Part 32

26.4K 1.2K 113
                                    

"Syukurlah. Cucu Papa masih bisa diselamatkan, keadaan kamu juga sudah stabil. Ingat pesan dokter! Ku butuh nutrisi, makanya jangan malas untuk makan. Jangan banyak pikiran juga," kata Prasojo.

Aleesha yang baru sadar 20 menit yang lalu hanya bisa terdiam, ia enggan menoleh pada Prasojo. Malas sekali rasanya, ia amat tak suka saat Prasojo menjelekkan Kawindra di depannya.

Seolah-olah Prasojo memang sengaja menanamkan kebencian pada dirinya. Padahal, meski bagaimana pun Prasojo mengatakan kejelasan Kawindra. Itu tak akan merubah pandangan Aleesha.

Tangan Prasojo mengelus pelan puncak kepala sang putri. "Ingat pesan dokter. Kalo belum mau ingat nasihat Papa tidak apa-apa," katanya.

Dengan pelan, Aleesha menepis tangan Prasojo. "Kembalikan aku sama suamiku," balasnya.

Prasojo terdiam. Ia akan mengabulkan permintaan anaknya, tapi tidak dengan yang ini. Mengembalikan Aleesha pada Kawindra? Itu tak akan ia lakukan, sebab ia meyakini bahwa Kawindra menikahi anaknya hanya untuk membalaskan dendam.

"Papa akan kabulkan. Tapi, jangan minta hal itu. Bagaimana jika kita tinggal di luar negri saja? Swiss atau lainnya? Pemandangannya bagus. Pasti bagus juga untuk tumbuh kembang cucu Papa nanti," usul Prasojo.

Aleesha berbalik. Ia menatap Prasojo dengan tatapan sinis. "Bisa tidak, hilangkan rencana gila itu dalam pikiran anda! Ah, padahal saya baru saja mengalami musibah. Tapi, anda sudah ngomong hal melantur seperti itu."

Mendengar penuturan anaknya, membuat Prasojo membungkam. Ia tak jadi membalas ucapan Aleesha, ada benarnya. Anaknya saja baru mengalami musibah. Tapi, ia sudah merencanakan hal yang tidak-tidak. Meskipun, ini juga untuk kebaikan sang anak.

Dengan berat hati, Prasojo akhirnya meninggalkan ruangan itu. Tinggallah Aleesha sendiri, ia sedang meringkuk di balik selimut.

"Kamu kenapa gak pernah nyari aku, Mas? Apa aku memang gak sepenting itu untuk kamu?" gumamnya.

Air matanya luruh begitu saja, saat kembali mengingat momen tentang dirinya dengan Kawindra semasa mereka menikah. Meski terkadang sikap Kawindra amat menyebalkan, tapi Aleesha tak pernah merasa jengkel.

Ia mengelus perutnya yang kian membuncit. "Kamu gak peduli sama aku? Bahkan sama anak kita, darah daging kamu sendiri. Dia kangen sama kamu, tiap malam rewel terus," kata Aleesh.

Lalu, ia menjeda ucapannya setelah mengusap kasar air mata yang menggenang di sudut matanya. "Aku kadang sulit tidur karena tendangannya kuat banget. Apa lagi, waktu aku ceritain usilnya kamu. Dia kayaknya suka banget sama Papanya," lanjutnya.

Aleesha kembali meringis, saat sang anak menendang dengan keras. Saat-saat seperti ini, ia memerlukan sang suami untuk berada di sisinya. Kerinduannya pada Kawindra kian membuncah, rasa ingin berjumpa semakin kuat.

"Oh, yang kamu hubungi saat itu suami kamu, ya?" tanya Brata tiba-tiba.

Pria itu muncul dari balik pintu, sejak tadi ia memerhatikan interaksi antara Prasojo dengan Aleesha.

Langkahnya semakin mendekat, lalu Brata menarik kursi di samping ranjang Aleesha dan mendudukinya. "Kamu tahu tidak? Kemarin dia sempat menghubungi saya lagi. Tapi, saat itu tiba-tiba panggilan mati secara sepihak. Akhirnya saya tak pernah lagi mengusik nomor itu," jelas Brata.

Aleesha langsung menoleh. "Benarkah? Lalu, bagaimana? Dia tidak ada lagi menghubungi kamu? Atau, saya boleh pinjam lagi. Saya mau memberi kabar, agar saya dijemput. Saya tidak ingin berada di sini," katanya.

Brata menggeleng. "Saya tidak enak mencampuri urusan kamu dengan ayah kamu. Tapi, tenang. Sepertinya dia sudah bergerak lebih cepat. Saat ini dia sedang berada di bandara, mungkin dalam waktu setengah jam. Kalian bisa bertemu."

Bola mata Aleesha langsung membulat. Rasa senang dan bahagia campur aduk. Rasanya ia begitu tak sabar ingin bertemu dengan sang suami. Akhirnya, Kawindra terbukti sedang mencari keberadaannya. Aleesha yakin itu, tapi mengapa selama ini?

"Bagaimana bisa?" tanya Aleesha.

Lalu, mengalir lah cerita. Saat Brata menunggu Aleesha sadar, Kawindra kembali menghubunginya. Lalu mendesak Brata untuk menjawab pertanyaan Kawindra, setelah Kawindra merasa yakin. Akhirnya, Kawindra kembali memaksa agar diberi alamat pasti di mana sang istri berada.

Brata tersenyum geli saat kembali mengingat Kawindra mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. "Dia kelihatan panik, kayak orang ngos-ngosan gitu. Tau deh, anehnya. Mengapa kalian bisa terpisah? Lalu, ponsel kamu kemana? Pak Prasojo itu benar ayah kamu?" cecarnya.

Aleesha menghela nafas panjang, wanita itu memperbaiki posisi duduknya yang dibantu langsung oleh Brata.

"Salah saya. Saat itu tak mengindahkan ucapan suami. Saya pergi tanpa sepengetahuan darinya, untuk menyusulnya bekerja. Tapi, saat telah sampai di pintu pesawat. Tiba-tiba kepala saya sakit, tapi saya tetap paksakan untuk duduk. Dan entah bagaimana setelah itu kesadaran saya menghilang. Saat saya bangun, saya sudah berada di rumah sakit dengan pria tua itu," jelas Aleesha.

Brata mengangguk, tapi dia kemudian diam sesaat. Lalu, menjentikkan jarinya. Seolah-olah ia baru mendapatkan sesuatu ide yang brilian. "Penerbangan dari Jakarta? Kamu naik pesawat apa? Air lumpur?" tanyanya beruntun.

Dengan gerakan lambat. Aleesha mengangguk, ia masih mengingat pesawat yang ditumpanginya saat itu. Padahal, ada banyak barang berharga yang ia bawa. Entah bagaimana caranya, Prasojo menghilangkan barang-barangnya.

Nafas Brata terdengar melambat. "Pesawat itu jatuh. Kamu tidak tahu beritanya? Ah, mungkin saja saat kamu pingsan. Lalu, dibawa oleh bapak itu. Apa dia menculik kamu? Tapi, kamu harus bersyukur. Tak ada yang selamat dari kecelakaan pesawat itu," kata Brata.

Aleesha membelalak, bagaimana Prasojo menyembunyikan hal ini darinya? Pantas saja, ia tak diperbolehlan menonton televisi. Mungkin takut jika ia tahu hal ini, tapi ia cukup bersyukur karena Tuhan masih melindunginya.

"Bisa jadi. Kamu tidak perlu tahu dia siapa, lalu suami saya dalam perjalanan ke sini?" tanya Aleesha memastika.

Tak sabar rasanya bertemu dengan sang suami, ia begitu rindu. Jika mereka bertemu nanti, Aleesha ingin memeluk Kawindra sepuasnya. Memandang wajahnya, ah rasanya Aleesha tak sabar.

Brata mengangguk. "Mungkin sebentar lagi. Saya kira, awalnya kamu masih belum menikah. Ternyata sedang hamil," sesalnya.

Aleesha terkekeh, kadang jika ia menggunakan baju yang agak kebesaran. Memang kehamilannya tak tampak, apa lagi saat ia sedang berdiri.

"Hm. Memangnya kenapa?" tanya Aleesha.

Brata mengendikkan bahunya. "Tadinya, saya mau angkat kamu jadi bos."

"Maksudnya?"

"Ya, bos. Maksudnya, Bu bos. Tapi, tidak usah dipikirkan."

Aleesha mengerenyit, tak mengerti. "Aneh sekali. Saya seumur-umur kerja di kantor cuma bagian marketing aja. Selebihnya kerja jadi SPG pernah, terus jadi pelayan di cafe juga pernah. Hm, apa lagi ya? Oh, saya juga pernah jadi buruh cuci," jelasnya.

Kini, giliran Brata yang bingung. Mereka sebenarnya sedang membicarakan apa? Maksud Brata bukan itu, tapi jika Aleesha pernah melakukan itu semua. Lantas, bagaimana bisa? Prasojo kelihatannya bukan orang sembarangan.

"Maksud saya tuh, jadi is-"

"Sayang!"

Aleesha langsung menoleh, binar wajahnya amat bahagia saat melihat sosok lelaki yang kini makin mendekat ke arahnya. Jantungnya berdebar, seolah ini kali pertama mereka bertemu. Bahkan, Aleesha meneteskan air matanya.

Maap laaaamaaaa....

Selamat membaca, bahagia dan sehat selalu.

Jangan lupa tekan ⭐, Makasih ya 💞

Oh iya, mari kita panjatkan do'a sejenak untuk Ananda Emeril Khan Mumtaz 😥

GAIRAH SUAMI POSESIF ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang