Dua Puluh Satu

10.5K 1.5K 137
                                    

Hehehehehe, pada kangen?
Bab spesial-nya Pak Ali yg aku maksud kemarin kemungkinan sebentar lagi selesai. Nanti aku kabarin yaa.
Sekarang selamat membaca!!! Jangan lupa tinggalin komentar yang banyaaaakkkkk! Aku usahain update lagi dalam waktu dekat!






"Body ku cakep juga. Ya nggak, Nek? Yang depan agak rata sih, tapi yang belakang semok gini. Nih, lihat!"

Dengan pede aku mengusap pinggang hingga pinggulku, aku pamerkan pada Mbak Listi. Terdengar suara dengusan, tentunya datang dari mbakku yang iri.

"Sekel banget, ihiw! Gini kok dulu nggak ada ya agensi yang rekrut aku jadi model. Body mantep, muka estetik. Tahu gini dulu aku daftar miss-miss gitu nggak sih, Nek? Makilin Jateng, ya minimal jadi runner up lah. Yakin."

"Nggak usah kebanyakan nyerocos!" super tega Mbak Listi mengeplak lenganku memakai tasnya. "Lagian mau jadi begituan kudu pinter."

"Aku pinter keles. Jangan ngenyek! Adikmu ini tuh paket komplit, orang sekelas Pak Ali aja kesemsem."

"Udah lah, Has! Kelamaan lho ini kita. Jadimu milih yang mana? Dari tadi kok malah cuma ngelus-ngelus bokong!"

"Bentar, dong. Menurutmu bagusan yang mana, Nek? Aku suka yang ku pakai ini sih, warna maroon-nya cakep banget."

Jadi kami sejak tadi lagi belanja kebaya, Jum. Ehm! Ya ... buat nyambut Pak Ali nanti. Sepulang dari rumahnya, siang-siang bolong aku langsung ke rumah Mbak Listi minta ditemanin cari kebaya. Nggak usah ditanya, Solo ini surganya kebaya cantik, mau model bagaimana pun ada. Pagi, siang, sore, malam, di mana-mana ada tanpa takut habis dan tutup.

Memang nanti cuma Pak Ali yang datang. Nggak ada acara tukar cincin atau pertemuan keluarga besar. Tapi apa salahnya aku meromantisasi momen dengan pakai kebaya? Cuma kebaya kutu baru dengan model sederhana yang nanti aku padukan dengan rok lilit, bukan kebaya yang mewah dan cetar begitu.

Toh, dalam keseharian aku juga sering pakai kebaya kok. Ke mall, ke resto atau coffee shop, di Wolu-Wolu. Jadi bikin pede, merasa cantik dan anggun banget.

"Mana langsung pas gitu di nadan, yang ini agak kegedean, Nek," aku mengangkat kebaya lain yang berada di genggamanku.

"Ya udah, itu aja. Cuttingan-nya juga bagus ini, tapi kok kamu sukanya yang motif-motif kembang jadul gini? Nggak yang polosan aja?"

"Bagus tahu, biar badanku kelihatan agak berisi juga," nggak cuma Mbak Listi aja yang bilang kalau seleraku jadul. Tapi ya sudah toh aku pede-pede aja.

Kalau selalu ngikutin apa yang lagi tren ya nggak akan ada habisnya. Aku merasa lebih baik kalau kita menyimpan dan nerapin yang namanya selera, jadi diri sendiri, enggak gampang terbawa arus. Jadinya lebih hemat juga kan, karena enggak ada tuntutan diri buat mengejar tren, juga enggak jadi rendah diri sewaktu ketinggalan.

Aku bilang begini nanti dikatain pick me nggak, nih?

Anak sekarang ya, ada orang beda sedikit dikatai pick me, bersebrangan dikatai pick me, nolak sesuatu dikatai pick me.

Ya memang aku sebentar lagi mau di-pick sama jurangan, nih.

"Nggak sekalian cari aksesoris?" tanya Mbak Listi sewaktu kami selesai membayar. Kebaya cantik nan murah mursida ini sekarang udah jadi milikku.

"Apaan?"

"Kalung? Hair clip?"

"Nggak usah sih, Nek. Lagian aku nggak mau dandan macem-macem. Hair clip buat apa juga, nanti rambutku mau aku blow biasa aja."

Akhirnya aku mengajak Mbak Listi makan bakmi sebagai bayarannya. Mbakku ini biasanya jual mahal tapi entah, hari ini murahan banget alias enggak minta banyak imbalan. Cuma bakmi ini, sama lipstick yang nggak sampai lima puluh ribu.

Ji, Ro, Lu, Linu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang