PROLOG

19 7 4
                                    

ㅤㅤㅤㅤ

SEMUA bemula ketika suara pekikan membangunkannya. Anak perempuan berusia delapan tahun itu menahan nafas ketika suara jeritan lainnya menyusul, bersamaan dengan suara kayu-kayu patah dan dentuman keras. Dengan perlahan ia bangkit dari ranjang, kemudian berdiri di atasnya untuk melihat keluar jendela. Suasana desa masih gelap dan hening, kecuali beberapa detik berikutnya terdengar suara jeritan lainnya dan sesuatu yang robek.

Salah seorang warga tampak berlari keluar dari rumahnya, tetapi sesuatu yang hitam menangkap kakinya dan menyeretnya masuk kembali—disusul dengan suara jeritan penuh kengerian dan suara robekan lagi. Lalu, suara dentuman lainnya yang seperti barang yang berat terjatuh ke lantai. Lidah-lidah api hitam keluar dari rumah tempat warga yang barusan diseret, membuat Gracle langsung merunduk dan duduk di atas ranjangnya lagi, bersembunyi tepat di bawah jendela kamarnya.

Apa yang baru saja ia lihat?

Suasana masih hening, kecuali sesekali terdengar bunyi derak kayu patah atau kaca pecah. Gracle mengatur nafasnya perlahan sembari berusaha berpikir dengan jernih. Ada yang janggal, apakah monster dari Myth tiba-tiba menyerang desa? Selama ratusan tahun mereka tinggal di dekat Myth, belum pernah ada kejadian seperti itu. Apa yang tinggal di dalam Myth tidak akan mengusik desanya, selama mereka tidak diusik.

"Ibu..." gumamnya setelah beberapa saat. Orang tuanya, ia harus mencari orang tuanya. Ia harus mengabari mereka bahwa kerusuhan mungkin sudah mencapai tempat mereka, dan mereka harus mengungsi sesegera mungkin.

Ia baru saja akan turun dari ranjang ketika sebuah gumpalan kabut hitam muncul tepat di hadapannya. Lidah-lidah api hitam yang tak beraturan berkobar pelan di sekujur tepi sosok gumpalan hitam itu, sementara dua sinar merah yang besar dan bulat di bagian atas menatapnya lekat-lekat. Gracle menelan ludah, nafasnya melambat saat melihat apa yang ada di hadapannya. Ia bahkan tidak lagi gemetar, ia membeku. Tidak peduli sekuat apapun ia menyuruh tubuhnya untuk bergerak dan lari, tubuhnya tetap terpaku ­­di tempat.

"Ifóchtir." Terdengar suara yang berat dan serak dari gumpalan hitam itu. "Echtraeia."

"Ibu—" isak Gracle, berharap seseorang datang untuk menyelamatkannya. "Ayah, Grey, tol—"

"Echtraeia." Suara itu mengulang dengan keras dengan kesan yang kasar, terdengar seperti bergaung dan bergema layaknya di dalam goa.

Jeritan lainnya dari luar menyadarkan Gracle dari rasa takut yang menguncinya. Berteriak sekuat mungkin, gadis kecil itu menutup mata dan nekat untuk turun dari ranjang walau itu berarti mendekati makhluk berkabut hitam itu. Selagi ia berlari, suara derak kayu patah dari luar kembali terdengar, pun dengan jeritan dan suara robekan. Gracle membuka matanya untuk membuka pintu kamar yang masih tertutup.

Makhluk itu bergerak perlahan, mengikuti di belakangnya. Gracle tidak menoleh ke belakang, ia langsung melesat ke kamar lainnya.

"Grey!" Ia berseru saat membuka pintu kamar, tapi tidak ada siapapun di dalam sana. Jendela kaca pecah, ranjangnya berantakan, dan ada bercak darah di ambang jendela dan sisa pecahan kaca.

"Ifóchtir." Suara yang berat dan aneh itu kembali mengudara.

Gracle tidak ada pilihan lain selain meninggalkan kamar saudara jauhnya itu, kali ini bergegas menuju kamar kedua orang tuanya. Ia membuka pintu kamar favoritnya itu dengan kasar, lalu berlari ke arah ranjang di tengah ruangan.

"Ibu, ayah, bangun! Ada monster yang menyerang desa—" kata-katanya terhenti begitu ia mengguncang tubuh sang Ibu yang sedang dalam posisi miring, merasakan ada yang janggal.

Ibunya masih terlelap dibalik selimut yang biasa ia kenakan, menutupi hingga ke dadanya. Gracle mendorong pelan tubuh ibunya, hingga sang ibu terbaring telentang di atas ranjang. Kedua manik merah gadis kecil itu menatap ngeri melihat sang ibu yang masih terpejam dengan damai, kedua pundak beristirahat di atas bantal sementara tubuhnya yang tertutup selimut masih dalam posisi miring.

Bulu kuduknya berdiri. Ia mundur perlahan, masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, hingga akhirnya ia menyibak selimut dengan kuat. Mulutnya ternganga melihat pemandangan di depannya, namun tak ada suara apapun yang keluar dari kerongkongannya. Air mata menggenang dengan cepat, mengaburkan pandangannya, seolah hendak membantunya untuk tidak melihat tubuh kedua orang tuanya yang terbelah dua di atas ranjang.

"Ifóchtir. Echtraeia." Sosok kabut hitam itu sudah berdiri di belakang Gracle secara tiba-tiba.

Gracle langsung menghindar, kemudian berlari sekuat tenaga keluar kamar menuju pintu keluar rumahnya. Keadaan di luar rumahnya sudah porak poranda. Rumah-rumah terbuka lebar pintunya, jendela-jendela pecah dan beberapa tubuh manusia tergeletak di tanah dengan berlumuran darah.

Meraih bandul kalungnya sambil tetap berlari, Gracle berusaha menguatkan dirinya sendiri untuk tetap bergerak mencari tempat yang aman. Desanya jelas tidaklah aman, dan jalan menuju kota harus melalui hutan lebat yang terkenal di seluruh penjuru Zard. Gadis kecil itu tak memiliki pilihan lain selain masuk ke dalam hutan di belakang desanya itu, yang selalu disebut dalam setiap cerita rakyat maupun cerita para orang tua kepada anak-anaknya—Myth, Hutan Gelap tempat para monster, iblis, dan semua hal jahat lainnya lahir.

GRACLE BLACKSMITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang