Part 25

30.5K 1.3K 63
                                    

"Sialan kalian! Mengapa istri saya dibiarkan pergi, tanpa sepengetahuan saya! Saya tidak mau tahu, jika terjadi apa-apa dengan istri saya. Kalian juga ikut saya habisi! Cari informasinya sekarang!!!" teriak Kawindra.

Lelaki itu terduduk di lantai, tenaganya habis karena mengumpat. Sedangkan Alan, hanya bisa jaga jarak dari Kawindra. Takut, jika Kawindra melampiaskan kemarahan padanya.

Kawindra menyugar rambutnya dengan kasar. "Sialan! Kalo pesawat sudah tidak layak pakai, jangan pakai dong! Nyawa taruhannya! Gak becus!"

Kecelakaan pesawat belum diketahui penyebabnya. Pesawat terjatuh pada pukul 10.00 wib. Sepuluh menit setelah mengudara, tiba-tiba pesawat hilang dari radar. Saat ini masih dalam evakuasi, posisi jatuhnya pesawat di laut menyebabkan evakuasi sedikit sulit. Namun, puing-puing pesawat serta beberapa barang korban telah ditemukan.

Alan menatap Kawindra dengan tatapan prihatin. Kancing baju bosnya tak beraturan, wajahnya kusut, entah karena menahan amarah atau lainnya. Petugas bandara, juga berhasil dimaki oleh lelaki itu. Padahal, penyebab kecelakaan pesawat belum ditemukan.

"Bos, mau nunggu di sini? Atau mau nyusulin langsung aja?" tanya Alan.

Kawindra terdiam, nafas lelaki itu masih tak beraturan. "Nanti, jika istri saya sampai sini. Saya tidak ada, bagaimana?" tanya lelaki itu lirih.

Seumur Alan kenal dengan bosnya, batu kali ini melihat Kawindra tak berdaya. Bahkan, Kawindra juga menangis. Apalagi, saat dikatakan jika kemungkinan kecil untuk para korban tetap selamat, karena pesawat meledak lebih dulu sebelum terjatuh ke laut.

Alan meringis, ia juga bingung bagaimana agar membesarkan hati Kawindra. Ingin memberi harapan bahwa istri bosnya selamat dari kecelakaan ini juga rasanya ia tak tega. Apalagi, saat nama Aleesha terpampang sebagai salah satu korban.

"Kabari sepupu atau Tante bos? Buat sekalian cari tahu? Mau saya kabari?" tanya Alan.

Kawindra hanya dapat mengangguk, lalu memberikan ponselnya. Rasanya ia ingin sekali membakar bandara ini, karena pihak bandara hanya mengatakan sabar saat ia protes. Sialan! Sabar bagaiamana? Jika istrinya saja belum jelas kabarnya, entah selamat atau tidak!

"Jika istri saya tidak selamat, saya harus bagaimana? Saya tidak punya siapa-siapa lagi, Lan. Ayah saya juga sedang kritis," ucap Kawindra putus asa.

"Bos, jangan seperti ini. Saya ke bagian informasi dulu, sepertinya sudah ada beberapa yang ditemukan. Pasti masih proses identifikasi juga," balas Alan.

Kawindra hanya diam, ingin marah pada siapa lagi? Orang rumahnya? Sudah ia pastikan, jika istrinya dinyatakan tak selamat, satu persatu dari mereka yang mengetahui keberangkatan sang istri akan ia bunuh lebih dulu.

Tak peduli, siapapun itu. Persetan dengan penjara! Kawindra tak peduli lagi, sebelum ia di penjara, mungkin lelaki itu juga akan menghabisi hidupnya lebih dulu.

Alan kemudian kembali, membawa botol air mineral dan menyerahkan pada Kawindra. "Minum dulu, bos. Sudah ditemukan sepuluh orang, masih proses identifikasi. Apapun yang terjadi nanti sama Bu bos, saya harap bos bisa lapang dada. Meski saya juga berharap jika Bu bos mengalami ketinggalan pesawat atau hal lainnya. Saya berharap jika Bu bos bukan salah satu korban," jelas Alan.

Mendengar penuturan Alan, lelaki itu mendelik. "Awas kamu berani-beraninya mendo'akan istri saya sebagai korban!"

Salah lagi! Rupanya, Kawindra memang tak bisa diberi pengertian. Alan lebih baik memilih diam, karena takut jika Kawindra tak menangkap maksud dari perkataannya.

Namun, ponsel Kawindra yang berada di tangan Alam berdering.

"Tante Raya? Bos mau bicara atau saya saja?" tanya Alan.

Dengan seluruh sisa-sisa tenaganya, Kawindra mengulurkan tangan. Lalu, Alan menyerahkan ponsel lelaki itu.

"Tante cari tahu dulu infonya, ini lagi mau nyusuli ke bandara. Kamu tenang dulu, semoga ada harapan. Lagipula, kamu kenapa bisa tidak tahu kalo istri kamu itu nyusul?" ucap Raya di seberang telepon.

Kawindra mengha nafas kasar, jika ia tahu pasti tak akan mengizinkan sang istri. Atau setidaknya, ia akan meminta sang istri diantar oleh orang suruhannya.

Sial! Jika mengingat rasanya sangat geram! Entah pada siapa ia ingin marah, sifat keras kepala sang istri yang melekat, membuat Kawindra kewalahan.

"Saya juga tidak tahu," jawab Kawindra.

Lelaki itu duduk di lantai dan menyandarkan tubuhnya di tembok. Tak peduli, jika ia biasanya akan sangat jijik pada lantai yang kerap kali diinjak-injak oleh orang. Apalagi, kemeja putihnya sekarang yang juga kotor. Jika biasanya ia akan memperhatikan penampilan nomor satu, tapi kali ini ia tak lagi peduli.

"Ya sudah, Tante cari tahu dulu. Jangan kemana-mana kamu! Nanti Tante akan kabari jika ada informasi lebih."

Layar ponselnya telah mati, Kawindra meletakkan ponselnya di lantai dengan sembarangan. Nafasnya masih memburu, tatapan matanya kosong, wajahnya juga memucat hingga mengundang perhatian Alan.

"Mau istirahat dulu, bos?" tawar Alan.

Bukannya tersanjung oleh ucapan Alan, Kawindra malah merasa tersinggung. Bagaimana ia bisa istirahat, bahkan setelah ia mengetahui keadaan istrinya sangat mengkhawatirkan?

"Daripada kamu berisik, lebih baik tetap  pantau berita penyiaran langsung identitas korban. Jika ada sesuatu kabari saya," ujar Kawindra.

Alan hanya mengangguk, padahal arah mereka duduk saat ini juga tepat di depan TV yang sedang menayangkan berita proses identifikasi. Layar TV menampilkan barang-barang korban kecelakaan.

Kawindra terpaku, ada jaket sang istri yang jelas ia tahu bahwa jaket itu khusus ia berikan langsung. Saat itu Kawindra meminta tolong pada salah satu temannya yang berprofesi sebagai desainer untuk merancang jaket sang istri. Namun, saat itu ketahuan oleh Aleesha. Sehingga wanita itu juga mengusulkan bahwa membuat jaket couple.

"Sialan! Kamu meninggalkan saya lebih dulu Zura! Ini tidak adil!" maki Kawindra.

Alan menatap perihatin, ia juga bingung ingin membantu apa? Sekarang Kawindra beranjak, melangkah dan diikuti owlh Alan.

"Mau kemana, bos?"

Kawindra tak menjawab, air mata lelaki itu bercucuran. Persetan dengan kata-kata lelaki harus kuat dan tak boleh menangis! Sekarang hatinya hancur lebur, tak bersisa. Haruskah ini akhir dari cerita hidupnya dan Aleesha?

Sebelum ia mengatakan perpisahan lebih dulu? Sebelum ia membalaskan dendam untuk ayah kandung Aleesha? Sialan! Lagi-lagi ia ditinggalkan lebih dulu, setelah ibunya? Aleesha juga pergi meninggalkannya! Lalu, siapa lagi yang akan pergi?

Mengapa orang-orang suka sekali meninggalkan dirinya? Apa ia tak sepantas itu untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang? Apa ini hukuman, dari niat jahatnya pada sang istri?

"Bos!" Awas kendaraan!" ucap Alan.

Syukur, Alan dengan sigap menangkap tubuh Kawindra. Hingga lelaki itu terhindar dari kendaraan yang sedang melaju.

"Harusnya kamu biarkan saja saya ikut mati, LAN! Mengapa harus menolong saya juga!"

Alan terdiam, lalu ia menatap mata Kawindra yang memerah. Alan memegang kedua bahu Kawindra dengan keras, lebih tepatnya Alan mencengkram agar Kawindra kembali dari kewarasannya.

"Ini tidak akan menyelesaikan masalah bos! Mayat Bu bos juga belum ditemukan, artinya kita masih ada harapan. Semoga Tuhan memberikan kesempatan," ujar Alan.

Lalu, ia mendengkus. "Maka dari itu, sabar dulu. Jangan mendahului takdir, kita masih punya harapan," kata Alan lagi.

Meski kemungkinan selamat akan sangat kecil, ucap Alan dalam hati. Tapi, apa salahnya berharap?

Tadi malam pengen bikin part ini, tapi tiba-tiba dikabarin ponakan pertamaku lahir. Dan aku gak jadi bikin deh, karena terlalu excited haha.. pertama jadi aunty

Bagaimana bab ini?

Maaf lahir batin ya, jangan lupa klik ⭐. Sehat selalu juga..

Maaf banyak typo dan lainnya, dan maaf jika cerita ini tidak sesuai dengan ekspektasi pembaca.


GAIRAH SUAMI POSESIF ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang