![]()
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain. Bocah itu tak henti-hentinya menangis.
Lengan kaosnya yang kepanjangan basah oleh sisa-sisa air mata. Berbau amis.
Rambut hitamnya acak-acakan, mengkilat oleh keringat. Matanya memerah, akibat digosok berulang-ulang.
"Jangan menangis, Sane sayang. Kami takkan lama, kok." Ibu-ibu berwajah terang membelai pipi bocah yang tergenang air mata itu.
"Sane-mau-ikut. Sane-tidak-mau-sendirian," bocah itu berucap sengunggukan.
"Tidak bisa, sayang. Ayah dan ibu harus bekerja. Sementara itu, Sane harus sekolah," kata sang ibu pelan.
"Sane-tidak-mau-sendirian."
"Tidak apa-apa. Kami akan selalu mengirimi kabar," janji ibu itu.
"Be-beneran ya, bu?" sang bocah menatap wajah ibunya dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, beneran," ibu-ibu itu mengangkat jari kelingking.
Bagai langit dan bumi, di belakang ibu-ibu itu berdiri seorang bapak-bapak berwajah mengerikan.
Kumis hitam melintang di sepanjang wajah lelaki itu. Kedua matanya tertutup bayang-bayang topi pet yang gelap.
Bapak-bapak itu melirik jam tangan peraknya-sudah yang ke-sepuluh kali.
Ia tak bisa menunggu lama.
"Kita harus segera pergi," saat membuka mulut, suara bapak-bapak itu bagai guntur yang menggelegar.
"Sebentar ya, Yah," sanggah ibu bocah tadi seraya memeluk sang anak.
"Cepetan!"
Ibu-ibu itu tersenyum getir. Untuk yang terakhir kalinya, ia mendekatkan mulutnya ke telinga sang anak.
"Belajarlah yang rajin, Sane sayang. Gapai cita-citamu agar bisa meneruskan Ayah dan Ibu," bisiknya.
Lantas meledakkan tangis sang anak.
"Huaaa! Ibu jangan pergiii!"
Demi meredakan tangis anak semata wayangnya yang semakin menjadi-jadi, rangkulan wanita itu semakin erat.
"Ibu pergi, ya, sayang," ucapnya lirih.
Perlahan-lahan dilepaskannya pelukan yang menempel ke badan sang anak.
Suara tangis sang anak tersendat-sendat kini. Sisa-sisa air mata menetes ke tanah.
Ibu-ibu itu berdiri dan mengibaskan jas putihnya yang berdebu.
"Ayo kita pergi. Sane akan baik-baik saja," ia menoleh pada bapak-bapak yang menyeramkan itu.
Bapak-bapak itu tersenyum sinis. Tatapannya tajam menyorot ke bocah laki-laki yang tak henti-hentinya menangis.
Tanpa mengucap sepatah kata, kedua manusia dewasa di tempat itu menghilang ditelan gelapnya malam.
Sepeninggal ayah dan ibunya, bocah yang kini kesepian menggumamkan kata-kata yang tak jelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Monumen Kubus
AdventureSane Enesta adalah seorang siswa SMA biasa. Ia tidak populer, tidak pula mencolok. Satu-satunya kelebihan yang ia miliki adalah selalu mendapatkan nilai bagus. Namun, bagi Sane yang pesimis, apalagi fakta bahwa SMA Pelajar Nasional adalah sekolah el...