Enam

15K 2.5K 236
                                    

Nggak ada tuan-tuan muda hot dan nona nona elegan di sini, lapakku tempatnya pakdhe-pakdhe dan mbak-mbak Jawa cengengesan. Haha. Happy reading!

Makasih udah tungguin dan maaf karena bikin nunggu.










Aku nggak fokus banget seharian ini, pertama, aku datang kesiangan. Kedua, aku pakai kerudung gantinya Fera buat mengelap tumpahan air mineralku. Ketiga, aku berjalan nyeker dan alhasil kelingking kakiku kepentuk meja kasir. Keempat ini, aku salah ngasih kembalian.

"Wong lima puluh enam ribu uangnya enam puluh kok cuma ini to, Mbak?"

Aku meringis, mengambil satu lagi selembar dua ribu rupiah untuk kuberikan pada emak-emak di depanku sambil minta maaf, plus anaknya aku sogok pakai permen juga.

Uuuuuapes!

"Maaf sekali lagi ya, Bu."

"Hm. Ayo, Nak!"

Seperti yang ditebak, semua ini karena kejadian semalam. Carut marut banget ini isi kepalaku, tapi mau nggak mau aku memendamnya sendirian. Belum siaplah kalau aku cerita ke orang. Aku nggak mau woro-woro yang malah berpotensi melebar dan jadi gosip.

Sejak tadi sebenernya aku juga nunggu Pak Ali, tapi batang hidungnya nggak tampak. Padahal biasanya pria itu ada aja urusannya ke mari. Numpang pipis lah, beli tisu lah, beli air lah, beli roti lah. Eh— oh! Ini mungkin kedengarannya aku kepedean, tapi kayaknya ... apa Pak Ali caper, ya?

Maksudku ... ya buat apa gitu lho? Orang kayak dia nggak mungkin kalau nggak punya stock di rumah. Buang air juga padahal belok sedikit udah sampai rumahnya. Bah! Bisa gitu, ya?

Aku mesem-mesem. Mana dia nunggu aku empat tahun lagi. Em. Pat. Ta. Hun. Empat tahun dia mematangkan niat. Kayaknya bener yang dibilang Mbak Listi kemarin, soal niatnya yang tulus pengin jadiin aku istri. Kalau cuma buat mengatasi kesepiannya dan buat senang-senang ngapain coba dia repot-repot nunggu dan nahan diri sampai bisa mantab melamar? Kan padahal harusnya bisa banget dia jalan sama perempuan lain yang sekelas. Nggak bakal ditolak itu Pak Ali. Wong meskipun kepala empat dan hampir kayak patung tapi bentukannya kelewat bagus buat digandeng kok.

Aduh, anak Pak Bambang ini masuk kriteria wanita idaman ternyata. Jiakh!

Nggak salah emang Bu Anis kerap kali memujiku cuuuuantik!

Hashi Mahika binti Bambang Hermawan bin Soleh Widodo bin Yono gitu loh!

"Mbak Has! Masih nggak sama."

Lamunanku buyar, aku mendongak menatap Fera yang ada di ujung tangga lantai dua. Jadi, ternyata stock susu dari komputer dan display nggak sesuai, alhasil aku menyuruh Fera buat mengeceknya. Aku mendesah, lagi nggak mood banget menghadapi keruwetan padahal, aku pengin ngelamun-lamun aja ini. Tapi harga susunya mahal pula, hampir dua ratus ribu.

"Gimana, Mbak?" wajah Fera tampak panik, aku yang tadinya hendak mengomel jadi nggak tega lihat wajahnya yang dihiasi keringat meskipun ruangan ini ber-AC.

Ya udah. Mau gimana?

"Ya udah lah, semoga nggak rugi akhir bulan nanti kita."

Aku juga nggak akan memotong gaji karyawanku kok. Kasian, Jum! Gajinya nggak lebih dari dua juta, tahu banget aku sekarang ini apa-apa mahal, biaya nikah mahal, biaya berumah tangga mahal, kalau uang segitu aja aku potong, gimana nabungnya?

"Maaf ya, Mbak."

"Nggak apa. Besok-besok yang teliti lagi. Kasih tahu juga itu Dini sama Tiara."

"Apa kita lihat CCTV aja, Mbak?"

Ji, Ro, Lu, Linu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang