"Ya mumpung masih begini, bertahap aku tunjukkan semuanya ke kamu. Apa adanya, apa yang ada."
Aku meremas ujung seragamku. Masih berusaha mencerna hal yang tadi baru aja aku ketahui.
Hah ... gitu lah. Harusnya bukan hal yang bikin kaget banget, sih. Tapi justru bikin, em ... kagum? Mungkin.
Jadi emak yang dimaksud tadi adalah pengasuh yang udah nemenin Pak Ali dari kecil, dari baru lahir malah. Lalu anak yang dimaksud itu cucu beliau, remaja laki-laki berusia lima belas tahun yang biaya hidupnya selama ini ditanggung Pak Ali.
Namanya Rifki, semenjak kedua orangtuanya bercerai dan menelantarkan dia, Pak Ali lah yang menggantikan tugas tersebut. Mulai dari biaya makan, sekolah, jajan, kendaraan, tabungan. Semuanya. Semua-muanya, kecuali papan karena emak bilang mereka lebih nyaman tinggal di rumah mungilnya sendiri.
Ya nggak heran, Pak Ali orang berkecupukan—maksudnya, punya kelebihan, kurasa itu bukan hal berat buatnya. Tapi ... nggak semua orang kaya melakukan itu, kan? Jadi kurasa, nggak salah juga kok kalau mau dikagumi.
"Biar kalau jadi ... kamu nggak merasa ditipu atau gimana, karena tanggunganku bukan cuma yang ada di rumah, tapi rumah lain juga."
Buset si om, ini kelewat visioner nggak namanya?
"Aku sih malah suka lihat yang kayak gitu."
Buset juga kenapa aku malah kebawa arus?
"Alhamdulillah kalau gitu."
Udah kami diam lagi. Pokoknya canggung banget deh, sekadar garuk pipi aja aku takut. Padahal biasanya aku berani manyun-manyun di depannya kalau dia rese asal ngambil barang nggak bayar.
Ah, sebentar lagi kami sampai di rumahnya Pak Ali, gimana kira-kira nanti aku bersikap? Sok manis? Sok anggun? Sok imut? Sok dewasa? Sok dingin? Aku nggak ada pengalaman sama sekali lho.
"Bapak ibuku udah nggak ada, Has."
Oh, jadi dia tinggal sendirian?
"Jadi—" lho—eh? Tapi bukannya ... lalu siapa yang mau dia ajak ketemu aku?
Aku mengernyit. "Innaillahi wa innaillahi rajiun. Tapi, terus, sekarang...."
"Ibu tiri. Beliau udah bersuami dan nggak ada anak sama mendiang Bapak, jadi sekarang bukan lagi tanggunganku. Hubungan kami masih baik, makanya sekarang pengin ketemu kamu."
Drama macam apa lagi ini? Duh Gusti ... ternyata bener ya, nggak ada manusia dengan kehidupan yang sempurna. Tapi untunglah Pak Ali kelihatan enggak dramatis, yang cerita mendayu-dayu gitu, itu artinya dia udah benar-benar fokus ke dirinya dan apa yang ada kini seiring matangnya usia.
"Seneng denger tali silaturahmi yang masih kejalin erat gitu, Pak."
"Iya, alhamdulillah."
Oh omong-omong, aku sering dengar dari yang lain kalau Pak Ali ini rutin ke Masjid Agung, bahkan Kang Deni juga pernah lihat gimana Pak Ali yang bantuin pengurus ngepel dan nyapu sebelum salat Jumat, ketika ditanya, daripada nggak ngapa-apain katanya. Aku juga dengar dari Pak RT kalau Pak Ali penyumbang rutin panti asuhan yang ada di kelurahanku, beberapa tanahnya diwakafkan untuk masjid dan musala, bahkan sampai biaya pembangunannya pun dia masih berandil banyak. Lalu, kudengar juga banyak guru-guru ngaji yang dia sejahterakan, buat yang ini aku kagum banget sih, nggak banyak yang melirik guru ngaji karena kebanyakan orang kita memandangnya sebagai 'pekerjaan amal' lalu udah, tanpa sebagian dari kita yang mencoba paham kalau kita pun perlu kasih amal buat mereka.
Terus, aku baru sadar kalau di balik topeng ngeselinnya, Pak Ali tuh ternyata soft banget ya, dengan caranya sendiri dan sederhana banget. Semacam bilang alhamdulillah di hal-hal kecil begitu, basic emang, tapi udah jarang kejadian. Aku juga baru sadar kalau dia enggak banyak melihatku, bahkan juga enggak menyentuhku sama sekali meski cuma dempet-dempet atau gimana.
![](https://img.wattpad.com/cover/308920379-288-k774856.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ji, Ro, Lu, Linu!
RomanceLelah dengan pekerjaannya sebagai budak korporasi di kota metropolitan membuat Hashi Mahika ngacir pulang ke kampung halaman dan menjalankan minimarket. Mengorbankan uang tabungan tak lupa tunjangan dari bapak ibu, maka jadilah. Tidak apalah penghas...