"Eh, iya aku lagi," kata Maira sambil senyum tertahan kepada Wafa, Maira menoleh kepada Kanzha yang menunggunya di teras kantor pengurus.
"Eh, aku pamit dulu, ya. Assalam-." Ucapan Maira terpotong karena Wafa memotong ucapan Maira dengan sedikit mengernyitkan dahinya.
"Kamu umur 30 tahun? Apakah data yang kamu tulis ini sepenuhnya benar?" tanya Wafa menyelidik, sambil menaruh kertas biodata milik Maira di meja dengan sedikit tersenyum samar, Maira pun sampai tidak tau jika Ustad ganteng yang ada di hadapannya tersenyum.
Maira mengambil kertas itu lagi dengan kondisi perut yang mulesnya minta ditabokin. Maira menelan salivanya, bisa-bisanya ia menulis tahun lahirnya menjadi 1990, ada apa dengan tanganmu Maira? Apakah sudah tak berfungsi sepenuhnya? Maira meringis kepada Wafa sambil menahan malunya yang semakin menjadi-jadi.
"Eh, dikurangin 10. Jadi, umur Mai sebenarnya 20 tahun. Mai kelahiran tahun 2000, Gus," kata Maira sambil menaruh kertas tersebut di meja lagi, kemudian menunduk, sumpah ia kenapa menjadi semalu ini.
"Ya sudah, mungkin kamu masih perlu belajar cara menulis yang benar. Kembali ke asrama dan temui saya besok di musholla, kamu harus tes ke saya besok pagi," putus Wafa tanpa menatap wajah Maira yang panik tidak jelas itu, Wafa sibuk dengan laptop yang ada di hadapannya.
"Paginya jam berapa?" tanya Maira.
"Jam tujuh pagi, seusai sholat dhuha. Jangan sampai saya mendengar bacaan salah di setiap lafadznya, saya tidak suka," ujar Wafa penuh dengan penekanan, sejenak menatap wajah Maira dengan tatapan tajam lalu kembali sibuk dengan laptop.
"Dia memang benar-benar manusia pengatur, Mai gak pernah nyangka bakalan ketemu lagi sama manusia kayak dia," batin Mai.
🕊🕊🕊
"Ah, gimana ini. Tolongin aku, Zha. Aku bakalan malu sampai ke ubun-ubun kalau semisal besok bacaan al-quran aku banyak salah. Mau ditaruh dimana muka aku, Zha. Ayo, tolongin akuuu," kata Maira sambil mondar-mandir di depan ranjang susun dua yang ada di kamar sederhana ini.
Maira menggigit jarinya sendiri, bisa-bisanya ia bertemu lagi dengan laki-laki pengatur yaitu Wafa. Sebenarnya Maira malas berhubungan dengan Wafa tukang ngatur itu, tapi mau bagaimana lagi? Sekarang sudah masuk lingkup pesantren, bagaimana pun Maira harus mentaati perkataan Wafa, apalagi dia cucu kyai di sini.
"Benar katamu, Dir. Mai bakalan berurusan lagi sama Ustad Wafa. Ah, semua jadi rumit karena perlakuan Mai sendiri sejak awal ketemu sama Ustad Wafa," batin Mai.
"Kenapa malu? Salah enggak apa-apa, wajar. Kamu, kan manusia. Jadi, enggak ada luputnya sama yang namanya kesalahan. Udah, santai aja. Ustad Wafa orangnya nyantai, kok dan ... Enggak galak," kata Kanzha diakhiri dengan kekehan pelan.
"Masalahnya, Mai dulu sebelum mondok ke sini pernah ngolok-ngolok Gus Wafa, Zha. Mai malu aja, bayangin betapa malunya kalau kamu jadi aku," kata Maira sambil mengelap keringatnya frustasi.
"Bego! Berhenti lo!"
"Turun lo bego! Mata lo kemana sih, ha? Lo taruh di kaki, ya? Kalau nyetir jangan buru-buru dong! Lihat kanan kiri! Dasar ga bisa nyetir mob-."
"Maaf, ya. Gue ngajak adiknya bukan kakaknya, lain kali jangan sok ikut-ikut."
"Malu sampai ubun-ubun, bukan malu aja. Tapi, ya mau gimana lagi, Mai? Kamu harus ngejalanin ini semua, harus bisa," kata Kanzha menyemangati, sambil mengepalkan tangannya di hadapan Maira.
"Mai itu bukan wanita baik-baik, Zha. Mai itu adalah wanita yang sulit diatur, Mai ceritain ya, dulu itu Mai sering bahkan jadi rutinitas kalau pulang sekolah enggak langsung pulang," kata Maira sambil duduk di tepi ranjang, Kanzha pun ikut duduk di samping Maira.
"Kok bisa?" tanya Kanzha terdengar antusias.
"Mai masih nongki ke caffe, sama temen-temen Mai. Temennya Mai dulu banyak yang cowok, temen cewek bisa dihitung pakai jari. Kalau udah nongki ke caffe, Mai pergi ke warnet buat main play stasion sampai abis isya, sumpah enggak pernah peduli sama yang namanya waktu. Pulang ke rumah sekitaran jam sembilan malam, wajah udah enggak karuan, seragam udah kusam dan kotor. Pasti abis itu ibu marahin Mai, tapi Mai malah balik marahin ibu. Mai pantas, ya dijuluki anak durhaka," kata Mai diakhiri dengan kekehan kecil, Kanzha tersenyum simpul.
"Mai juga pernah ngambil uang tabungan ibu buat modal jualan demi bayar sewa play stasion di warnet, Mai orangnya emang nekatan, Mai pada saat itu lagi gila-gilanya main play stasion," sambung Mai dengan terbuka kepada Kanzha.
"Mai juga pernah tuh, yang namanya hisap rokok walaupun cuman sebiji. Waktu itu aku sama teman-teman lagi main tantangan atau jujur, Mai pilih tantangan tuh, eh tantangannya disuruh ngerokok, ya udah Mai ngerokok di depan teman-teman pas itu juga, Mai gak mau dianggap lemah sama mereka," kata Mai.
"Kamu hebat banget, ya. Milih mondok dan membuka halaman baru di sini, kamu bisa laluin semua itu dan akhirnya kamu ada di sini, di lembaga menuntut ilmu ya insaallah bisa membawa ke jannah, Kanzha salut sama kamu, mau berubah," kata Kanzha seadanya.
"Jangan gitu, Mai ambil langkah ini karena Mai merasa kalau hidup Mai udah jauh banget sama Allah," kata Mai dengan mengusap air matanya yang tiba-tiba saja jatuh, membasahi pipinya.
"Semoga kamu jadi wanita yang istiqomah memperbaiki diri, ya. Kamu harus semangat, Mai."
Maira dan Kanzha kini kembali ke ranjangnya masing-masing. Di pesantren ini mengenakan ranjang susun dua, di setiap kamar terdapat dua keranjang susun. Jadi, setiap kamar berpenghuni empat orang, kebetulan dua orang yang biasanya sekamar dengan Kanzha sedang pulang, karena sakit.
"Doain, besok Maira lancar tesnya, ya," kata Maira kepada Kanzha yang berada di ranjang bagian atas.
"Pasti, udah kamu tidur. Jangan lupa berdoa," kata Kanzha lalu Maira mematikan lampu dan menyalakan lampi tidur.
🕊🕊🕊
Maira menahan matanya agar tidak tertidur dalam keadaan seperti sekarang. Yang benar saja, Maira disuruh berdiri oleh pengurus ubudiyah di tempatnya ketika wiritan jamaah subuh karena mengantuk bersama para santri yang mengantuk juga. Ini baru pertama kali bagi Maira, sumpah ia malu sekarang. Apalagi Maira sekarang berada di shaf paling depan.
"Mai, jangan tidur. Ada Gus Wafa, tuuh," kata Kanzha dengan menarik ujung mukenah Maira, mendapati Maira yang tertidur dengan keadaan berdiri kala Gus Wafa hendak sudah ada di pembatas antara santri putra dan putri.
Gus Wafa yang membawa semprotan berisi air itu terlihat menyemprotkan air-air tersebut kepada santri putra yang tertidur kala wiritan. Gus Wafa sudah biasa melakukan rutinitas ini, jadi semua santri tidak keget lagi.
Maira yang berada di posisi depan itu, otomatis menjadi pusat incaran Gus Wafa untuk disemprot. Apalagi di shaf paling depan hanya Maira saja yang berdiri, sudah berdiri namun tetap tertidur. Gus Wafa menyemprotkan air pas di sasaran, yakni wajah Maira yang dengan nyaman tertidur waktu wiritan subuh.
"Ada apa ini? Hujan?" kata Maira sambil membuka matanya, ternyata bukan. Maira langsung menatap Gus Wafa yang ada di tengah-tengah pembatas sedang menyemprotkan air kepada wajahnya.
"Dasar, manusia menyebalkan. Kenapa harus gini, sih? Mai malu tau enggak, sumpah pengen Mai tampar itu muka," batin Maira sambil menatap Gus Wafa dengan tatapan sinis.
To Be Continue
Janlup vote komen, makasiii😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Hug Me When Halal (END)
Ficção Adolescente📚Teenfic-Spiritual "Terima kasih, sampai detik ini gus masih baik banget sama Maira. Maira enggak pernah nyangka kalau gus masih mau nolongin Maira. Maira tau semuanya tentang apa yang membuat gus menjauh dari Maira. Kita sama-sama berkorban, ya...