Awas typo bertebaran.
.
.Kepala Alona menoleh ke kanan, menatap sebentar pada Mario yang terlihat fokus menyetir.
"Terima kasih buat hari ini, Yo."
Setelah menghabiskan waktu berjam-jam bersama, kini mereka dalam perjalanan pulang menuju kediaman Alona.
Mario tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun. "Never mind," sahutnya.
Kali ini mobil Dennis memasuki gerbang depan area perumahan yang ditempati Alona sekeluarga.
Alona melepas seat belt, mobil Mario berhenti tepat di depan gerbang rumah. Alona turun dari dalam mobil.
"Kalau gitu, gue pamit, Al. Have a good night," kata Mario ramah.
"Good night juga, dan hati-hati, ya."
Alona masih berdiri di tempatnya, menatap bagian belakang mobil Mario yang perlahan menjauh.
"Dia siapa?"
Alona tersentak kaget, suara itu terdengar akrab di telinganya. Tubuh Alona berputar ke arah si seseorang yang baru saja memanggilnya.
"Kamu ngagetin, aja!" ujar Alona dengan suara agak tinggi. Matanya menyipit ke arah Dennis curiga, kemudian bertanya, "kamu kok, ada di sini?"
"Akan aku jawab, setelah kamu jawab pertanyaan aku lebih dulu." Dennis melipat tangan di dada, sambil bersandar pada pagar beton di belakangnya.
"Dia teman," jawab Alona singkat. Ia berjalan masuk ke dalam rumah.
"Cuman teman?" tanya Dennis lagi.
Alona yang terlihat kelelahan, terlihat malas meladeni Dennis. Belum lagi, Dennis yang entah karena apa malah mengekorinya dengan setia.
"Kamu ngapain di sini?"
"Emangnya, aku nggak boleh ke rumah kamu?"
"Nggak!" Alona tiba di teras depan, ia meraih gagang dan membuka pintu.
Kedatangan Alona setelah keluar selama beberapa jam membuat Rahma nampak cemas. Bundanya itu langsung menghampiri Alona saat mengetahui Alona telah kembali.
"Kamu dari mana aja?"
"Dari Mall, nonton terus makan."
"Oh gitu, Dennis dari tadi sore udah ada di sini," kata Rahma memberitahu.
Jujur, Alona tidak peduli sedikit pun. Kepala Alona menoleh ke arah Dennis yang terlihat setia berdiri di sampingnya.
"Aku mau bicara sama kamu," ujar Dennis.
Tanpa perlu mendengar jawaban Alona, pria berpakaian rapi itu meraih pergelangan tangan sang tunangan, lalu menariknya pergi ke halaman depan untuk bicara. Hanya mereka berdua.
"Jadi, apa?" tanya Alona terdengar sinis. Ia menepis pelan tangan Dennis.
"Aku mau minta maaf soal kemarin," jawab Dennis mengakui perbuatannya.
"Soal apa?"
"Soal aku nampar kamu ---"
"Nggak usah dibahas lagi," potong Alona cepat.
"Aku benar-benar minta maaf."
"Apa harusnya gue tampar balik aja biar kita impas?" tanya Alona dalam hati, namun ia menepis pikiran gila itu. Ia harus mempertahakan image polosnya, sebagai seorang protagonis di dalam Novel.
Tidak ada percakapan apapun setelahnya, membuat suasana di antara mereka berdua menjadi canggung.
"Kamu nggak, balik?" Senyum di bibir Alona terbit dengan tipis. Pertanyaan itu adalah pengusiran secara halus yang ia tujukan pada Dennis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Alona (SUDAH TERBIT)
Romance[Juara 3 dalam writing marathon challenge with Cakra Media Publisher] *** Alona diibaratkan sebagai ratu es di sekolah, ia punya segudang prestasi, populer serta wajah yang cantik. Dengan keunggulannya itu, banyak yang menyukai dan cemburu pada Alon...