Ternyata yang nungguin buuuuuanyaak! Maaf banget karena aku molor luama.
"Minggu depan ibu-ibu nyiapin pengajian, besok bapak-bapak kerja bakti. Suuuibuk banget ya wargamu, Pak Te?"
Tanganku penuh akan nampan yang berisi tiga cangkir kopi juga kue-kuean basah dari dapurnya Ibu, sisa pesanan akikah tadi sore. Dua piring kue tersebut aku tata di meja bundar beranda, sementara tiga kopinya aku bagi masing-masing pada bapakku, Edi alias Pak RT yang tetiba geloyor mampir setelah rapat di kelurahan, lalu yang terakhir ... uhm ... si anu, si itu, ehm ... Pak Ali.
Sore ini dia tetiba datang tanpa aba-aba, padahal biasanya sepik-sepik dulu di minimarket, modus mengantar pulang atau bagaimana, tapi tepat sekali ketika aku pulang, laki-laki ini sudah jagongan dengan bapakku.
Itu kah yang namanya cari perhatian? Plus, sogokannya bukan lagi martabak, Jum! Bukan kelasnya itu.
Tahu tidak apa yang dibawa Pak Ali? Ikan louhan, Jum! Yang merah lalu kepalanya benjol itu, lho. Setahuku jenis yang itu harganya mahal.
Tadi mereka asyik memandangi ikan semok itu seakan adalah makhluk Tuhan paling seksi padahal jidatnya benjol, dan begitu aku bilang jika akan membuatkan kopi, mereka pada mapan duduk, disusul si Edi yang sekonyong-konyong datang lalu kelihatan caper banget karena ada Pak Ali. Dengar-dengar sih dia mau jual warisan kebunnya di kampung dan pasti lagi merayu Pak Ali sang maniak lahan itu. Biasalah orang kaya, duitnya tak berseri dan dihambur-hambur buat beli ini itu. Tapi masih mending sih kalau larinya ke lahan, cuma aku dengar kebunnya si Edi itu rawan banjir makanya di jual sama dia. Boncos nanti Pak Ali kalau gagal panen.
Berapa hektar itu, mending disimpan saja dulu buat beliin aku emas maskawin kan—eh!
"Lha kamu ikut, Has?" tanya Pak Edi balik.
"Kerja bakti? Muales! Kusem nanti wajahku kena debu. Lagian kan tugasnya bapak-bapak itu. Aku bagian bikinin es aja. Tak bikinin es kuwut nanti."
"Endak kerja bakti. Jadi panitia pengajian, ikut?"
"Oh..." kakiku melangkah ke samping, tepat di belakang kursi yang diduduki Bapak lalu menumpukan tangan di pundaknya yang penuh lemak. "Nggak sih kayaknya, Te. Aku jarang ikut pengajian, lagian udah diwakilin ibuku tuh, malah jadi ketua panitianya dia."
Biasalah Bu Anis tiap ada kegiatan selalu jadi yang nomor satu lincahnya. Like ... yes queen! Slay it queen. Ratuku memakan tanpa meninggalkan remah-remah!
"Padahal mau tak ajak buat jadi seksi dokumentasi, punya kamera yang bagus kan kamu?
"Sungkan ah, anak-anak remas banyak tuh. Aku sibuk. Nanti aku penjamin kameranya."
"Nggak pa-pa to, Has, ikut sekalian nemanin ibumu, wong udah pulang ke kampung halaman, sering-sering ikut kegiatan biar makin kenal sama tetangga," Bapak yang bersuara, menasihati.
Aku diam sekarang, nggak bisa membantah.
"Iyo, Has. Bener itu bapakmu," Si Edi ikut-ikutan, nambah-nambahin aja. Pria usia 40-an itu melirikku jahil lalu ganti menatap Pak Ali yang sedari tadi diam. Sebelum akhirnya menambahi. "Wong Pak Ali yang beda kecamatan aja ikut berkontribusi kok. Nyumbang konsumsi."
Ya sudah toh kan dia duitnya banyak, sudah tua pula, sebaik-baiknya ya kudu sering bersedekah buat bekal di akhirat.
Ya makanya situ udah tahu nggak ada duit, males nyumbang tenaga pula. Mau bawa bekal apa besok?
Aku meringis sewaktu ada sisi diriku yang lain seolah mengomeli.
"Lihat besok aja lah, nggak usah catat jadi panitia tapi, nanti tak foto-foto sama videoin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ji, Ro, Lu, Linu!
RomanceLelah dengan pekerjaannya sebagai budak korporasi di kota metropolitan membuat Hashi Mahika ngacir pulang ke kampung halaman dan menjalankan minimarket. Mengorbankan uang tabungan tak lupa tunjangan dari bapak ibu, maka jadilah. Tidak apalah penghas...