Sembilan Belas

10.4K 1.6K 261
                                    

Hashi Queen Jamet dan Pakdhe balik lagi niiih!
Siapa yang kemarin bilang aku update setahun sekali? Aku update lagi ini awas aja kalo gak diramein😤

Temen-temen mohon maaf ya kalau dirasa cerita ini cringe atau bahkan gak sesuai ekspektasi. Cerita ini tuh awalnya ku tulis buat stress relief setelah nulis cerita yang berat dan mengguncyang. Jadi ya ... isinya mostly cuma Hashi nyemprul begini aja hehehehe. Catatan semprul Hashi ini ceritanya.

Selamat membaca yaa!







Pak Ali sakit, aku baru aja tahu dari Kang Deni yang tadi pagi habis dari rumahnya. Laki-laki itu nggak bilang apa-apa ke aku padahal, sejak kemarin kami juga berkabar kayak biasanya, bahkan pagi-pagi sekali dia mengirimkan foto sarapannya dengan bubur yang diaduk seperti makanan entah apa itu. Mungkin nggak mau bikin aku khawatir?

Tapi pede juga ya kalau aku akan khawatir. Eh, tapi memang aku cukup cemas juga, sih. Ini buktinya mau jengukin dia. Lebih tepatnya, dipaksa ibuku.

"Ini lho nggak kamu bawa, Has?"

"Apa lagi?"

"Madu murni. Biar menambah stamina ini."

Stamina stamina apa lagi? Emakku ini benar-benar, ya! Aku membiarkan ibuku membuka pintu mobil dan menaruh sebotol madu yang katanya dari pegunungan entah apa itu, ia masukkan ke dalam goodie bag. Tak lama kemudian ditutup dengan brutal yang membuatku meringis.

Oalah, Bu Anis ini tidak tahu kalau aku sedang menahan insecure memasukkan mobil LCGC ini ke rumah gedongan Pak Ali dan sekarang dia mau merusaknya pula? Sudah cukup body-nya tergores ketika aku berpapasan dengan bapak-bapak membawa paralon kemarin. Mau diketok magic tapi aku lebih memprioritaskan uangku ke beberapa makeup yang menipis. Yang penting muka dulu, Bos. Urusan ganti oli atau servis atau perbaikan body nanti-nanti aja, lah. Bahkan duet combo maut pewangi jeruk dan anggur ini aku selalu lupa mengganti.

Omong-omong soal madu murni asli dari pegunungan nan langka itu, pastinya Pak Ali pasti sudah berobat juga. Itu kata ibuku menambah stamina, stamina apa coba?

"Heh, Has!"

"Apa lagi?"

"Bilang ke Pak Ali, Ibu Bapak mendoakan supaya cepat sembuh."

"Iya."

"Terus bilangi juga nanti kalau udah sembuh mau diajak Bapak cari manuk, gitu."

Astaga...

"Iyaaaa."

"Nanti yang manis kamu, jangan sok jutek begitu. Yang perhatian. Ditanya-tanyain jangan cuma nyah nyoh kasih bawaan terus balik. Yang sopan gitu lho sama yang tua."

Setua apa sih Pak Ali? Katanya baru empat puluh kurang empat bulan? Kenapa pula orang-orang memandangnya seperti sepuh?

"Bener itu kata ibumu."

"Ya wis lah, berangkat aku. Assalamualaikum."

"Ya. Waalaikumsalam. Jangan lupa Ibu titip serabi lho ya, Has. Pandan!"

Aku menyelipkan jempol pada jendela yang terbuka separuh. Beginilah orangtuaku, rewel luar biasa. Tapi justru itu yang bikin kangen. Di rumah, rasanya selalu hidup, ramai, seakan memori diberi makan yang enak-enak setiap detiknya.

Suatu kebiasaan sederhana yang hampir setiap malam aku tangisi saat masih berada jauh di ibu kota sana.

Komplek sekitar rumah Pak Ali tampak sepi, mungkin karena aku ke sini siang bolong. Bagus lah tidak ada yang menyadari kedatanganku, ya walau kemungkinan besar mereka nggak kenal dan nggak peduli juga.

Ji, Ro, Lu, Linu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang