Bab 42

31.4K 739 21
                                    

"Si anjir! Baru nongol Lo setelah sekian lama gue cari. Seenak itu punya suami sultan?"

Aleesha tergelak, ia mengendikkan bahunya. Kalau dibilang enak memang pasti, tapi terkadang ada di mana dirinya merasa sedikit tertekan. Apalagi dengan para pengawal yang selalu mengikutinya.

"Mau tau rasanya? Coba cari juga," balasnya.

Plak!

Dua pengawal yang melihat saat Zalina menepuk punggung Aleesha langsung mendekat. Menatap tajam gadis itu dan memastikan keadaan Aleesha baik-baik saja dan tak berpengaruh apapun.

"Sialan! Baru nepuk dikit doang gue udah merasa seperti bunuh Lo aja. Segitunya si Kawindra cinta mati sama lo, gue malah mikirnya kalau dia terobsesi."

Pria yang cukup tua mengejar-ngejar temannya, lalu menjadikan Alessha sebagai istri. Kalau dipikir-pikir hidup temannya itu bagai Cinderella, bisa mendapatkan pangeran tiba-tiba.

Ia jadi ragu kalau ada maksud lain, tapi sampai saat ini bahkan belum juga diketahui maksud Kawindra. Apa memang mungkin pria itu serius pada Aleesha dan mencintainya dengan sungguh?

"Lo gak usah negatif gitu pikirannya, soalnya suami gue kelihatannya juga udah membaik. Sikapnya makin buat gue merasa paling beruntung," bisik Aleesha.

Ia jadi tak menyesali pernikahan dadakan ini, tak ada salahnya menerima ajakan nikah dari Kawindra. Laki-laki itu membuat dirinya bisa bertemu dengan ayah biologis.

Kawindra juga menerimanya dengan apa adanya, tanpa memandang ia lahir dari keluarga mana dan tamatan apa. Tak seperti banyak laki-laki yang mendekati dirinya sebelumnya.

"Bagus deh kalau Lo merasa bahagia sama dia, gue cuma khawatir aja kalau Lo malah merasa gak nyaman hidup sama dia."

"Terus kerjaan Lo gimana?"

"Lumayan bikin stress, tapi lebih stress kalau gue gak punya kerjaan. Setidaknya ada bayaran tiap bulan yang gue terima, bisa lepas stress walau sebentar. Soalnya saldo cepat banget kosongnya."

Aleesha tergelak, ia juga merasakan hal yang sama saat menjadi karyawan. Tapi setelah menikah, ia tak pernah kekurangan apapun dari sang suami. Kebutuhannya tercukupi dengan baik, pria itu benar-benar menepati janjinya.

"Biar saldo Lo nambah, punya suami sana. Syukur kalau dapat yang kayak gue, asal jangan yang numpang hidup aja."

"Eh, teman suami Lo yang duda itu boleh juga. Gue bisa kok buat jagain tu bocah satu, soalnya gue juga suka sama bocah."

Ia jadi terjatuh mengenai teman Kawindra, memang tak pernah bertemu secara langsung. Hanya mengetahui dari Aleesha, cukup bisa dijadikan patokan sebagai kriteria suaminya di masa depan. Ia tak memiliki banyak keinginan, kaya dan bisa mencintainya sudah cukup.

"Mau? Dia belum bisa move on dari mantan istrinya. Nanti Lo dekatin dulu anaknya, kalau Mas boleh ajak anaknya ke sini Lo ke sini juga. Kenalan dulu, mana tau nanti bapaknya bisa kepincut."

"Boleh juga. Kalau bisa tiap hari, supaya gue dapat makan gratis dari rumah Lo. Lumayan buat pengiritan pengeluaran gue, soalnya kemarin crypto anjlok. Rugi bandar gue."

Aleesha berdecak, masih saja menggantungkan kehidupan pada hal itu. Padahal lebih baik kalau udang yang didapat saat ini ditabung lebih dulu. Tapi memang terserah pada Zalina karena ia tak ingin ikut campur.

"Gak ada buat makan?"

"Masih ada sedikit, lumayan bisa buat beli telor sama ongkos kerja. Melarat banget hidup gue, kita beda level sekarang."

"Gak ada level-level, dulu kita sama. Gue juga pensah dalam posisi yang sama, Lo dulu sering bantu gue. Jangan khawatir soal makan, tapi kalau gajian sekali lagi Lo manfaatin yang bagus!"

