14%

557 140 9
                                    

"Kak Doyoung."

Jeongwoo menatap Doyoung yang baru saja keluar dari kamarnya dengan tatapan datar. Ya memang pemuda itu selalu seperti itu.

"Kak Doyoung," panggil Jeongwoo sekali lagi dan Doyoung tetap tidak menghiraukan. Antara pemuda itu dengar namun malas menanggapi atau benar-benar tidak dengar.

"Jeongwoo."

Jeongwoo menoleh ke arah Mashiho yang baru saja memanggilnya. "Lo tahu yang kemarin gue bilang kan?"

"Gak tuh."

"Oh iya, dan jujur aja kemarin—"

"Gue tahu kok."

"Bukan gue pembunuhnya, gue emang suruh Jaehyuk ke kamar Kak Yoshi tapi bukan gue. Lo bahkan ada sama-sama gue kan pas Jaehyuk dibunuh," kata Mashiho menjelaskan tanpa diminta. Jeongwoo tersenyum, merasa lucu. Aneh sekali Mashiho.

"Iya, tapi waktu itu lo ngehilang beberapa saat. Katanya ke toilet?" balas Jeongwoo lalu tersenyum puas saat melihat Mashiho tiba-tiba kaku.

"Ya udah gue pergi dulu deh." Jeongwoo menepuk bahu Mashiho beberapa kali sebelum akhirnya pergi. Mashiho sendiri menggeram, mengepalkan kedua tangannya sekuat tenaga.

"Lo memang berani ya, padahal udah gue peringatin loh."



























































































Doyoung malas menanggapi.

Itu faktanya.

Ia mendengar kok panggilan dari Jeongwoo. Tapi ia terlalu malas, pasti Jeongwoo ingin membicarakan tentang si pelaku. Dan Doyoung bosan.

"Gue yang ngelakuin."

Langkah Doyoung terhenti saat mendengar suara seseorang yang amat ia kenali. Pemuda itu bersembunyi di balik tembok, sepertinya ada yang baru saja membongkar identitasnya.

"Maaf, gue cuman.... benci."

"Lo gila?!"

"Maaf.."

"Gak, gue gak percaya. Apa alasan lo lakuin ini?"

"Karena gue benci, udah gue bilang kan?"

"Tap—"

"Stop, kayaknya ada yang nguping. Bentar gue cek."

Dan saat itu juga Doyoung mengumpat sekeras-kerasnya dan berlari.

Berlari karena takut ketahuan? Hal memalukan yang tidak pernah Doyoung lakukan sebelumnya.

Dan sekaranf ia harus melakukannya!






































































































Haruto tidak suka.

Ia benci saat seseorang mencoba untuk membantah ucapannya. Walaupun Yedam lebih tua, tapi tetap saja ia benci. Ia tak suka.

Haruto keluar dari rumah saat mengetahui pekerjaan Ayah dan Ibunya adalah pencuri dan penipu. Pantas saja Ayah dan Ibunya itu hanya memberi janji manis saja dan berakhir tidak pernah ditepati.

Haruto bukan psikopat. Yoshi salah.

Haruto hanya terobsesi untuk menakuti orang. Sewaktu SMA Haruto dirundung oleh teman-teman sekelasnya, entah karena apa. Mungkin iri, Haruto tidak bisa mengatakannya pada siapapun, orang tua mana perduli.

Haruto tahu walaupun ia memberitahukannya pada orang tuanya, orang tuanya itu hanya akan berjanji untuk memindahkan Haruto sekolah atau menegur para perundung tapi hanya itu saja, tidak akan pernah dilakukan.

Tapi pada suatu hari Haruto memberanikan diri untuk menggores lengan si perundung dengan cutter. Goresannya cukup dalam.

Di luar dugaan, mereka semua menjadi ketakutan dan menjuluki Haruto psikopat. Itu tidak masalah, asalkan mereka tidak merundung Haruto lagi. Title bagi Haruto tidak penting.

Haruto ditemukan oleh Seokjin dan dijanjikan diberi tempat nyaman dan kasih sayang. Tapi kembali lagi, itu hanya janji dan perkataan buaian. Haruto tidak pernah mendapat kenyamanan ataupun kasih sayang.

Haruto tidak bisa percaya janji seseorang lagi.

"Haruto, gila ya lo?! Ngapain lo?!"

Ah...

Haruto tersadar, tangan kirinya kemudian dengan buru-buru meletakkan cutter yang entah sejak kapan sudah ia gunakan untuk menggores tangan kanannya.

Darahnya cukup deras.

"Gue ambilin kain buat berhentiin pendarahan, bentar!"

Haruto menatap datar Yedam yang sedang keluar dari kamarnya dengan panik. Aneh, baru saja Haruto sebal dengan Yedam namun sekarang ia sudah dapat terharu.

Tuhkan, dibilang apa! Haruto ini bukan psikopat!

Yang dilakukannya pada Doyoung tempo hari itu, hanya untuk membuktikan bahwa Haruto tidak lemah.

"Haruto, ditekan."

Haruto menurut saja. Ia menekan lukanya dan memejamkan matanya lelah. Kalau sudah begini, lukanya akan terasa sakit.

"Elo ngapain?" tanya Yedam mengisi kesunyian.

"Gak sadar, inget hal buruk di hidup gue," balas Haruto santai.

"Hal buruk?"

"Gak usah alay lo, semua orang juga punya hal buruk dalam hidup," balas Haruto sinis. Untung Yedam sadar.

"Oh."

"Lo sendiri pasti punya kan?"

"Katanya semua orang pasti punya, ya gue juga punyalah!" Yedam gantian ngegas, balas dendam. Haruto meringis.

"Oh."

"Ah Oh Ah Oh aja lo."

"Cih."

"Ngapain lo tiba-tiba masuk kamar gue?" tanya Haruto. Yedam hanya menggeleng samar. "Cuman ngecek, trauma gue kalau ada yang mati lagi."

"Hidih, biasanya yang sok baik gini malah dalangnya nih," balas Haruto seenak jidat. Yedam rasanya pengen nempeleng kepala Haruto aja.

"Gak lah, gue juga yakin pelakunya... punya alasan tersendiri."

Haruto tertawa akan perkataan Yedam yang menurutnya lucu itu. "Memang dia pasti punya alasan, tapi gak ada yang bisa dibenerin dari alasannya itu."

"Iya, cuman—"

"Apa sih lo, jangan-jangan bener ini lo pelakunya!" tuding Haruto lagi. Yedam menepis tangan pemuda itu dari wajahnya, enak aja tangannya nuding-nuding Yedam.

"Lo kali pelakunya!"

"Idih, gak mungkin bocil kayak gue," sangkal Haruto tidak terima.

"Oh gak ada yang mushatil kali. Biasanya yang kelihatannya gak mungkin itu malah dalang sebenarnya!" kata Yedam lagi.

Heran, ini malah gelud lagi.

"Ah udahlah kalau lo emang tujuannya ke sini mau gelud mending keluar deh!" usir Haruto sebal.

"Oke gue keluar!"

Yedam yang merasa harga dirinya turun karena diusir pun pergi.

"Dasar manusia kadal."

"HARUTO GUE DENGER!"

"Ye oke."






Special | Treasure ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang