"Tumben beli banyak, Has?"
"Ibuku nggak masak, Bu Tik," jawabku sambil berkaca, menambal bibirku dengan lipstick sembari menunggu pesananku dibungkus oleh Bu Tik.
Bu Tik dan warung sederhananya memang langganan keluargaku, beliau sudah berdagang sejak aku kecil, jadi meskipun aku sempat lima tahun merantau, Bu Tik nggak lupa denganku sama sekali.
Oh, omong-omong, aku memang pulang saat sore, Wolu-Wolu ganti dijaga oleh karyawan dengan shift sore malam. Ada tiga yang bekerja denganku, by the way. Mereka adalah Dini, Tiara, dan Fera, juga ketiganya adalah tetangga dekat dan jauhku yang kebetulan kala itu belum bekerja. Ibu yang menyarankan, dengan alasan udah mengenal baik, maka insyaallah bisa dipercaya, katanya. Memang benar, sih, mereka sumeh, ramah, dan baik, tidak banyak tingkah. Aku suka dengan anak yang begitu, mengingat jaman kini ya tahulah, banyak anak yang banyak gaya, aku nggak suka banget.
"Kok jarang ketemu ya aku sama Bu Anis. Sehat ibumu, Has?" tanya Bu Tik, aku melihat tangannya cekatan menuangkan rica-rica pada plastik dalam styrofoam.
"Sehat sekeluarga, alhamdulillah. Cuma kan lagi musim orang hajatan ini, Bu Tik, sibuk."
"Oo iya ya, rejeki itu," sekarang Bu Tik mulai memasukkan styrofoam-styrofoam itu pada kantong kresek besar dan berjalan mendekatiku. "La kamu kapan pake jasa ibukmu, mbakmu sendiri, Has?" tanyanya penuh seloroh.
Hadeh! Ini. Ini nih. Aku ditanya begini lalu aku tanya siapa?
Aku nggak tersinggung atau marah kok kalau ditanya kapan kawin, buatku itu salah satu bentuk kepedulian mereka padaku. Cuma, aku bingung gimana cara jawabnya.
"Tahun depan," katanya ucapan adalah doa? Ya wis, aku doa lho ini. "Berapa ini, Bu Tik?"
Sedangkan Bu Tik malah tertawa, telapak tangannya mengusapi lenganku. "Enam puluh."
"Kembaliannya buat besok kalau aku mampir lagi," aku menyerahkan selembar rupiah berwarna merah padanya.
"Tak catat ya."
"Oke. Balik dulu, Bu Tik," aku menuruni undakan, dan ketika kakiku memijak yang terakhir, lengkingan Bu Tik terdengar.
"Iktiar biar dikawinin bos besar, Has!"
Aku mengernyit, namun juga tertawa kecil. Sudah kubilang kan, aku nggak tersinggung. "Sopo?" tanyaku.
"Pak Ali."
Dan kini, aku terbahak-bahak.
Tangan kiri aku kibas-kibaskan, menatap Bu Tik dengan jenaka. "Wes angel ... angel."
"Lho jodoh gak ada yang tahu."
"Doakan lah!"
"Tak duuuoakan, Has! Kalau dapat ajak aku jalan-jalan yo."
"Ke Borobudur," aku masih aja menanggapi omong kosong ini.
"Halah, enteng itu. Jauhan dikit lah. Ke Jakarta gitu lho."
"Trauma aku sama Jakarta," senyum geliku belum juga luntur. Aku menaruh belajaan ke gantungan motor dan mulai naik. "Aku balik dulu, Bu Tik."
Aku nggak menganggapnya serius kok, lagian juga nggak mungkin kejadian.
Lampu lalu lintas yang berubah merah membuatku berhenti, dan kesempatan itu aku pakai buat membenahi helmku. Surakarta itu bikin ayem banget, dan selalu aku kangenin ketika di Jakarta dulu. Dan sekarang aku kembali hidup di sini, bersyukur banget rasanya.
Sebuah motor yang maju di sampingku membuatku menoleh kecil, lalu ketika wajahnya bisa aku tangkap, buru-buru aku memalingkan kepala.
Ya Salam, andai abai keselamatan, bakal aku terobos aja lampu merah ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ji, Ro, Lu, Linu!
RomanceLelah dengan pekerjaannya sebagai budak korporasi di kota metropolitan membuat Hashi Mahika ngacir pulang ke kampung halaman dan menjalankan minimarket. Mengorbankan uang tabungan tak lupa tunjangan dari bapak ibu, maka jadilah. Tidak apalah penghas...