Pemberantas Iblis

8 0 0
                                    

 Happy Reading guys.

Cerpen Bersambung

Pemberantas Iblis

Rate: 18+

Fantasi, Horor, Misteri, Romance.

***

Malam begitu deras bercampur petir yang terus menerus menyambar. Aku di rumah sendirian dan juga tanpa ada tetangga di sekitar rumahku. Sebab rumahku ini berada di tengah-tengah hutan, jauh dari pemukiman warga. Namun, aku tidak takut hidup sendirian di sini dan juga aku sering banget pergi ke pemukiman untuk mengobrol santai ke warga. Sekaligus belanja di supermarket.

Rumah ini peninggalan kakekku dan mewariskannya padaku sebab aku salah satu ahli waris kakek. Bisa dikatakan aku ini anak paling beruntung bisa bertemu dengan kakek baik dan mengajarkanku bela diri serta menebas hantu menggunakan pedang terkutuk bernama "Arimara Sanya". Namaku sendiri.

Ngomong-ngomong namaku ini terdengar cowok padahal cewek, haha dan aku sering dipanggil Sanya. Kalau Arimara sebenarnya aku suka nama itu akan tetapi aku lebih suka di panggil Sanya daripada Ari.

Knock! Knock!

Suara ketukan pintu utama terdengar membuat dahiku berkerut, keheranan. Di luar masih hujan begitu lebar bercampur petir. Curah hujan begitu tinggi malam ini dan pastinya pinggiran desa akan mengalami longsor lagi.

"Sebentar." kataku bangkit berdiri.

  Kenop pintu kubuka dan melotot melihat ada seorang pemuda penuh luka di tubuhnya dengan darah banyak keluar. Aku nyaris berteriak dengan segera aku mengambil kain yang ada di keranjang terdekat mencoba untuk menutupi luka yang dalam sehingga menyebabkan darah terus mengucur deras. Jika tidak ditangani dengan cepat, nyawa pemuda ini akan berbahaya.

"Astaga! Dalam banget lukanya." pekik-ku melihat goresan luka yang menganga lebar. Aku segera menutupinya dengan beberapa helaian kain-kain perca yang ku kumpulkan bertahun-tahun.

   Seharusnya kain-kain perca tersebut ingin ku buat baju yang bagus. Namun, diriku belum menguasainya begitu baik. Setelah berhasil ku tutupi lukanya, aku membawanya ke dalam sesekali guntur berbunyi begitu keras.

Duar!!

"Nafasnya mulai melemah." gumam-ku melihat pemuda berambut putih dan terdapat beberapa helaian rambutnya berwarna ungu gelap.

"Apa aku bisa menyelamatkannya?" gumam-ku pada diri sendiri. Bangkit berdiri mengambil peralatan obat dan juga mengambil bahan-bahan ajaib untuk menstabilkan kesehatannya.

3 hari sudah berlalu dan pemuda tersebut belum sadarkan diri. Dan tiga hari ini aku mendadak menjadi seorang dokter walau aku sendiri tidak tau menahu cara merawat pasien di ujung kematiannya. Aku melakukannya sebisaku. Syukurlah, tuhan menyelamatkan pemuda ini.

   Aku menaruh telapak tanganku ke dada bidangnya, merasakan kalau detak jantungnya mulai stabil. Kemudian telapak tanganku memegang dahinya, tidak panas dan stabil lalu wajahku mendekat ke wajahnya ingin mengecek nafasnya sudah stabil atau belum.

Siapa sangka pemuda itu bangun dari tidurnya dan berteriak.

"AAAAAA! Kau mau apa padaku?!"

  Sontak aku terkejut dan melompat mundur melihat ia langsung terbangun duduk. Menatapku syok. Aku kira dia langsung diam setelah melontarkan kalimat refleksnya menudingku yang tidak-tidak.

Keterlaluan!

