📙 16. Nangis

184 9 0
                                    

Maira menghela napasnya malas sambil menatap wajahnya sendiri di cermin yang ada di kamarnya. Maira melihat kalender yang ada di sebelah cermin, menunjukkan tanggal 06 Maret. Ya, sekarang Maira sedang berulang tahun. Bahkan sampai sekarang belum ada yang mengucapkan selamat kepada Maira.

Maira hanya diam saja, tak ingin koar-koar kalau hari ini adalah hari istimewanya. Maira segera mengantri kamar mandi yang antriannya pagi ini tak cukup panjang, tidak seperti biasanya. Maira masuk ke dalam kamar mandi ketika sudah waktu antriannya dengan  wajah sedikit malas.

"Mbak, ada yang lihat Maira enggak?" kata Nahla kepada santri putri yang sedang antri kamar mandi itu.

"Lagi mandi dia, Mbak," jawab salah satu seorang santri putri yang sedang mencuci sepatu itu.

"Bilangin kalau ke Maira, kalau dia ditunggu sama Ning Qamar di musholla. Suruh agak cepat dia mandinya, gak baik Ning nunggu santrinya lama-lama," kata Nahla dengan panjang lebar, lalu kembali ke dapur untuk masak.

Maira yang mendengar ucapan Nahla yang super cempreng itupun hanya diam dan mempercepat mandinya. Maira keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah itu, langsung menggunakan handuk sebagai penutup kepala dan berjalan menuju kamar.

"Maira kok sering banget dipanggil Ning Qamar buat ke musholla, ya? Kok kayak deket gitu sama Maira,"  kata Nahwa dengan menjemur pakaiannya.

"Iya, dia aja deket sama Gus Wafa. Aku sering denger kalau Maira curhat ke Kanzha kalau Gus Wafa itu sering bantuin Maira ngerjain tugas kuliah, pokoknya Gus Wafa itu baaaik banget kalau sama Maira," sambung Jeni sambil menjemur sepatunya di pagar.

Maira dengan cepat memakai kerudung nya dan segera berjalan sedikit cepat menuju musholla. Di dalam musholla sudah ada Ning Qamar yang sedang menunggunya sambil duduk membaca al-qur'an.

"Shodakallahuladzim, eh Maira udah ke sini. Sini, Mai masuk dulu. Ada yang mau saya bicarakan," kata Qamaria dengan nada serius. Maira berpikir kalau Qamaria akan memberi tau Maira lulus tes kelas tiga kilat atau tidak.

Maira duduk di hadapan Qamaria dengan tersenyum gugup, lalu bertanya kepada Qamaria kenapa ka menyuruh Maira ke musholla.

"Barakallah fiumrik ya, Mai. Semoga jadi wanita yang selalu istiqamah di jalan kebaikan dan semoga, Maira sukses ke depannya." Maira membelalakkan matanya, demi apa Qamaria tahu tanggal lahirnya. Qamaria menyerahkan kotak kecil berwarna coklat terang kepada Maira lalu Qamaria tersenyum.

"Saya cuman bisa ngasih kecil ini, soalnya saya belum kerja. Diterima, ya." Maira menerima kotak kecil dari Qamaria dengan tersenyum lebar lalu berterima kasih kepada Qamaria.

"Ada satu lagi, dari Gus Wafa. Nih, diterima juga, ya. Pesan Gus Wafa buat kamu semoga cepat tinggi dan semoga bisa ngerjain tugas sendiri," kata Qamaria sambil memberi bingkisan yang ukurannya sedang, lalu Qamaria terkekeh pelan menatap wajah Maira yang kini memerah.

"Makasiii, kalian baik banget. Kok enggak Gus Wafa aja yang ngasih langsung sama Maira?" kata Maira dengana jujur sambil mengusap air matanya yang baru saja jatuh.

"Dia harus segera pergi ke pesantren Al-Ulum. Jadi, enggak sempat," jawab Qamaria seadanya.

"Sekarang Gus Wafa udah berangkat, ya?" tanya Maira dengan suara serak, ia menahan air matanya. Entah kenapa ia ingin menangis sekarang juga.

"Enggak, dia masih sarapan."

🕊🕊🕊
M

aira menghapus air matanya, demi apa sehabis ini Maira akan jarang bertemu  Wafa. Mungkin, Maira bisa bertemu Wafa di kampus, namun kesempatan itu sangatlah kecil. Apalagi mereka beda semester, beda fakultas lagi.

Maira berjalan menuju gerbang tepat di jam enam untuk menunggu angkot, motor yang biasanya dipakai kuliah sedang diservice di bengkel terdekat, ia sengaja ke gerbang lebih awal karena ia sedikit malas meladeni santri putri yang heboh karena Maira mendapat kado dari Wafa. Padahal, Maira mencoba menyembunyikan hal tersebut, namun nihil. Ada satu santri putri yang menguping pembicaraan Maira bersama Qamaria tadi sehabis subuh. Maira pun merasa tidak enak kepada Kanzha, karena Maira mendapatkan kado di hari ulang tahunnya dari Wafa. Ah, sudahlah semua terlalu rumit untuk Maira.

Maira kini sedang duduk pinggir jalan depan gerbang, kebetulan di sana terdapat kursi kayu memanjang yang biasanya digunakan oleh satpam posentren. Maira ingin menangis sekarang, mengingat sindiran pedas santri putri yang berkaitan dengan kado dari Wafa tadi. Maira juga masih ingat, kalau dia juga diberi cap tukang caper oleh Fitri dan teman-temannya.

"Gak tau lagi, deh. Kenapa jadi serumit ini cuman gara-gara kado aja. Mereka terlalu berlebihan nanggepin ini," batin Maira sambil menghela napas pelan, melihat jam yang melingkar manis di tangan kanan Maira.

Maira berdiri dari duduknya, ketika mendapati Wafa yang baru saja keluar dari gerbang mengendarai motor vespa antiknya itu, banyak kenangan yang Maira dapat dari motor antik itu.

"Gus Wafa?! Berhenti dulu," kata Maira sambil menghadang jalan, Wafa memberhentikan motornya dan menghela napas pelan. Terlihat cuek dan bodoamat.

"Gus Wafa beneran ini mau pindah pagi ini juga? Gus enggak pamitan sama aku gitu? Se-enggak penting itukah Mai di kehidupan Gus Wafa? Gus Wafa tau, Mai itu anggap Gus Wafa sebagai teman terbaik yang Mai jumpai di pesantren. Gus anggap Mai apa sih? Sampai-sampai mau pindah pesantren gus enggak pamit se-patah katapun sama Mai," kata Mai dengan nada serius, sedetik kemudian air matanya jatuh begitu saja di hadapan Wafa yang kini sama sekali tidak menatap wajah Maira. Wafa menatap jalan dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Jawab Maira, Gus. Maira cuman mau kalau gus pamitan gitu aja, abis ini Mai enggak akan lagi ngerepotin Gus Wafa dengan segala tugas mata kuliah Mai."

"Gus anggap Maira apa, sih?"

Wafa menghela napasnya pelan, menatap sejenak wajah Maira dan memalingkan pandangannya. Hati Wafa sedikit teriris ketika melihat Maira menangis karenanya. Wafa melepas helmnya lalu menaruh helm tersebut di spion.

"Saya  menganggapmu sebagai orang penting di hidup saya, bukan seorang teman lagi. Kamu tau itu? Paham kamu sekarang?" kata Wafa dengan nada dingin dan dengan tatapan sedikit tajam. Maira membelalakkan matanya sempurna, apakah dia salah dengar? Maira tak bergerak, ia berdiri kaku.

"Apakah Maira sekarang sedang bermimpi, jika ini mimpi maka izinkanlah Maira untuk bermimpi selamanya," batin Maira beriringan dengan bening putih yang luruh membasahi pipinya.

"Saya tidak ingin menggengam kamu terlalu erat, Mai. Karena saya tahu, bagaimana sakitnya melepaskan. Saya juga tidak akan menjatuhkan hati terlalu dalam, karena saya tahu sulitnya berdiri seusai dilukai," kata Wafa dengan wajah yang dingin, dada Wafa serasa sesak sekarang, sumpah Wafa ingin segera pergi dari hadapan Maira, ia tidak kuat melihat Maira menangis seperti ini sekarang.

"Kita lebih baik begini saja, bila kamu perlu saya selalu bersedia dan kalau kamu rindu, berjanjilah untuk membuang jauh-jauh rindu itu," ujar Wafa lalu memakai helmnya ia melajukan motor dan meninggalkan Maira yang masih menangis itu sendirian di pinggir jalan.

T B C

Kasian mereke berduaa yaa, enggak nyangka kalau Wafa bisa sayang sama Mairaaa😭

Janlup votmen, semoga menghiburr, papaay🤗

Hug Me When Halal (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang