Empat Belas

17.2K 2.3K 298
                                    


Aku tadi jalan kaki ke minimarket, cari aktivitas fisik karena susah dapat waktu buat olahraga. Udah aku rencanain dari kemarin jadi sengaja taruh seragam, mandi di sini.

"Iya, Mas Ali. Cari sarapan buat anak-anak."

Mengabaikan suara Mbak Gendhis pun juga Pak Ali yang mungkin bakal menyahutnya, aku menghabiskan buburku yang terisa tiga suapan. Slay itu kalau makannya habis, Jum. Sisain dan buang-buang makanan itu nggak keren.

"Pagi-pagi ke sini, tumben jenengan, Pak."

"Nggih, Mbak Ek. Sekalian mau ke Malang jadi mampir dulu."

Oh, pantas. Jarang-jarang soalnya aku lihat Pak Ali pagi-pagi licin begini.

"Mau ke Malang, Mas?"

Apa sih, Mbak Gendhis? Buat apa coba kayak gitu aku tanya? Wong pasti juga tahu jawabannya toh? Jelas loh tadi, mau ke Malang. Sekali lagi, mau-ke-Malang. Buat apa ulang-ulang pertanyaan begitu?

"Iya. Sehat anak-anakmu, Ndis?"

Nyenyenyenye...

"Sehat, Mas, alhamdulillah."

"Kelas berapa yang sulung?"

"Tiga SD, baru kenaikan kelas bulan ini."

Kan, obrolannya mulai merambat ke mana-mana.

Aku hendak bangkit, tapi niat itu aku batalkan ketika Pak Ali mendudukkan diri di sebelahku. Persis di sebelahku, sampai aku bisa mencium aroma parfum dan rambutnya, bisa dibayangkan sedekat apa kami.

"Ini, kasihkan ke anak-anak."

Mataku sedikit menyipit ketika Pak Ali menaruh salah satu paper bag bawaannya ke meja, mendorongnya kepada Mbak Gendhis yang berada di depan kami.

Sementara yang diberi tampak kebingungan.

"Oleh-oleh umrah itu, Ndis," suara melengking itu milik Bu Eka.

Di sampingku, Pak Ali menganggukkan kepalanya.

Aku nggak tahu apakah situasi ini normal untuk dua lawan jenis yang dulunya pernah mengukir asmara. Rasanya kayak ... kok bisa Pak Ali biasa aja dan nggak canggung sama sekali padahal ada aku di sampingnya? Mbak Gendhis janda lho. Apa memang begini kehidupan orang dewasa? Super biasa aja dan menolak adanya drama?

Dia nggak mau mengerti perasaanku apa? Aku rapuh loh, hatiku disentuh dikit bisa langsung ambyar.

Apa nggak takut aku aduin bapakku dia?

"Buat aku, Mas?"

Biit iki mis?

Padahal jelas buat anak-anaknya, percaya diri banget deh.

Dengan menahan dongkol dan kecamuk, aku menarik teh tawar hangat, mengaduk-aduknya walau pun nggak ada gula yang diharapkan akan larut.

"Iya. Yang ini buat sampean, Mbak Ek. Sama aku tolong buatkan nasi uduk, nasinya dikit aja kayak biasa. Dua ya, yang satu buat Pak Hardi."

"Aku juga dikasih, Pak?"

"Maaf nggak bawa banyak tapi."

"Halah, gini aja udah sueneng aku, Pak. Makasih lho ya. Dilancarkan rezekinya."

"Amin."

"Dilancarkan juga sama yang di samping itu."

Aku menatap Bu Eka kesal sedangkan Pak Ali malah terkekeh-kekeh, kepalanya mengangguk semangat.

"Amiiiin."

Amin-nya lebih panjang pula.

Mbak Gendis yang tubuh ya kini sedikit miring, akhirnya menoleh lagi, dia menatap Pak Ali dan sempat-sempatnya melirikku walau hanya sekilas.

Ji, Ro, Lu, Linu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang