📙15. Mengalah?

195 7 0
                                    

"Sudah ada, Wafa juga lumayan tau wanita itu siapa."

Kyai tersenyum manis, menghela napasnya pelan lalu kyai menyuruh Wafa agar menjelaskan isi mimpinya itu. Wafa menghela napasnya pelan lalu tersenyum.

"Tadi sehabis subuh, Qamar ke rumah dan bicara sama Wafa, kalau Qamar mimpi Wafa kitbah seorang gadis yang masih saudara sama Qamar dari silsilah Ibu Qamar. Kata Qamar, dia melihat saya dalam mimpinya sedang salaman sama Paman Qamar, nama pamannya itu Rahmat. Alhasil, Wafa sama Qamar menyimpulkan kalau jodoh Wafa ada di Pamannya Qamar," kata Wafa panjang lebar, memang Qamar bermimpi seperti itu. Wafa pun percaya, karena hasil istikharah itu bisa dijawab dari mimpi orang lain atau kencondongan hati.

"Rahmat? Kakek kenal dia, dia sering sumbangin material buat renovasi di pesatren sini. Kakek ingat, Rahmat punya anak perempuan tapi dia masih MTs kelas 8. Atau Rahmat punya anak gadis lagi, Waf?" tanya kyai dengan santai, sedangkan Wafa jantungnya sudah mendadak berdetak kencang.

"Dia punya anak gadis lagi, tapi bukan anak kandungnya. Dia anak dari kakak istrinya Paman Rahmat. Berhubung kakak istrinya Paman Rahmat meninggal, jadi gadis itu tinggal bersama Paman Rahmat," kata Wafa dengan lancar, Wafa mengetahui hal tersebut dari Qamaria.

"Siapa dia? Kamu kenal dengan gadis itu atau kamu masih sama sekali belum mengenalnya?" tanya kyai dengan nada serius, atmosfer serius menyelimuti wajah kyai.

"Dia santri di sini," kata Wafa dengan tangannya yang gemetar itu, kyai tersenyum dan menepuk pundak Wafa.

"Mimpi Qamar ada hubungannya dengan mimpi kakek. Kakek mimpi, kamu berdebat dengan Yusuf untuk meminang gadis tersebut. Kakek sudah tau bagaimana gadis itu, sekarang pilihanmu sendiri bagaimana Waf. Mengalah dengan Yusuf atau tetap meminangnya," kata kyai membuat Wafa langsung tersontak, Wafa menelan salivanya sendiri ia dilema sekarang.

"Wafa tidak bisa memutuskan sekarang, Wafa masih butuh waktu. Mingkin, Wafa akan sholat istikharah lagi untuk yang ke berapa kalinya." Wafa tersenyum manis setelah itu kepada kyai.

"Kakek serahkan kepadamu, Waf. Kakek percaya, apapun pilihan kamu itu adalah keputusan yang terbaik."

🕊🕊🕊

Wafa membuka pintu kamarnya dengan wajah lemas, sebenarnya ia sedikit teekejut kala mendengar ucapan kyai tadi, apalagi ketika hasil iatikharah Wafa sudah jelas namun hasil istikharah kyai bertolak belakang dengan hasil Wafa.

Sebenarnya, Wafa sudah mengatur apa yang akan ia lakukan beberapa hari kedepan ini, salah satunya adalah mengkhitbah gadis hasil istikharahnya itu sebelum pindah tugas ke pesantren Al-Ulum. Entah mengapa Wafa sangat yakin apabila gadis itu adalah Maira, santri baru yang membuat Wafa mengenal arti sebenarnya mencintai dalam riuh doa sepertiga malam.

"Maira, wanita yang datang ke kehidupan Wafa dan Wafa bisa menerimanya dengan secepat kilat. Kenapa hati Wafa secondong ini dengan Maira ... Di sisi lain Wafa harus mengalah, bisa jadi Maira adalah jodoh Yusuf dan jodoh Wafa adalah putri kyai pesantren Al-Ulum yang akan dijodohkan dengan Wafa, dia gadis pilihan umi," kata Wafa lalu mengusap wajahnya prustasi. Baru kali ini dia merasakan cinta serumit ini.

"Apa mungkin dengan adanya pindah tugas ini, supaya aku bisa jauh dari Maira dan bisa mengenal lebih putri kyai di sana. Aku gak boleh berpikir negatif soal ini, harus ambil hikmahnya. Allah pasti sudah mengatur semua ini. Daripada aku mikirin ini, lebih baik mengkemasi barang-barang untuk besok."

Wafa membuka lemarinya, memasukkan baju dan barang-barang penting lainnya ke dalam koper. Tak lupa ia memasukkan kitab-kitab pentingnya ke dalam kardus untuk dibawa besok. Wafa berjalan menuju ruang tamu kala ada yang mengucap salam sambil mengetok pintu. Wafa menjawab salam sambil membuka pintu rumah.

"Ya Allah, Umi kangen sama kamu Wafa. Kamu sehat?" tanya Uswa sambil memeluk Wafa dengan erat, ia rindu dengan putra semata wayangnya itu.

"Alhamdulillah, sehat. Umi sama abi gimana? Sehat juga?" tanya Wafa sambil mencium tangan mereka bergantian.

"Alhamdulillah, Abi sama umi sehat kok," kata Habibi sambil menepuk pundak Wafa pelan lalu tersenyum.

"Masuk dulu, yuk."

Mereka masuk ke dalam rumah dengan tersenyum bahagia, Uswa langsung memutuskan untuk ke kamar dan mandi, ia sangat lelah setelah melakukan perjalanan jauh. Sedangkan Habibi langsung duduk di ruang keluarga sambil rebahan santai di sofa, Wafa bergerak ke dapur untuk membuat kopi.

"Nih, Bi. Minum kopinya," kata Wafa sambil meletakkan secangkir kopi di meja.

"Iya, Waf. Makasih yaa. Oh iya, ngomong-ngomong kamu memang mau pindah tugas ke pesantren Al-Ulum, ya?" Wafa mengangguk pelan sambil duduk di samping Habibi.

"Abi harap, kamu di sana tetap menjadi totalitas seperti kamu di pondok sini. Yang kerasan di sana, anggap rumah sendiri. Tapi, Abi yakin kamu bisa kerasan di sana. Di sana, kan ada Rara," kata Habibi, diakhiri dengan terkekeh kecil lalu meminum kopi buatan Wafa tadi.

"Rara siapa?" kata Wafa menatap mata Habibi dengan wajah aneh.

"Humaira Az-Zahrah, lebih akrab dipanggil Ning Rara. Putri kyai sana yang kabar-kabar mau dijodohkan sama kamu, itu semua atas usulan umi. Abi enggak ikut-ikut, kalau kamu setuju ya Abi ikut, begitu pula sebaliknya. Memangnya, kamu siap nikah Waf?" tanya Habibi terdengar serius, Wafa menghela napasnya pelan lalu tersenyum tipis.

"Wafa siap kalau nikah sama hasil istikharah Wafa, kalau sama dia Wafa masih sedikit ragu," kata Wafa dengan mantap.

"Siapa? Santi di sini?" tanya Habibi sambil meletakkan secangkir kopinya di meja, Wafa mengangguk pelan.

"Almaira, dia sederhana dan penyayang. Dia mungkin bukan termasuk tipe Abi sama umi. Abi sama umi pasti berharap kalau Wafa nikah sama putri kyai, paham agama dan ilmunya sama dengan Wafa. Dia berbanding terbalik dengan semua itu ... Wafa ingin menuntunnya dan membuatnya menjadi lebih baik. Tidak salah, kan?" kata Wafa dengan jujur, membuat Habibi terkekeh pelan.

"Tidak ada salahnya, niatmu baik. Jika kamu yakin, pinang saja dia, ajak dia menikah. Jangan terlalu lama, Abi takut kamu keduluan sama yang lain, soalnya Abi udah pernah ngerasain yang kayak gitu. Dan, hal itu gak boleh terjadi sama kamu, Waf," kata Habibi sambil menepuk pundak Wafa. Wafa tersenyum tips.

"Masalahnya, gini. Kalau Wafa pinang dia, Wafa takut di antara Wafa sama Yusuf ada masalah. Wafa enggak mau di antara kita ada masalah karena satu wanita," kata Wafa lalu tersenyum getir setelahnya.

"Mimpi Qamar ada hubungannya dengan mimpi kakek. Kakek mimpi, kamu berdebat dengan Yusuf untuk meminang gadis tersebut. Kakek sudah tau bagaimana gadis itu, sekarang pilihanmu sendiri bagaimana Waf. Mengalah dengan Yusuf atau tetap meminangnya."

"Wah, sulit kalau udah gini. Kamu tunggu kabar dari Yusuf, apakah dia ingin meminang Maira atau tidak. Jika iya, ikhlaskan saja. Abi sarankan kamu yang mengalah, Waf. Mau bagaimanapun, kamu harus berkorban demi perasaan orang lain. Allah sudah janjikan kebahagiaan di setiap Hamba-Nya. Jangan putus asa."

"Wafa enggak bisa mengalah kalau sudah berhubungan sama perasaan, Bi. Tapi, Wafa bakalan usahain biar secepatnya Wafa bisa lupain Maira dan segera pindah ke pesantren Al-Ulum," batin Wafa.

T B C

Janlup votmen, semoga menghibuur. Papaay🤗

Hug Me When Halal (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang