"Sekarang saya harus gimana, Ji? Saya lagi gak bisa mikir. Saya harus hilangin bukti ini," ujar Nathan dengan tangan yang agak gemetar.
"Kak Nathan segitu takutnya untuk ditangkep polisi?"
Nathan menggeleng. "Bukan itu, Ji. Saya takut Aruna tau semua. Aruna gak boleh sampai tau!"
Mengingat bagaimana Dokter bilang bahwa kondisi ibu Aruna mungkin tak dapat diselamatkan membuatnya semakin merasa bersalah.
"Lacak IP pengirim foto ini, Ji!" titah Nathan yang menyerahkan ponselnya pada Jian. "Saya mau secepatnya."
"Siap, Kak!" Jian meraih ponsel itu.
Nathan mencoba menghirup banyak udara, dari atas sebuah gedung yang tak lagi beroperasi. Tempat yang menjadi markas baginya. Tak ada satu pun orang yang bisa masuk ke sana kecuali atas kehendaknya. Tempat di mana Nathan menghabisi nyawa brandalan yang memukuli Jian waktu itu. Tidak, Nathan tidak pernah mengotori tangannya sendiri. Dia membuat Jian sendiri yang menghabisi mereka semua dengan cara yang sadis, sesuai dengan perintah Nathan. Sama seperti bagaimana Nathan membuat mantan kekasih Jessie berakhir mengenaskan. Semua rencana Nathan, namun Jian lah yang bertugas mengeksekusinya.
Jika Nathan memberi perintah untuk menginjak kepala seseorang hingga pecah, maka Jian akan melakukannya tanpa ragu.
Nathan menggaruk tengkuknya sendiri seraya memikirkan sesuatu. "Kalau dia gak bisa diajak kerja sama, congkel aja kedua matanya."
To be continued...
Haiii!!!
Maaf ya slow update banget😩Hope you guys like it😂
Gimana nih😀 sang eksekutor nya ternyata si Jian wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
This All Goes to You 3 | Jaemin
RomanceDia Nathan. Dia warna dalam hidup Aruna, sekaligus guratan luka yang abadi dalam hatinya. ❝Kamu adalah bahu ternyaman, Na. Kamu juga rumah paling aman. Kalau kamu nggak ada aku harus gimana?❞ -Aruna ©hanekyung, 2021