Bab 1 - Duo

146 20 29
                                    

Bocah itu tak henti-hentinya menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bocah itu tak henti-hentinya menangis.

Lengan kaosnya yang kepanjangan basah oleh sisa-sisa air mata. Berbau amis.

Rambut hitamnya acak-acakan, mengkilat oleh keringat. Matanya memerah, akibat digosok berulang-ulang.

"Jangan menangis, Sane sayang. Kami takkan lama, kok." Ibu-ibu berwajah terang membelai pipi bocah yang tergenang air mata itu.

"Sane-mau-ikut. Sane-tidak-mau-sendirian," bocah itu berucap sengunggukan.

"Tidak bisa, sayang. Ayah dan ibu harus bekerja. Sementara itu, Sane harus sekolah," kata sang ibu pelan.

"Sane-tidak-mau-sendirian."

"Tidak apa-apa. Kami akan selalu mengirimi kabar," janji ibu itu.

"Be-beneran ya, bu?" sang bocah menatap wajah ibunya dengan mata berkaca-kaca.

"Iya, beneran," ibu-ibu itu mengangkat jari kelingking.

Bagai langit dan bumi, di belakang ibu-ibu itu berdiri seorang bapak-bapak berwajah mengerikan.

Kumis hitam melintang di sepanjang wajah lelaki itu. Kedua matanya tertutup bayang-bayang topi pet yang gelap.

Bapak-bapak itu melirik jam tangan peraknya-sudah yang ke-sepuluh kali.

Ia tak bisa menunggu lama.

"Kita harus segera pergi," saat membuka mulut, suara bapak-bapak itu bagai guntur yang menggelegar.

"Sebentar ya, Yah," sanggah ibu bocah tadi seraya memeluk sang anak.

"Cepetan!"

Ibu-ibu itu tersenyum getir. Untuk yang terakhir kalinya, ia mendekatkan mulutnya ke telinga sang anak.

"Belajarlah yang rajin, Sane sayang. Gapai cita-citamu agar bisa meneruskan Ayah dan Ibu," bisiknya.

Lantas meledakkan tangis sang anak.

"Huaaa! Ibu jangan pergiii!"

Demi meredakan tangis anak semata wayangnya yang semakin menjadi-jadi, rangkulan wanita itu semakin erat.

"Ibu pergi, ya, sayang," ucapnya lirih.

Perlahan-lahan dilepaskannya pelukan yang menempel ke badan sang anak.

Suara tangis sang anak tersendat-sendat kini. Sisa-sisa air mata menetes ke tanah.

Ibu-ibu itu berdiri dan mengibaskan jas putihnya yang berdebu.

"Ayo kita pergi. Sane akan baik-baik saja," ia menoleh pada bapak-bapak yang menyeramkan itu.

Bapak-bapak itu tersenyum sinis. Tatapannya tajam menyorot ke bocah laki-laki yang tak henti-hentinya menangis.

Tanpa mengucap sepatah kata, kedua manusia dewasa di tempat itu menghilang ditelan gelapnya malam.

Sepeninggal ayah dan ibunya, bocah yang kini kesepian menggumamkan kata-kata yang tak jelas.

Monumen KubusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang