"LO BARU UMUR 16?!"
Jihoon memekik kaget saat Doyoung mengangguk malas dan memakan roti yang ia berikan itu dengan lahap. Jihoon meringis, astaga, sebenarnya wajah Doyoung ini cukup mahal loh.
Maksudnya, pemuda itu pasti akan populer di kalangan gadis jika tumbuh di lingkungan baik dan menjadi pemuda yang baik. Tapi nyatanya Doyoung justru kabur ke panti asuhan sampah ini.
"Kenapa lo kabur?" tanya Jihoon kemudian.
"Supaya bertahan hidup, dan supaya gue gak mati," jawab Doyoung mengendikan bahunya acuh. "Kalau gue gak kabur, bisa aja sekarang yang lo temuin itu mayat gue."
"Apa sesadis itu?" tanya Jihoon dengan ringisannya, Doyoung sendiri membicarakannya seolah-olah itu bukan apa-apa untuk mati.
"Kim Doyoung."
"Apa?"
"Gue Park Jihoon."
"Oh."
"Lo mau tahu gak kehidupan gue?" Jihoon beranjak naik ke kasur, ia menepuk kasur di sebelahnya beberapa kali, menyuruh Doyoung untuk duduk di sebelahnya.
Doyoung hanya menurut dengan mulut dan pipi yang belepotan coklat.
"Gue ke sini dari umur 9 tahun," cerita Jihoon mengawali. "Ayah sama Ibu gak pernah sayang sama gue."
"Kayaknya semua orang yang di sini gak disayang sama orang tuanya kan?" balas Doyoung dan Jihoon menggeleng. "Ada kok yang disayang, namanya Kak Hyunsuk. Dia disayang banget, sebentar lagi dia bakalan dapat ijin kuliah kalau Bu Jennifer baik hati. Tapi orang tuanya meninggal di umur 12 tahun, dia dititipin ke nenek kakeknya, tapi karena neneknya ini kekurangan dana buat ngasuh Kak Hyunsuk, dia dibuang di sini deh."
"Miris, tapi seenggaknya Kak Hyunsuk itu masih punya keinginan hidup yang besar," sahut Doyoung menoleh ke arah Jihoon dan tersenyum lebar.
Jihoon mengernyit. "Tahu dari mana lo?"
"Keinginan hidup seseorang itu bisa dilihat dari matanya, Kak."
"Gue?"
"Iya, elo juga pengen mati kan? Kenapa?" Doyoung mempertanyakan itu dengan santai, namun ulu hati Jihoon sakit. Apalagi wajah polos itu tersenyum padanya dengan lebar.
"Ayah, Ibu gue semuanya mati dalam kebakaran. Lo tahu kebakaran itu karena siapa?"
Doyoung menggeleng.
"Karena gue." Jihoon mengatakannya dengan senyum.
"Gue dari dulu anak yang aktif, jadi pas Ibu gue bilang kalau gue gak boleh lagi main bola di sekolah karena Ayah udah gak mampu buat bayar uang sekolah gue. Gue marah, dan iseng buat bakar seragam gue sebagai bentuk pemberontakan gue, tapi nyatanya..."
"Gak papa, itu kesalahan," ujar Doyoung tetap tersenyum. "Kesalahan yang jangan diulangi."
"Tapi karena kesalahan itu, gue hidup dengan rasa bersalah sampai sekarang. Setelah itu hak asuh gue dikasih ke Tante gue, tapi ternyata Tante gue gak suka, dia buang gue ke hutan ini sampai Bu Jennifer nemuin gue. Di sini... juga neraka, Doyoung. Lo salah dengan milih ke sini," ujar Jihoon mengelus puncak kepala Doyoung.
"Anak kecil bodoh."