"Umi, Rara mau pergi ke majlis ta'lim putri yang ada di kota sebelah. Rara ke sana sama Zakiyah."
Rara mendekat kepada uminya yang kini sedang membuat kue di dapur. Nama umi Rara adalah Siti Maisarah. Maisarah membalikkan badannya, lalu tersenyum kecil kepada anak sulungnya itu sambil menyodrokan satu kue mini agar diicip oleh Rara.
"Enak, Umi. Heum, Rara bakalan ketagihan ini. Rara mau lagi dong, hehe," kata Rara lalu terkekeh kecil.
"Kamu ke kota sebelah sama Zakiyah aja? Memangnya kamu mau pulang jam berapa, Ra?" tanya Maisarah sambil membuka ovenanya itu, memasukkan beberapa adonan kue yang baru saja di cetak ke sana.
"Iya, sama Zakiyah aja. Mungkin, pulangnya seusai dhuhur. Rara nanti bakalan bawain umi oleh-oleh juga," kata Rara sambil menatap matahari dari jendela dapur yang baru saja menyingsing.
"Oleh-oleh? Kamu ini kayak mau pergi jauh aja, udah yang penting kamu pulang selamat umi udah bahagia," kata Maisarah sambil menutup oven.
"Ya udah, Rara berangkat. Assalamualaikum," kata Rara sambil mencium tangan Maisarah, lalu Maisarah mencium kedua pipi Rara bergantian.
"Waalaikumsalam. Fi amanillah, sayang."
🕊🕊🕊
Wafa kini sedang berjalan di depan gedung fakultasnya dengan langkah yang santai menuju gasebo favoritnya yang ada di taman. Ia datang lebih pagi karena ingin membahas kerjaan dengan Yusron dan Maulana.
"Iya, Bundaa. Nanti kalau udah jam istirahat kuliah Mai telpon Bunda lagi. Mai mau bicara soal laki-laki yang mau khit-." Ucapan Maira terpotong kala tak sengaja menabrak Wafa yang sedang berdiri menatap layar ponsel. Wafa tidak tau jika Maira akan lewat, karena dia sedang mengirimi pesan kepada dua temannya itu.
Wafa dan Maira terpaku, beberapa detik kemudian mereka sama-sama buang muka. Maira yang membawa tumpukan buku lumayan banyak itu langsung melenggang pergi. Wafa yang menyadari buku Maira jatuh di tanah itu hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menghela napas pelan.
Wafa membuntuti langkah Maira yang berjalan sedikit cepat menuju gedung fakultasnya itu. Maira memberhentikan langkahnya kala menjumpai Nasya di depan gedung fakultas. Mereka tampak berbincang-bincang mengenai buku yang Maira bawa.
"Tapi, Mai jumlah semua buku yang kita pinjam dari perpus itu ada lima buku. Kok ini cuman ada empat? Lo enggak tinggalin di pesantren atau jatuh di jalan, kan?" kata Nasya menyelidik, sambil meletakkan buku-buku tersebut di kursi kayu yang memanjang.
"Maira yakin, dari pesantren udah bawa lima buku kok, Sya. Masa iya jatuh, sih? Gawat nih, milik perpus kampus lagi," kata Maira sambil mondar-mandir dengan wajah panik.
"Mungkin ini buku yang kalian cari?" kata Wafa dengan suara baritonnya. Maira sudah hafal itu suara siapa, Maira membalikkan badannya dan benar firasatnya, pemilik suara itu adalah Wafa.
"Lain kali, jangan terburu-buru." Wafa menyodorkan buku yang cukup tebal itu kepada Maira dengan wajah yang dingin, Maira menerima buku dari Wafa itu fengan tangan yang sedikit gemetar lalu segera melenggang pergi menuju gedung fakultas, meninggalkan Wafa dan Nasya.
"Makasih ya, Kak. Gak tau lagi deh kalau enggak ada Kakak, mungkin kita bakalan kena denda. Sekali lagi makasih, ya," kata Nasya dengan wajah yang sungkan.
"Sama-sama. Tolong ajarkan kepada temanmu untuk belajar mengucapkan terima kasih," kata Wafa lalu melenggang pergi meninggalkan Nasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hug Me When Halal (END)
Teen Fiction📚Teenfic-Spiritual "Terima kasih, sampai detik ini gus masih baik banget sama Maira. Maira enggak pernah nyangka kalau gus masih mau nolongin Maira. Maira tau semuanya tentang apa yang membuat gus menjauh dari Maira. Kita sama-sama berkorban, ya...