Dua Belas

14K 2.3K 200
                                    

Aku baru sadar ya, Pak Ali walau kadang nyebelin dan sengak begitu, dia punya energi positif menguar kental kalau kita udah benar-benar kenal.

Kayak, apa ya ... kayak yang ada di dirinya itu daging semua. Yang orang-orang bisa ambil manfaat dari sana. Mulai dari caranya memilih gaya hidup, yang walau punya kelebihan begitu tapi nggak berlebih-lebihan, yang sehat dalam artian jauh dari hingar bingar 'gemerlap malam', dia tahu dia punya privilese luar biasa sejak lahir dan dia memanfaatkannya dengan baik, nggak cuma itu, dia juga membaginya ke banyak orang.

Aku pikir dengan aku datang, aku bakal disuguhi pemandangan keluarganya yang serba bling-bling gitu kan, yang from head to toe outfitnya bikin aku minder, topik obrolannya sebelas dua belas sama Bu Retno yang bikin aku pengin nangis pundung di kamar mandi. Plus, aku juga sempat harap-harap cemas takut bapak ibuku dilirik pakai tatapan nggak enak atau gimana.

Tapi ternyata enggak.

Tadi Kang Penjaga—yang lagi-lagi lupa aku tanya namanya, menggiringku ke taman belakang rumah Pak Ali, yang ramai banget, berisi anak-anak yang nggak aku kenal tapi ketika mereka melihatku dan bapak ibu datang, pada salim satu-satu. Belum selesai di situ, keluarga Pak Ali dari garisnya mendiang ibunya juga menyapaku akrab, bahkan memeluki Ibu dengan ramah banget, lalu sekarang mereka lagi ngobrol tuh di dalem, sedangkan Bapak juga udah akrab sama pakdhe pakliknya Pak Ali.

Lega banget.

Satu lagi, anak-anak yang kumaksud ini bukan cuma dari keluarga Pak Ali, tapi juga mereka yang diasuh oleh laki-laki empat puluh tahun itu. Kebanyakan anak remaja, sekitar anak SMP-an lah mungkin kalau dilihat dari fisiknya, tapi yang agak gedean pun ada, bahkan tadi ada yang bilang kalau udah kuliah juga.

"Itu yang baju merah itu kok aku kayak kenal ya, Pak?" tanyaku pada Pak Ali yang duduk di sampingku, sambil menunjuk-nujuk laki-laki berpawakan kurus dengan warna pakaian yang aku sebut tadi.

Tapi Pak Ali nggak menjawab, dia sibuk sama ponselnya—yang mihils itu, bisa kali dibuat renov dapurnya Bu Anis yang pengin kayak ala-ala moms selebgram katanya.

"Yang baju merah itu anaknya siapa, Pak? Kok kayak kenal?" sabar loh aku, masih aku ulangi dengan lembutnya.

Tapi dia tetap nggak menjawab, hingga ketika aku meliriknya, baru akhirnya dia buka suara.

"Apa? Oh, Roki itu, cucunya Mbah yang jual gethuk uenak di pasar itu."

Nah kan, aku tahu kalau dia sebenarnya dengar. Entah kenapa jawabnya sengaja di delay gitu, puersis sama bapakku, itu pun juga nggak juelas banget.

Mbah bakul gethuk itu siapa? Gethuk uenak itu yang mana? Kan aku baru pulang dari perantauan, ya nggak tahu lah!

Aku sengaja menaruh mangkuk berisi kembang tahu dengan agak menekan, mengisyaratkan kalau aku ini kesel.

"Kenapa?"

"Kok kayak kenal, gitu."

"Ya mungkin sering nggak sengaja ketemu."

"Masih SMA, atau..."

"Udah kuliah."

Aku manggut-manggut. Dalam hati pengin banget tanya, apa dia yang biayain pendidikannya? Mengingat anak-anak itu bukan sekadar memanggil Pak Ali dengan sebutan 'pak', melainkan 'bapak'.

Kami diam, tapi nggak membuat suasana di antara kami jadi sunyi karena masih ada banyak orang yang meramaikannya. Mulai dari anak-anak tadi yang main bareng game dari handphone sampai suara tawa menggelar bapak-bapak termasuk bapakku.

"Kamu merasa terbebani nggak, Has, sama pasangan yang punya tanggungan banyak kayak begini?"

Aku menoleh lagi dan seketika itu juga kami bertatapan.

Ji, Ro, Lu, Linu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang