Dua Puluh

11.3K 1.6K 262
                                    

Aku dalam keadaan sadar kok, telingaku betulan mendengar jelas ucapan Pak Ali barusan. Gerak bibirnya, ekspresinya, sorot matanya, semuanya nyata.

Cuma pikiranku yang mengambang.

"Has ... kamu gimana?"

Nggak tahu.

Betul-betul nggak tahu.

Aku masih diam sementara tangan Pak Ali meremat jari-jariku lembut.

"Jenengan—" aku menelan saliva, dengan canggung memberanikan diri menatap tepat pada mata Pak Ali yang memandangku penuh harap. "Nggak bisa nunggu lebih lama kah, Pak?"

Padahal udah empat tahun, itu enggak sebentar, aku paham. Hanya aja untuk sekarang, aku masih bimbang, gamang, berubah-ubah. Ada masanya aku begitu yakin, lalu tetiba ragu kembali.

Tapi sampai kapan? Apa aku jahat dengan menyuruh Pak Ali menunggu lagi?

"Kamu minta aku nunggu lagi?" dia bertanya balik.

"Enggak— maksudnya—" tatapanku teralih ke sudut lain, tanganku sekarang mendingin dan Pak Ali mungkin sadar itu. "Jenengan laki-laki baik, penyayang, loyal, nggak kasar, ya intinya sosok laki-laki ideal lah, Pak. Secara realistis, aku emang butuh suami kayak jenengan, lahir batin insyaallah penuh utuh. Tapi—" aku tercekat lagi. Kali ini kembali memberanikan diri beradu pandang dengannya.

"Aku nggak ingin hidup bersama seseorang sekadar karena butuh, Pak," memang nggak ada niatku untuk berbohong, mumpung kami sedang tenggelam dalam perasaan masing-masing, aku akan menggali milikku dan menunjukkannya ke Pak Ali tanpa teding aling-aling.

Mungkin too hard, too harsh. Tapi lebih baik buka-bukaan begini, kan? Aku nggak ingin memulai sesuatu dengan kebohongan. Aku suka berterus-terang, aku nggak senang dibohongi dan membohongi perasaanku sendiri.

"Kalau ditanya, aku nyaman nggak sama jenengan? Ya iya, banget. Jenengan kelihatan sayang samaku, perhatian, ngayomi, sama bapak ibu pun juga gemati, aku sukaaa banget laki-laki yang kayak jenengan, Pak. Tapi— itu semua cuma tentang aku, Pak, aku yang butuh, sedangkan aku penginnya ... aku juga pengin kasih jenengan perasaan yang sama. Dan sekarang, kayaknya aku belum bisa kasih jenengan sayang yang sama besar," dari mula aku sudah memperhatikan air muka Pak Ali, yang awalnya penuh harap dan detik demi detik berubah melas.

Mungkin, aku udah mematahkan hatinya. Tapi gimana lagi? Aku juga nggak bisa berbohong soal perasaanku.

Aku itu nggak pandai pura-pura.

"Jadi kamu nggak ingin menikah samaku, Has?"

"Enggak—"

"Betul-betul aku nggak dikasih harapan ini?"

"Enggak gitu, ih!" karena gemas aku mencubit pahanya yang sayangnya gagal karena terlalu keras. "Maksudku, makanya tadi aku tanya, jenengan mau nggak nunggu? Aku udah nyaman, udah mulai terbiasa, sebetulnya kalau jenengan ngajak komitmen ... aku sih ... ya ayo, tapi kayak yang aku bilang tadi, aku nggak bisa bohongin perasaanku."

"Jadi, kamu mau samaku, tapi belum cinta?"

Tepat sekali. Anak muda sekarang menyebutnya, hard truth.

Aku belum menjawab, tapi Pak Ali udah mengangguk-angguk lebih dulu, membuatku sedikit heran.

"Wajar, mungkin aku juga yang terlalu cepat. Lagipula kita juga belum lama bareng, terlebih kamu, baru berapa lama kamu kenal tiba-tiba aku udah tanya ke bapakmu aja. Kamu mungkin kaget pas itu, ya?"

Malu-malu aku mengangguk, membuat Pak Ali terkekeh renyah. Super ganteng dia kalau mode kalem begini.

"Jadi sekarang, kamu maunya gimana?" dan aku juga suka bagaimana dia begitu dewasa menyikapi perasaanku. Lihat itu, nada kalemnya, raut lembutnya.

Ji, Ro, Lu, Linu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang