Empat

16.1K 2.6K 416
                                    

Ucapan Mbak Listi kemarin terngiang di kepalaku sepanjang malam. Rasanya di otakku kayak timbul dua kubu. Yang satu membenarkan, yang satu menampik dan cari alasan.

Berulang kali aku mencoba meyakinkan diriku sendiri kalau .... Enggak! Aku nggak cari yang sempurna! Toh aku nggak mematok calon suamiku harus kuuuaya, guuuanteng, enggak! Aku cuma pengin laki-laki yang look-nya oke, finansialnya oke, attitude-nya oke, image-nya oke, wibawanya oke, dan segala oke-oke yang lain. Salah ya?

Masa sih kurangnya Reza masih basic? Tapi aku kadung turn off, nggak bergairah lagi sama dia. Gimana, dong?

Aku memarkirkan mobilku di pelataran Wolu-Wolu, masih pagi banget, sengaja aku datang pagian karena pengin sarapan di rumah makan ruko samping.   Hidungku yang nggak gatal kugaruk-garuk sambil meringis waktu melihat bagaimana posisi parkirku yang amburadul. Begini terus! Selalu begini! Makanya aku lebih suka bawa motor, tapi sayang juga dong ada mobil nggak pernah diajak keluar.

Ya udahlah! Laper ini.

"Wih, Dek Has. Sarapan, Dek?"

"Yoi, Kang!" Aku memberikan senyum yang bikin silau sambil mengibas rambutku. Kang Deni ini namanya, yang menempati ruko samping buat toko bahan bangunan. Padahal ya, padahal aku baru dua mingguan buka minimarket, tapi syukur banget orang-orang di sini super ramah. Belum ada tuh yang nyinyir-nyinyir. Malah Bu Eka pemilik rumah makan ini udah dua kali memberiku makan siang gratis.

"Bu Ek! Buryam dong!" aku mengangkat tanganku pada Bu Eka, dan mendudukkan tubuh di depan Kang Deni.

"Biasa, Has?"

"Ho'oh."

Kan, bahkan Bu Eka udah hapal kebiasaanku. Bubur ayam yang toping ayamnya double hingga aku kudu bayar tiga ribu rupiah lebih mahal plus teh tawar hangat.

Ya ya ... aku ini udah sadar gula, Jum!

"Aku kemarin kapan itu ketemu bapakmu check up, Has."

Aku mencoblos air kemasan gelas saat Kang Deni mengucapkannya. "Iya?"

"Sama iparmu," jawabnya sambil mengangguk.

"Rajin cek emang bapakku itu, Kang. Gula darahnya tinggi soalnya."

"Tapi Pak Bambang itu masih gagah lho perasaanku, Has. Yo moga-moga sehat terus bapakmu ya, biar bisa gendongi anakmu nanti."

Aku tertawa, hampir tersedak oleh air yang barusan kuminum. "Aamiin. Puengin lho aku gendong anak. Serius ini."

"Lha kawin to. Dah mateng kan usiamu juga, cocok lah kamu ini jadi istri jadi ibu. Umur pas, pengalamanmu ya banyak, ekonomi cukup, punya usaha sendiri jadi enak bagi waktu, kurang apa?"

"Ya calonnya mana calon?"

"Tuan Vijay" Kang Deni cengengesan. Sedangkan alisku malah mengerut, bingung. Alamak, dia mau kenalin aku sama saudagar kaya keturunan India?

"Sopo?"

"Pak Ali."

"Ini, bagiannya Dek Hashi sayangnya Pak Ali," kayak begitu diatur oleh takdir, setelah nama tadi meluncur dari bibir jahil Kang Deni, berganti Bu Eka yang datang dan mengucapkannya. Perempuan berisi itu meletakkan nampan yang berisi bubur dan teh yang masih mengepul uapnya sambil cengengesan. Sedang aku malah mencebik-cebik. Apaan coba mereka itu? Iya tahu cuma guyon, kalau didengar orang dan diseriusin kan bahaya ini.

Terhitung tiga orang yang ceng-cengin aku sama Pak Ali. Jadi list-nya bakal terus nambah atau mereka akhirnya melek mata dan berhenti sampai sini?

Nguayal emang bercandanya. Meskipun aku nggak ngarep, beneran ini ya aku nggak ngarep dan nggak minat, tapi aku ini sadar diri lah! Siapa aku dan siapa Pak Ali, gitu lho. Iya sih takdir di tangan Tuhan, dan walaupun aku bukan upik abu, tapi kok ya naif kalau orang biasa kayak aku ngarep disunting saudagar kaya.

Ji, Ro, Lu, Linu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang