📙20. Dikhitbah?

212 14 1
                                    

"Kenapa nangis? Entar cantikmu itu hilang lho, Mai. Kalau hilang, ya Gus Wafa marah nanti," goda Nahla-abdi ndalem yang sudah berumur 26 tahun itu, tetap mengabdi walau sudah bersuami, kebetulan suaminya juga abdi ndalem pesantren di sini.

"Jangan keras-keras kalau bicara Mbak Nah, nanti ada yang dengar jadi salah paham," kata Maira yang kini sedang berjalan beriringan dengan Nahla.

"Itu tandanya mereka iri, Mai. Mbak tau kok masalah kamu sama Fitri dan antek-anteknya itu. Fitri itu memang dari awal mondok emang gitu, Mai. Mbak aja heran, kenapa Fitri sama antek-anteknya itu gak pensiun kalau soal cibir orang," cerocos Nahla panjang lebar, memang Nahla adalah tipikal wanita yang berbicaranya cepat.

"Udah, biarin aja. Ning Qamar kenapa panggil aku di taman ndalem, Mbak? Biasanya juga di musholla, kan? Maira sungkan sama kyai Mbak kalau ke taman ndalem," tanya Maira panjang lebar.

"Ya enggak tau, pokoknya tadi Ning suruh Mbak panggil kamu, Mbak laksanakan aja. Oh iya, kyai lagi ke kota sebelah buat reunian, jadi di ndalem cuman ada Mbak, Ning Qamar sama tukang masak aja." 

Maira kini sudah berada di taman ndalem yang berada di belakang ndalem kyai yang sangat megah dan besar ini. Maira mendapati Qamaria yang ada di gasebo taman yang dekat dengan kolam ikan. Qamaria melambai kepada Maira untuk menghampiri Qamaria di gasebo tersebut.

Maira berjalan ke sana dan Nahla langsung meluncur ke dapur. Maira kini mengucap salam dan bersalaman dengan Qamaria, setiap Maira ingin mencium tangan Qamaria, ia pasti menarik tangannya, umur mereka sama jadi Qamaria tidak ingin dianggap lebih tua dari Maira walaupun dalam konteks antara Ning dan santri.

"Tumben, Ning panggil Maira di sini. Biasanya di musholla. Ada apa ya, Ning?" tanya Maira sambil duduk di sebelah Qamaria.

"Enggak apa-apa, saya cuman takut kalau kejadian kemarin terulang lagi. Kasihan kamunya. Para santri putri udah berhenti julid sama kamu, kan?" tanya Qamaria diakhiri dengan senyum tipis.

"Alhamdulillah, udah lumayan enggak. Walau masih ada dikit, tapi nggak separah kemarin," jawab Maira seadanya.

"Heum, kalau makin parah kamu lapor sama saya, biar mereka saya tindak lagi," kata Qamaria dengan wajah yang sedikit tersulut emosi.

"Saya mau bicara penting sama kamu. Mungkin, ini sudah saatnya kamu tau. Dan, saya harap setelah ini kamu bisa menentukan jalan yang terbaik buat hidup kamu kedepannya." Maira mengernyitkan dahinya, Qamaria seperti hendak berbicara serius dengan Maira.

"Silahkan, Ning. Insyaallah Mai bisa nerima apapun itu setelah Ning bicara sama Mai," kata Maira diakhiri dengan senyum tipis, jujur Maira gemetaran sekarang.

"Ini tentang hasil istikharah dua cucu laki-laki kyai, dan hasil istikharah kyai sendiri. Hasil itu mengarah sama kamu, Mai," kata Qamaria dijeda, Maira masih sedikit binggung atas perkataan Qamaria.

"Waktu itu saya bermimpi kalau ada satu dari dua gus tersebut melamar kamu dan salaman sama paman kamu dengan bahagia. Saya langsung kaget, kenapa saya mimpi kamu dikhitbah sama satu dari dua gus tersebut. Saya cerita sama gus tersebut, gus bilang sama saya mungkin itu adalah hasil istikharahnya. Dia istikharah sebulan penuh untuk segera diberi petunjuk di mana jodohnya berada, atas desakan dari kyai agar segera menikah. Hasil istikharahnya selalu tidak jelas dan samar, dan pas di satu bulan ia melakukan istikharahnya saya bermimpi itu. Saya jadi ingat kalau hasil istikharah itu bisa lewat mimpi orang lain," kata Qamaria panjang lebar, Maira mendengarkannya dengan antusias, tentunya dengan jantung yang terus saja berdetak kencang.

"Gus satunya, mimpi menggelar akad denganmu di sebuah masjid yang megah, setelah akad itu kamu berjalan bersama saya menuju sebuah titik yang sangat terang,"  kata Qamaria, Maira kaget jika selama ini menjadi isi mimpi seorang gus-gus tersebut.

"Kyai mimpi, dua gus itu berdebat melamarmu. Jadi harus ada satu yang mengalah, agar tidak terjadi permusuhan." Maira mengusap air matanya yang baru saja jatuh, Maira tidak menyangka dan tidak pernah terpikirkan hal ini.

"Dua gus itu siapa, Ning?" tanya Maira.

"Dia adalah Gus Wafa sama Gus Yusuf. Salah satu dari mereka akan meminangmu dan salah satu dari mereka akan menjauh dari kamu, demi persaudaraan agar tetap terjaga ada satu di antara gus itu yang berkorban, belajar menjauh dari kamu," kata Qamaria sambil menepuk pundak Maira pelan, lalu Qamaria tersenyum.

Maira menangis sekarang, air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Maira juga tidak menyangka jika hal ini akan terjadi padanya. Maira mencoba untuk berhenti menangis, tapi hal itu nihil.

"Kamu sudah bisa merasakan, bukan? Siapa di antara dua gus itu yang kini sedang belajar menjauh dari kamu," kata Qamaria lalu memeluk Maira dengan erat. Maira menangis di dekapan Qamaria, ada apa ini? Sesedih itukah Maira.

"Dia menjauh, karena kebaikan. Dia belajar menjauh walau hatinya tidak merestui. Dia berkorban, karena dia rasa itu bisa menjaga persaudaraannya dengan Gus Yusuf. Saya harap, kamu juga bisa belajar berkorban ya, Mai. Gus Yusuf akan segera mengkhitbahmu," kata Qamaria kepada Maira yang masih ada di dekapannya. Maira langsung melepas dekapannya dan menatap manik Qamaria intens.

Apakah Maira tidak salah dengar bahwa Gus Yusuf akan mengkhitbahnya? Tentu Maira sangat kaget, bahkan ia sama sekali tidak mengetahui siapa itu Yusuf. Maira sama sekali tidak tau di siapa, tinggal di  mana dan Maira selama di sini tidak pernah berjumpa dengannya.

"Bisakah Maira bertahan di atas permukaan tanpa adanya cinta. Maira cinta sama Gus Wafa, bukan Gus Yusuf. Maira enggak bisa munafik, Ning," kata Maira dengan air matanya yang mengali r deras, matanya sembab sekarang.

Qamaria menyentuh pundak Maira, sambil tersenyum tipis. Sedangkan Maira hanya menunduk memilin ujung jilbabnya sendiri, merasa jika Allah sedang tidak adil padanya.

"Gus Wafa juga sama denganmu, kamu senasib sama dia. Kamu harus bisa berkorban layaknya Gus Wafa sekarang. Jika memang benar-benar berjodoh, sesulit apapun dinalar kalian akan berjodoh. Jalani apa yang ada di hadapanmu sekarang, Mai. Jangan lihat ke belakang, tataplah ke depan." Maira semakin terisak, tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini padanya.

Sementara itu Yusuf sekarang melihat Maira dan Qamaria dari lantai dua sedari tadi. Awalnya, Yusuf mengira Maira akan bahagia karena Qamaria mengabarkan kepada Maira bahwa Yusuf akan mengkhitbahnya. Namun, berjalannya waktu Maira malah menangis. Dari situlah Yusuf berpikir jika Maira itu memiliki rasa kepada Wafa. Yusuf juga tidak tau jika Wafa juga menyukai gadis bermata hazel itu alias Almaira.

"Maira akan coba, Ning. Seiring berjalannya waktu mungkin Maira bisa melupakan Gus Wafa."

T B C

Mereka sama-sama berkorban, ya. Heeum jadi pengen nangis aku nulis bab ini😧🙊

Hug Me When Halal (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang