Tiga Belas

14.6K 2.4K 261
                                    

Hehehe.

Maaf ya lama. Habis ini aku usahakan update sering dan teratur, asal diramein (sesekali minta nggak apa qhaaaann? Aku kangen bacain komen gemes-gemes :((()





Ah, aku ingat masa-masa itu, di mana aku masih young tapi nggak rich dan free. Sekitaran usia itu adalah masa ku yang paling krisis. Gimana enggak coba, Jum? Aku udah tua, lihat gimana ibu bapak yang banting tulang buat pendidikan S2-ku, sedangkan aku belum ada rencana mau ke mana, nggak tahu bisa berhasil kerja di perusahaan bonafid atau enggak, mikir nanti aku bisa 'balikin modal' atau enggak, gimana nggak stress?

"Aku nggak buntuti kamu, kalau itu yang kamu takutkan, Has. Cuma kok ... ya, mungkin dibawa takdir beberapa kali ketemu kamu di tempat-tempat itu."

Aku mendengus jenaka sambil mengusap jilbabku, omong-omong ini—mungkin—pertama kalinya Pak Ali menjumpai aku yang berkerudung begini loh, apa yang ada di pikirannya kira-kira? Makin cantik kah aku?

Jiakh!

"Terus, gimana caranya bisa tertarik dari beberapa kali pertemuan itu?" aku bertanya blak-blakan.

"Ya....."

"Ya?"

Pak Ali mengedikkan bahunya, memperbaiki posisi duduk jadi lebih santai dari sebelumnya.

"Jawaban apa kira-kira yang kamu harap-harap?"

"Aku tanya loh, Pak?"

Dia terkekeh sekarang. "Bohong, Has, kalau aku bilang, pertama kali yang bikin tertarik itu karena kamu baik, atau pinter, wong belum kenal. Maaf kalau kamu tersinggung karena ini, atau merasa nggak nyaman, setelah beberapa kali ketemu kamu, aku ada rencana pengin nyapa, tapi balum dikasih kesempatan ternyata, habisnya kamu nggak kelihatan lagi. Mau tanya ibu bapakmu, kok ya sungkan, jadi lebih pilih tanya Yai Huda, yang masih famili sama mu, dengar-dengar beliau itu sepupunya almarhum eyang mu."

Dadaku berdebar. Sejujurnya, iya, aku sempat bertanya-tanya, kenapa Pak Ali dulu nggak langsung mendekati aku aja kalau memang tertarik? Kalau mendadak ngelamar kayak kemarin kan ada ngundang curiganya kan, Jum, bikin bingung juga. Tapi sedikit-sedikit mulai paham, sih, Pak Ali ini orangnya nggak neko-neko, dia memilih buat diam dulu karena memang belum siap, mungkin? Jadi dia berpikir lebih baik datang di saat dirinya udah mantab, nggak perlu ada basa-basi lagi.

"Kata beliau kamu baru aja lulus dan langsung ke Jakarta, modal nekat beliau bilangnya. Diceritakan juga gimana beratnya ibu bapakmu melepas, soalnya kamu anak ragil, kebiasa dielus ibumu katanya, pengin makan tinggal makan, Pak Bambang juga gemati banget, kamu udah sebesar ini ibaratnya ada hujan petir kamu pengin bakso di perempatan juga dibudali," Pak Ali makin terkekeh dan aku berkedip-kedip menahan malu.

Tapi emang benar yang dibilang, aku ini kebiasa diketekin Ibu, dibonceng Bapak, paham kan maksudnya? Iya sih, dulu aku sempat kuliah di luar provinsi, tapi kan nggak jauh-jauh amat gitu lho, aku juga masih bisa sering pulang.

Ya jelasnya aku ini anak bapak ibu banget. Mbok-mboken, Bahasa Jawa-nya

"Setelah dapat cerita panjang lebar, niatku nunggu kamu pulang buat sekadar sapa-sapa langsung hilang. Malu, Has, rasanya, sungkan. Kamu segitu dijaganya sama ibu bapakmu, sedangkan aku masih banyak kurangnya. Aku nggak bermaksud buntuti kamu, ya cuma tanya hal-hal sederhana aja ke sanak famili mu, ke Edi, karena mereka orang terdekat kalian di sini yang tak kenali. Syukur, rasanya cocok, jadi sekalian nunggu kamu pulang, aku ada banyak waktu buat berbenah. Maaf karena kesannya mendadak, bikin kamu bingung, maaf juga kemarin-kemarin bikin kesal kamu."

Ji, Ro, Lu, Linu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang