Delapan Belas

8.6K 1.4K 142
                                    

"Kamu nggak mau cerita, Has?"

"Soal?"

"Ya ... diri kamu. Punya mantan berapa dulu?"

Aku hampir kesedak cilok, Jum! Kami masih di lapangan yang makin lama makin ramai. Aku juga sudah mengabsen banyak sekali jajanan karena kapan lagi? Hitung-hitung nostalgia semasa remaja dulu karena sejak jadi manusia dewasa ini aku jarang keluar.

Pak Ali yang duduk di samping ku lirik, ternyata dia juga tengah memandangku lekat. Omong-omong, dari jarak sedekat ini, aku bisa mengamati kegantengannya dengan lebih jernih. Kenapa bisa usia sudah hampir kepala empat tapi kulit wajah masih sekencang dan sesehat itu? Ingatkan aku bertanya padanya nanti, atau jangan-jangan jawabannya adalah air wudhu?

"Mantan ... aku— mantanku banyak sih, Pak," enggak, bohong aja untuk menggoda dan penasaran akan responnya. Aku menyeringai untuk meyakinkannya. "Aku playgirl dulu, Pak."

"Eh, masa?"

"Ho-o!" kepalaku terangguk-angguk. "Jenengan ilfil, ya? Hehe."

Sesuai dugaanku, Pak Ali terkekeh. Kan? Chill juga om-om ini, walau beda generasi kayaknya kami cukup klop untuk urusan humor. Atau mungkin karena aku yang memang garing dan nggak pandai melucu?

"Biasa itu, umur segitu lagi kenes-kenesnya," dia turut berseloroh. "Yang penting udah pada move on, kan?"

"Ya udah, dong. Udah pada kawin juga kayaknya, Pak."

"Kalau gitu kamu susul aja, nikah samaku."

Mulai...

Kalau mau menyinggung seharusnya tunggu dulu sampai cilokku habis karena ini pembahasan berat. Atau bahas saja nanti-nanti setelah pulang, bukannya di sini dengan iringan musik DJ jedag-jedug dan pemandangan musuhku si Imroatus yang katanya senam tapi malah kayak goyang mentul-mentul itu. Tapi serius, aku terganggu sekali dengan celana dalamnya yang menyeplak, banyak anak kecil di sini, lho. Dia pikir dia yang paling seksi?

"Enak, Has?"

"Apa, Pak?"

"Itu, pentol," Pak Ali menunjuk bungkusan di tanganku dengan telunjuk panjangnya.

Dia sedang mengalihkan pembicaraan, kah? Bagus lah kalau begitu.

"Enak, mau nyoba?"

"Boleh."

Nah, aku bingung sekarang. Teringat beberapa waktu lalu ketika Pak Ali menawari nasi uduk, dia menyuruhku menyendok sendiri alih-alih menyuapi, kemungkinan besar dia malu untuk melakukan yang begitu-begitu. Jadi, aku mengangsurkan jajananku, mempersilakannya mengambil sendiri lewat tusukan.

"Nggak bisa nusuk-nusuk aku, Has."

Kenapa ... kesannya ... ambigu?

"Gampang lho, Pak, gini doang, nih," aku hendak mengangsurkan lagi, namun Pak Ali sudah terlebih dulu membuka mulutnya. Jadinya ... jadi ... aku ... menyuapi dia.

Kita suap-suapan, Jum! Oalah begini toh rasanya jadi bocil-bocil yang pacaran di jembatan sambil suap-suapan dan minum es cekek itu?

Luar biasa, perutku langsung mulas. Semoga Pak Ali tidak menyadari tanganku yang tremor.

"Enak?"

Dia mengangguk.

"Lagi?"

Pak Ali kembali mengangguk.

"Emang nggak pernah jajan ginian, kah?" tanyaku, lebih ke meledek saat Pak Ali mengunyah makanannya.

"Pernah. Dulu pas kecilku udah ada beginian."

"Tapi nggak dibolehin Mamah?"

"Ya boleh, lah. Cuma jarang karena perutnya nggak kuat."

"Oh, kurang higenis?"

"Nggak kuat pedes, Has. Menc— diare."