Zaki tersenyum senang mendengar penuturan dari sahabatnya. Lalu ia melirik perut Aleesha yang makin membuncit. "Kapan tuh, lahirannya? Perasaan perut Lo makin gede, gue bahkan lupa berapa usia kandungannya."

"Gak lama lagi. Siapin kado aja buat menyambut kelahiran anak gue nanti. Dia gak minta muluk-muluk, dapat sepatu dari Lo aja udah senang."

______

Usai rapat, Kawindra langsung kembali ke ruangannya. Ia mengambil ponselnya yang tadi sempat tertinggi di ruang kerja, mencoba menghubungi sang istri.

Tapi panggilan itu tak kunjung diangkat, ia menyerah dan membiarkannya. Lalu mengambil barang-barang yang dirasa perlu dan melesat pergi.

"Saya sudah bilang cari istri."

Narenda bangkit dari tidurnya, laki-laki itu mengibaskan tangan. "Kalau cuma buat ceramah mending pulang aja. Lo sama sekali gak membantu gue, Ndra."

"Saya sudah mengirim dokter ke sini. Lalu apa lagi yang kamu inginkan? Apa saya perlu memanggil wanita penghibur untuk menemani kamu juga?"

Plak!

"Mulut Lo kalau ngomong suka gak benar. Kedengaran sama anak gue, awas Lo! Kepala gue pusing banget udah dari kemarin masih aja begitu hasilnya. Obat itu sama sekali gak membantu, nambah pusing."

Narendra bergeser, lalu bersandar pada ranjangnya. Memijit pelipisnya dengan pelan, lalu ia mengambil minum untuk menelan obatnya.

"Saya bantu apa lagi?"

Tentu saka Kawindra dibuat bingung oleh temannya, ia sudah menawarkan rawat inap dan ditolak mentah-mentah oleh Narendra. Ia tak punya banyak opsi dan hanya bisa mamangiokan dokter, lalu memeriksa keadaan temannya itu.

"Anak gue udah ada yang bantu jaga emang. Tapi gue kasihan, Lo bisa tolong bawa anak gue buat ke rumah Lo dulu? Setidaknya sampai kepala gue mendingan."

Ah, hal yang dibenci oleh Kawindra. Nanti anak Narendra pasti akan memonopoli istrinya terus. Waktu berduaan dengan sang istri juga berkurang, ia tak mau.

"Tidak."

"Lo gak mau bantu? Gue kasihan sama Sean, dia butuh teman."

"Kirim ke panti."

"Parah, benar doang. Kalau gak mau bantu ya udah gak masalah. Lo ternyata perhitungan kalau jadi kawan, gue bakal ingat ini."

Lalu Narendra beranjak dari duduknya, mencari sang anak yang bermain dengan pengasuhnya. Tapi yang didapatnya Sean yang sedang berbaring di lantai sembari memeluk bantal. Jangan lupa dengan botol susu yang masih lengket di mulutnya.

"Mbak, tadi dia udah makan siang?"

"Udah, Pak. Banyak makannya sampai nambah. Kayaknya dia suka lauknya."

Pandangan Narendra beralih pada temannya yang mengikuti dari belakang. Ia membuat wajahnya memelas agar Kawindra mau membantunya saat ini.

"Lo gak kasihan sama anak gue?"

"Makannya banyak."

"Astaga! Anak gue gak bakalan ngabisin nasi rumah Lo atau stok belanja bulanan Li dalam sehari."

Hanya alasan untuk menolak, tapi Kawindra akhirnya mengangguk setuju karena wajah mengesalkan sang teman. Bukan karena kasihan, ia berdecak saat Narendra tersenyum lebar.

Laki-laki itu jadi curiga kalau ini hanya akting belaka, Narendra sengaja untuk mengerjainya kali ini. Kalau memang hal ini terjadi, ia tak akan memaafkan Narendra.

"Cepat, saya mau pulang sekarang dan tidak bisa menunggu lagi."

"Bangsat Lo, Ndra! Gak bisa nunggu anak gue bangun benar aja? Lagian istri Lo juga lagi santai di rumah, lo bisa santai dikit  gak?"

Kawindra menggeleng. "Sekarang, atau tidak sama sekali?"

"Si anjir gak punya perasaan ni orang!"

"Pa-pa suaranya bisik!"


Setelah sekian lama kemalasanku akhirnya... Cerita ini mau genap 1 tahun belum kelar juga 🥲

GAIRAH SUAMI POSESIF ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang