📙 8. Dasar Galak!

174 8 0
                                    

"Almaira, udah ditunggu Gus Wafa di Musholla. Ning Qamar juga udah ninggu di sana."

Maira yang baru saja masuk ke kamar memakai handuk untuk menutup rambutnya yang masih basah itu langsung tercengang. Pasti Gus Wafa menunggunya untuk tes pagi ini. Maira langsung melempar handuknya asal-asalan dan lansung menyisir rambutnya cepat dan mencari kerudung di lemari.

"Kenapa sepagi ini? Katanya abis sholat dhuha? Ini, kan masih jam tujuh pagi. Mana Maira baru mandi lagi, ah buat jadwal sendiri tu gus pengatur," celoteh Maira sambil memakai kerudung di depan cermin, Kanzha hanya terkekeh melihat kepanikan Maira.

"Kalau di mata Gus Wafa, jam tujuh itu udah bukan pagi lagi, Mai. Udah siang ini, udah cepetan, enggak baik Gus nunggu santri," saran Kanzha sambil memberi al-quran kepada Maira. Maira menerimanya dan langsung melenggang pergi sambil mengucap salam.

Maira berjalan menuju musholla, entah kenapa pagi ini banyak santri yang tersenyum kepada Maira, bahkan ada juga yang menyapa nama Maira. Maira hanya tersenyum dan mempercepat tempo berjalannya.

"Assalamualaikum," kata Maira di ambang pintu musholla, yang benar saja Gus Wafa dan Ning Qamar sudah menunggunya lama di musholla.

Ning Qamar dan Gus Wafa langsung menjawab salam Maira dan Ning Qamar langsung berdiri mengambil meja kecil dan menaruhnya di hadapan Wafa namun agak jauh. Maira binggung harus apa, ia masih di ambang pintu sambil menatap aneh ke sekitar.

"Masuk, Mai. Kamu duduk di sini," titah Ning Qamar sambil menunjuk tempat di depan meja kecil tersebut.

"Udah, Mas mulai aja. Maira udah datang," kata Ning Qamar dengan santai, Wafa mengangguk dan mulai membuka al-quran. Ning Qamar dan Gus Wafa adalah sepupu, jadi Ning Qamar memanggil Gus Wafa dengan sebutan 'Mas'.

"Baca Al-Fatihah dulu," titah Wafa dengan suara santai, Maira meremas tangannya sendiri, bisa-bisanya Maira segugup ini.

Maira menarik napasnya, menoleh sedikit kepada Ning Qamar yang ada di sampingnya kemudian menatap Wafa yang sedang menatap surah al-fatihah yang ada di al-quraan Mai. Maira merasa mereka menunggu Maira membacanya.

"B-b-bismillahirrahmanirrahim,"kata Maira dengan tangannya yang bergetar hebat. Dirasa tidak ada komentar, Maira meneruskan bacaan al-fatihahnya sampai ayat terakhir. Maira menutup Al-qurannya dengan pelan, langsung dicegah dengan handphone oleh Wafa.

"Kenapa? Bukannya udah tesnya?" tanya Maira.

"Siapa yang menyuruhmu menutupnya, buka surat ar-rahman. Baca surat itu dengan benar," titah Wafa dengan wajah yang judes, mental Maira untuk menyanggah ucapan Wafa pun menciut.

"Yang mana? Maira tidak tau, Gus," kata Maira pasrah sebelum ia mencarinya di al-quran. Memang, Maira tidak pernah mendengar surat ataupun membaca surat ar-rahman.

"Kamu menyerah sebelum mencoba mencari, Kamu punya tangan dan fikiran, coba gunakan keduanya untuk mencari," kata Wafa dengan dingin, Maira hanya menelan salivanya pelan sambil membuka halaman-halaman al-quran dengan gemetar.

"Udah tukang ngatur, galak lagi, dia manusia macam apa, sih? Killer banget hidupnya," batin Maira sambil membuka halaman-halam al-quran, sedangkan Wafa sedang membalas pesan di handphonenya.

Wafa yang merasa Maira tidak kunjung menemukan surat ar-rahman pun geram, ia menatap wajah Maira tajam dan langsung mengambil al quran dari meja kecil tersebut membuat Maira terperanjat. Maira melihat Wafa dapat menemukan surat ar-rahman dengan sekali membuka.

"Pintar juga dia," batin Maira.

"Baca," kata Wafa sambil menaruh al-quran di meja hadapan Maira. Maira mengangguk pelan. Maira membacanya sebisanya, membuat Wafa yang sedang membalas pesan itu mengerutkan alisnya dan menatap Maira yang sedang membaca surat ar-rahman dengan tidak lancar.

"Berhenti," kata Wafa membuat Maira berhenti membaca surat tersebut dan menatap Wafa sebentar, kala Wafa juga sedang menatapnya dengan tatapan tajam. Maira langsung menunduk, mentalmya tak cukup banyak untuk menatap mata hazel Wafa.

"Maaf, Gus. Kalau bacaan Mai banyak yang salah, Mai harus lebih banyak belajar lagi soal membaca al-quran," kata Mai sambil menunduk. Sumpah, ia takut jika Wafa memarahi Maira habis-habisan dan mengungkit-ungkit apa yang telah Maira perbuat kepadanya sebelum Maira mondok ke sini.

"Enggak apa-apa, santai aja. Saya maklum, semua masih butuh proses belajar. Pokoknya kamu mau belajar dan terus belajar, insyaallah kamu bisa baca al-quran dengan baik dan benar," kata Wafa memberi saran, wajahnya cukup damai membuat Maira merasa adem ketika berbicara dengan Wafa.

"Jadi, kamu nanti sehabis ashar masuk ke kelasnya Ning Qamar, ya? Artinya kamu masuk diniyah kelas dua. Kalau setelah maghrib kamu masuk ke kelas saya," putus Wafa dengan mematikan handphonenya, lalu memasukkannya ke saku yang ada di dadanya.

"Iya, Gus," kata Maira pelan sambil mengangguk. Kemudian Wafa langsung berjalan keluar musholla dan meninggalkan Ning Qamar dan Maira di musholla.

Maira menghela napasnya panjang sambil menselonjorkan kakinya di depan Ning Qamar. Ning Qamar hanya tersenyum melihat tingkah Maira. Ning Qamar paham betul sifat-sifat Maira, karena Rahmat-Adik dari Ibu Qamar sudah bercerita.

"Ning Qamar, Mai deg-degan hebat." Maira menyentuh dadanya, lalu menghela napas.

"Netralin detak jantung kamu dulu, habis itu kita pulang ke asrama," kata Qamar dengan lembut, lalu membuka handphonenya sebentar lalu mematikannya.

"Oh, iya. Mai udah tau apa belum kalau Paman Rahmat itu Adiknya Ibu aku, jadi kata Mas Rahmat kalau kamu butuh apa-apa suruh bilang sama saya, nanti saya bisa telepon Mas Rahmat," kata Qamar lalu tersenyum.

"Iya, Ning. Makasih. Oh, iya Mai boleh nanya enggak?" tanya Maira sambil membenarkan posisi duduknya.

"Paman sudah daftarkan Mai di kampus mana? Dan Mai udah bisa ngampus belum? Atau masih ngejalanin masa orientasi dulu?" tanya Maira, lalu Qamar mengangguk pelan.

"Oh, iya. Saya belum sampaikan hal ini sama kamu, Mai. Jadi, Mas Rahmat udah daftarkan kamu ke kampus yang kebetulan menjalin kerjasama sama pihak pesantren. Pesantren di sini kerja sama dua kampus aja. Kalau enggak salah, besok kamu ke sana, buat orientasi maha siswa baru," kata Qamar panjang lebar.

"Jarak kampusnya dari sini jauh, enggak? Terus Maira ke sana naik apa?" tanya Maira.

"Biasanya ada yang bawa motor, tapi juga ada yang naik angkot ke sana. Untuk sekarang, lebih baik kamu naik angkot dulu, motor kamu masih mau dibawa ke sini besok sama Mas Rahmat, katanya motornya masih mau diservice dulu, dan untuk alat kuliah usahakan kamu punya laptop, ya. Dan nantinya laptop itu hanya boleh dioperasikan di ruangan khusus santri yang kuliah. Kalau sampai mengoprasikan di kamar atau di dalam pondok, bakalan kena ta'zir(sanksi) paham, Mai?" terang Qamar panjang .

"Yang mondok ke sini rata-rata banyak yang ke Universitas Sunan Ampel dari pada Universitas Raden Rahmat. Universitas Raden Rahmat biaya persemesternya terlalu mahal, jadi banyak yang ke Universitas Sunan Ampel," jawab Qamar.

"Jadi, yang dari pesantren sini cuman ada aku aja, Ning?" tanya Maira.

"Cuman ada kamu, saya sama Mas Wafa," jawab Qamar lalu diakhiri dengan senyuman.

"Hah?! Gus Wafa? Mampus Mai! Abis ini bakalan sering ketemu sama gus pengatur itu, Mai gak tenang kalau gini caranya. Apa Mai harus minta maaf atas perlakuan Mai waktu itu, ya?" batin Mai sambil menghela napas pelan.

To Be Continue

Janlup vote dan komen, papaay😊

Hug Me When Halal (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang