Asap mengepul di hadapan Dennis, kepalanya sontak menoleh ke arah berlawanan. Pria berpakaian santai itu, terlihat menawan dengan garis rahang yang tegas ditambah raut wajah dinginnya.
"Ram, udah berapa batang rokok lo. Matiin coba, Dennis udah kelihatan nggak nyaman," tegur Sekan, pria dengan pakaian paling rapi.
"Lo keganggu, Den?" tanya Rama, pria rambut gondrong yang tengah memegang puntung rokok di tangan kanannya.
"Iya, bikin gue pusing sama asap rokok murah lo."
"Sialan lo, Den!"
Rama menatap pada tiga sahabatnya yang tengah menertawakan dirinya. Dengan cepat, ia melemparkan sisa puntung rokok tersebut ke dalam asbak yang terletak di atas meja.
"Udah lama banget kita semua nggak kumpul kayak gini," ujar Nico, pria yang sejak tadi diam akhirnya ambil bagian.
"Gimana mau kumpul? Kalau Pak CEO sibuk banget," kata Sekan seraya menepuk pundak Dennis.
"Gue selalu waktu asal lo kabarin jauh-jauh hari," sahut Dennis tidak terima. Padahal, meskipun bisa dikatakan ia pria sukses yang pastinya akan sibuk. Tapi, bagi Dennis tidak masalah melungkan waktu beberapa jam untuk para sahabat yang sudah lama tidak ia temui.
"Bukannya Sekan yang lebih sibuk, karena harus ngurus pasien-pasiennya. Gue aja udah berapa kali ngehubungin dia dan dibalas besok atau lusa, sesibuk itu emang, nih anak!" timpal pria bertubuh berisi bernama Nico. Ia meraih gelas lalu meminum isinya sedikit demi sedikit.
"Kerjaan gue mengatasnamakan keselamatan orang banyak, nggak ada pengecualian. Ini juga ... gue nggak bisa minum, takutnya mabuk dan ada panggilan mendadak di UGD."
Dennis mengambil gelasnya, meneguk minuman mahal berwarna merah itu dengan nikmat. "Udah gue saranin, buat ambil jurusan bisnis aja. Lo sih ngeyel," cerca Dennis.
"Si Dennis tanpa kuliah bisnis pun, bakal tetap kaya tujuh turunan," imbuh Nico.
"Privilege nih orang, emang nggak main-main." Sekan setuju dengan Nico.
"Sayangnya dengan privilege lo yang kayak gitu, lo masih kalah cepat sama si Jefri, whahaha!" Rama menutup mulutnya saat sadar akan ucapannya, ia menatap sekitar. Atmosfer terasa berbeda. "Sorry, gue nggak ber-mak-sud ---"
"Santai aja," kata Dennis cepat. Tidak ingin membuat teman-temannya menjadi canggung satu sama lain.
"Tapi, lo masih sama dia, Den?" tanya Sekan ingin tahu, sudah lama ia tidak mendengar Dennis berbagi cerita pada mereka.
"Masih," akui Dennis.
"Sama siapa? Tunangan lo atau Bella?" tanya Nico kurang peka.
"Dua-duanya," jawab Dennis.
"Emang enak sih kalau berirstri dua," canda Rama yang langsung mendapat jitakan dari Sekan.
"Jangan ngadi-ngadi lo!" kesal Sekan.
"Tapi, kalau dipikir-pikir tunangan lo lumayan juga, sih. Tapi, jelas lah nggak se-hot dan se-perfect Bella." Nico mengutarakan pendapatnya. Sejak jaman kuliah dulu, hubungan antara Dennis dan Bella bisa dikatakan terkenal. Mereka dua orang yang produktif dengan nilai dan aspirasi yang bukan main. Dan, mereka berdua jatuh cinta.
"Gue juga mikirnya begitu, tunangan Dennis tuh kek orang baik banget, mukanya kalem banget, terus kelihatan kek lemah lembut gitu," akui Sekan, ia sudah beberapa kali bertemu dengan Alona---tunangan Dennis di acara sang sahabat.
"Gue pikir dulu juga gitu. Tapi, semakin ke sini, dia tuh ngeselin parah."
"Kalian bertiga lanjutin dulu deh, gue mau ke toilet, terus ke bawah bentar buat nyari cewek," pamit Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Alona (SUDAH TERBIT)
Romance[Juara 3 dalam writing marathon challenge with Cakra Media Publisher] *** Alona diibaratkan sebagai ratu es di sekolah, ia punya segudang prestasi, populer serta wajah yang cantik. Dengan keunggulannya itu, banyak yang menyukai dan cemburu pada Alon...