"Jadi semuanya ini dari sales ya?"
"Iya, Bu."
"Harusnya kamu ambil karyawan lagi, jadi tokonya berjalan, kamu bisa kerja. Malah lebih bagus."
Aku menahan mulas dari semenjak Bu Retno tiba-tiba datang, entah memang membeli makanan ringan tadi atau cuma dibuat alibi, aku nggak paham. Namun yang pasti, si nyonya itu malah berdiri bersandar di depan kasir, sambil berlagak jadi reporter yang bertanya ini itu.
"Saya kan lagi pengin coba hal baru, tantangan baru, kalau saya nggak melibatkan diri, tujuannya jadi nggak tercapai dong, Bu..." aku capek ah dibegini begitukan. Terserah entah Bu Retno menilaiku lancang atau nggak sopan. Dia begitu ke aku juga udah menyinggung kok.
Orang-orang kayak Bu Retno ini pandai bermain peran, mainnya halus, tapi dalam tutur lembutnya itu menyimpan ratusan duri yang tajamnya memang nggak terlihat, tapi jelas nusuknya kerasa banget.
Fera ini keluar cari makan siang kenapa nggak balik-balik coba?
Wolu Wolu juga kenapa bisa kebetulan sepi begini, sih?
"Tapi kalau kamu stuck di satu hal, bakal susah berkembangnya, Nduk."
Kapan dia bisa sadar kalau nggak semua orang ingin mengejar ketinggian? Ada yang pengin hidup di rumput, di bawah pohon, yang adem, asri, udah. Katanya pinter, tapi kok pikirannya sempit begini sih?
Aku udah merasa kalau yang aku dapat sekarang ini cukup, aku udah merasa kalau diriku ini malah sedang berkembang dan ya udah gitu lho. Orang yang penuh ambisi sepertinya nggak bakal mengerti, mau aku jelasin juga dia bakal tetap menyuruhku begini begitu seolah nggak ada kata cukup. Dia mengharuskan semua orang harus lari tapi nggak mau sadar kalau kita punya limit sendiri-sendiri.
Apa aku salah? Apa aku yang cuma makhluk medioker biasa aja ini bakal merepotkan dia? Enggak lho. Aku memang punya sesuatu sama Pak Ali tapi kurasa laki-laki itu nggak akan merepoti Bu Retno kok, Pak Ali udah dewasa, dia nggak butuh lagi ditopang, dia mampu berdiri atas kedua kakinya sendiri, lalu kenapa Bu Retno malah .... ah, capek ah jelasinnya.
"Ini aja baru merintis, Bu, masa saya tinggal?" aku sedikit terkekeh supaya Bu Retno sadar betapa lucu dirinya.
"Iya juga, mungkin kalau mulai stabil, baru bisa kamu menginjak kaki di bidang yang lain. Ibu kamu katanya juga punya organizer sama katering?"
Harus ya semua orang menginjakkan kakinya di sana, di sini, di situ? Gimana kalau aku nggak ingin?
"Iya," tapi tetep, sok manis muka itu harus.
"Tapi kok nggak pernah dengar ya saya, baru berapa lama?"
Kan, belum-belum udah ngeremehin.
"Eemm ... ada sekitar empat tahunan."
"Masih kecil-kecilan ya berarti?"
Kok begini ya? Gampang banget gitu loh meremehkan orang dengan cara yang huuuualus. Aku yang biasa-biasa aja ini selalu hati-hati loh kalau bicara. Ini yang katanya berpendidikan tinggi, berkelas? Kayaknya memang darah kolotnya lebih kental.
Kalau menanjak selangit pada akhirnya bikin aku lupa tanah, mending aku naik pohon buncis aja.
"Selamat datang di Wolu Wolu!"
Akhirnya! Aku memberikan senyum termanisku pada pelanggan yang kedatangannya bak pahlawan penyelamat ini.
"Mulai sibuk ini kamu, kalau gitu saya tinggal dulu ya. Besok-besok kalau bisa dijadwalkan makan siang bareng. Ya, Has?"
Aku cuma senyum-senyum aja, begitu Bu Retno berbalik, segera aku mendudukkan diri di kursi kasir. Lega banget rasanya setelah bermenit-menit syarafku menegang. Dalam posisiku, aku melirik ke pelataran ruko di mana Bu Retno tengah mendekati mobil sedannya hingga tak lama kemudian masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ji, Ro, Lu, Linu!
RomanceLelah dengan pekerjaannya sebagai budak korporasi di kota metropolitan membuat Hashi Mahika ngacir pulang ke kampung halaman dan menjalankan minimarket. Mengorbankan uang tabungan tak lupa tunjangan dari bapak ibu, maka jadilah. Tidak apalah penghas...