Aku suka bagaimana dia meralat katanya dan memperhalus di depanku.

Mesem-mesem lagi ini aku. Oalah.

"Jadi, jenengan betul-betul nggak bisa makan pedes ya, Pak?"

"Ya bisa, Has. Cuma agak pilih-pilih."

"Sambel, bisa?"

"Sambel bawang aman."

"Terus?"

"Sambel tomat."

"Terus kalau sayur gitu, misal opor, kari, nggak bisa juga?"

"Tanya terus, mau jadi istriku kamu?"

Kok begini terus, sih, arah bicaranya si Tuan Vijay ini? Se-ngidam itu dia ingin menikahiku? Kalau dilihat-lihat, akhir-akhir ini Pak Ali lebih terang-terangan dan berani. Ya memang dasarannya dia bukan lelaki dingin begitu, Jum. Pak Ali sebetulnya ramah, supel, dan pandai bicara. Jangan termakan framingku dulu, ya.

Melihat tingkah polahnya, ku tebak, mungkin dia sudah ingin segera mendapat jawabanku. Namun, aku belum tahu, aku masih kebingungan dan belum bisa meraba hati dan inginku dengan pasti.

"Tanya aja, loh," aku tersenyum kecil, mengalihkan pandang.

"Tapi kamu suka, doyan pedes?"

"He-em. Nggak kerasa malah kalau nggak pedes, menurut aku."

"Gampang. Nanti menunya bisa dipisah."

Apa coba maksudnya?

"Pak Ali, loh..."

"Apa?"

"Nyebelin, ah!" ku gaplok saja lengannya walau malah membuat telapak tanganku agak sakit. Lengannya keras betul, Jum!

Tapi alih-alih meringis, aku justru menahan kedua sudut bibirku untuk tidak tertarik membentuk senyum malu. Pipiku rasanya sampai pegal.

"Kamu juga. Cewek bawel."

"Ih, itu bahasa zaman kapaaaan coba, Pak?" geli banget karena aku jadi teringat dipanggil begitu oleh mantanku zaman SMA dulu.

Bawelku, gitu-gitu.

Ih, merinding! Ternyata perbedaan generasi tak bisa bohong. Beberapa sisi Pak Ali masih stuck di situ-situ saja. Tidak upgrade.

"Geli, ah!" lanjutku sambil bergidik dan meringis, membuat Pak Ali kebingungan walau dia tertawa juga.

"Kenapa?" tanyanya berusaha sabar.

"Pokoknya geli."

"Kamu ini lucu."

Aku? Dua puluh tujuh tahun? Lucu?

"Kenapa? Salah lagi? Coba kasih tahu istilahnya yang gaul-gaul itu coba, apa aja?"

"Nggak pa-pa, sih, aslinya, Pak," aku menyengir, menatapnya wajah clueless-nya lucu sekaligus merasa bersalah. "Cuma, tetiba keinget masa lalu jadi geli aja gitu."

"Siapa? Mantanmu? Sering dibilang gitu sama mantanmu?"

Aku mengangguk jujur. "ABG alay dulu aku tuh."

"Ya udah sekarang kasih tahu yang beda, coba."

Perutku kaku rasanya karena menahan tawa sejak tadi.

"Apa yang keren dan sweet gitu, Has? Dulu zamanku panggilnya pada My Sunshine—"

Makin-makin dia.

"Udaaaah! Udah, please stop, Pak. Nggak kuat perutku, Pak."

Tawa Pak Ali turut berderai, dia bahkan sampai merunduk rendah cuma untuk mengintip ekspresiku.

"Kamu ini lho, padahal aku nggak ngelawak. Tapi nggak pa-pa kalau bikin kamu happy."

"Lucu banget sih jenengan tuh."

"Udah tahu lucu begini, masa dibikin ketawa terus nggak mau kamu?"

Mulai lagi!















Ji, Ro, Lu, Linu tetap akan tayang dan tamat di sini kok temen-temen, nggak aku pindah ke mana-mana. Tapi harap bersabar yaaa, huhu, karena aku juga punya proyek on going di pf lain. Kita jalan santai ya man temannn!

Ji, Ro, Lu, Linu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang