Sebagai bibi yang baik, aku mampir ke tempat si Nenek alias mbakku Listi buat nguncalin ini pizza sama cake ke bocil-bocilnya. Ada maunya juga sih tapi, aku pengin curhat.
Maklum aja, aku nggak ada yang namanya konco kenthel atau best friend forever atau bestie yang nemplek plek plek di sini, semuanya sekadar temen aja, jadi ke mana coba lariku kalau bukan ke embok beranak dua itu? Bahkan dulu waktu masih di Jakarta, aku juga nggak ada sampai dueeekat banget gitu sama orang, hubungan kami kebanyakan cuma sebatas partner kerja. Eh ada sih, Mbak Karin, dulu kami pernah sharing apartemen juga malahan, sayang aja dia resign duluan setahunan sebelum aku dan sekarang udah ngacir ke Australia ikut suaminya. Nah pas habis ditinggal tuh, ngenes banget deh aku, karena usia kami yang terpaut lumayan, aku tiga tahun lebih muda, jadi rasanya kayak diemong gitu sama Mbak Karin, setelah nggak ada dia jadi kerasa banget bedanya.
Ya cuma Mbak Karin itu yang aku pegang buntutnya kemana-mana, nggak ada gengsi-gengsinya aku ajak ke pedalaman buat nyari warteg murah, ketawa ketiwi sambil ngeracik kopi saset dingin ke botol sebelum berangkat biar mata mau melek, saling curhat sambil pijit-pijitan, bahkan aroma kentut sama bau ketiakku juga udah paham dia.
Aku dan dia sama-sama orang males—ya pahamlah— jadi gampang klop dan nyambung. Kami berbagi segala-galanya, sayang banget sekarang dia nggak punya banyak waktu buat komunikasi karena sibuk kerja juga di sana.
Omong-omong aku udah mencet-mencet klakson dari tadi tapi entah ke mana aja penghuni rumah ini. Hingga akhirnya di klakson ke tiga, muncul juga itu mbakku.
"Mbok ya sabar!" gerutunya sambil membuka gerbang, gerak-geriknya kayak males banget gitu, bikin aku agak ragu mau curhat karena kayaknya dia juga lagi badmood. Kelihatan banget loh mbakku ini, dia bukan orang yang suka nyimpen-nyimpen sesuatu soalnya.
"Kenapa, sih?" tanyaku heran, masih duduk cantik di depan kemudi.
"Nanti aku ceritain."
Kan! Kan! Hah ... niatnya pengin curhat, malah mau dicurhatin.
"Aku bawain nih, buat bocils, kok sepi tumben?" aku mengangkat dua kantong besar di masing-masing tangan dan Mbak Listi segera menerimanya.
"Jalan sama papanya."
"Tumben nggak ikut? Satruan? Sama Mas Yoyok?"
Dia nggak menjawab melainkan langsung berjalan mendahuluiku.
"Mbuh gimana kok masmu itu, luar biasa batunya."
Dari belakang, aku memutar bola mata. Nggak ngaca aja dia padahal dramanya juga seringkali luar biasa. "Kenapaaa?"
"Tak suruh mobil itu lho dijual aja terus beli baru, ngotot nggak mau. Padahal udah tahun tua itu, belinya aja bekas kok dulu, tahun ini lho Has udah mau lima belas tahun—"
Ck, kirain tadi kenapa.
"Ya kalau masih bagus nggak rewel ya udah toh, duitnya bisa ditabung dulu. Kalau aku jadi Mbak yaaaa..." aku memanjangkan kata terakhir yang langsung aja dapet lirikan sinis.
"Aku juga pengin lah kayak orang-orang, kok kayak nggak ada duit, kok kayak aku cuma nuntut, padahal nanti juga mau tak tambahin."
Menemukan sofa, aku langsung merebahkan tulangku yang rasanya kayak melunak di sana, mendesah nikmat karena punggungku akhirnya bisa nyentuh yang empuk-empuk juga.
"Pengin naik apaan emangnya?" padahal masih bagus-bagus aja tuh kendaraannya, maksudnya masih pantes gitu loh lari di jalan. Tapi kebutuhan orang kan beda-beda ya, termasuk mbakku ini yang kebelet gaya, pengin kayak orang-orang katanya, halah halah.
"Pajero Sport."
"Wuih, banyak dong duitmu, Neeeeek!" aku langsung bangkit dengan memberinya sorot binar. Sogeeeh juga ini mbakku, like .. yes kween, slay molay. Padahal kemarin dia baru aja ngeborong beberapa koleksi tas sama jam tangan brandedku yang aku buat tambahan modal buka usaha itu sama sebagiannya aku tabung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ji, Ro, Lu, Linu!
RomanceLelah dengan pekerjaannya sebagai budak korporasi di kota metropolitan membuat Hashi Mahika ngacir pulang ke kampung halaman dan menjalankan minimarket. Mengorbankan uang tabungan tak lupa tunjangan dari bapak ibu, maka jadilah. Tidak apalah penghas...