Namun, kenyataanya ia tetap mengomel dan membuat suasana menjadi riuh di tengah hutan ini. Ia terus menerus menudingku melakukan tindakan hal senonoh padahal aku sudah merawatnya dengan cara tradisional. Tidak menggunakan alat medis, namun, menggunakan alat seadanya.

"Jangan-jangan selama ini Kau—" ucapnya segera ku potong dengan cepat.

"Dasar otak udang! Mana mungkin aku melakukan itu! Dasar mesum!" protes ku menatap dirinya begitu tajam. Lihatlah dia!

  Dia memiliki tubuh yang sempurna serta manik mata ungu begitu indah, wajah lumayan tampan. Namun, semuanya cacat karena dia memiliki otak mesum penuh gelembung.

"Kau laki-laki tidak berguna! Tidak bilang terima kasih malah menuduhku yang tidak-tidak!" kataku lagi padanya.

"Wah wah. Harusnya aku ini ditolong sama kakek-kakek di sini bukan dirimu." katanya yang berharap ditolong sama kakek-kakek bukan berharap ditolong sama putri atau ratu.

Oh kenapa aku berpikir begitu? Dia kan nggak waras?—batinku ngedumel.

"Harusnya aku kemarin tidak menolong mu. Harusnya aku tinggalkan kamu di depan pintu itu dan membiarkanmu sekarat hingga malaikat mencabut nyawamu serta membawamu ke neraka. Puas lu!" ucapku panjang lebar dan menuding tempat aku menemukannya di sana.

***

"Aku tidak percaya kalau aku sekarat." jawabnya membuat mataku mendelik dan tidak habis pikir.

Mulutnya ini ingin sekali ku tutup selamanya dan menjadikan dirinya hewan peliharaan. Memang aku ini kejam. Ah tidak, kakekku bilang aku tidak kejam sebab aku dibesarkan oleh kasih sayang dan kasar ku ini terlahir akibat cacian maki orang-orang yang rendah.

Bahasa ku terlalu kasar, soal ini.

"Apa kau orangnya kuat? Biar ku tebak. Kau sekarat karena melawan hantu tingkat 5, genderuwo. Kebetulan banyak sekali di hutan ini sosok genderuwo dan juga memiliki tingkat level berbeda." kataku tertawa terbahak-bahak.

"Darimana kau tau soal itu?" tanyanya.

"Tau lah. Karena aku penebas hantu." ucapku dan sialnya dia malah mengejekku serta tidak percaya kalau aku penebas hantu.

  Akibatnya aku mengeluarkan kertas bertuliskan mantra hukuman yang jika apa yang aku inginkan akan dituruti semua perkataan ku. Serta ia tidak bisa membantah ucapanku alias kalimatnya menjadi "Telur dan Daging". Dua kata tersebut memiliki arti bahaya, Telur bahaya manusia sedangkan Daging bahaya dari hantu.

Selain kata itu, dia bisu.

   Kertas itu menempel ke mulutnya dan pada akhirnya pemuda tersebut menjadi bisu. Tidak bisa berbicara sama sekali membuatku tersenyum sumringah, penuh kemenangan.

"Bagaimana rasanya hmm? Memang enak tidak bisa bicara. Aku sebenarnya kasihan tapi mau gimana lagi. Bicaramu tidak disaring. Tapi tidak apa-apa, kamu bisa bicara telur dan daging hanya keadaan genting saja." ucapku panjang lebar. Mata ungunya terbelalak tidak percaya.

Ia memintaku mengembalikan sedia kalah akan tetapi diri ini tidak bisa sebab aku belum bisa melepaskan mantra hukuman. Kakek dulu tidak sempat mempelajari ku melepas mantra hukuman dan memang mantra itu buat melayani tuannya.

Mantra kutukan.

"Kalau gitu. Kita kan tadi tidak sempat kenalan akibat mulut bejatmu itu. Jadi ku panggil Murana Satya." kata ku tersenyum sumringah.

"Aku Arimuna Sanya. Kau Murana Satya. Kita beda tipis. Terutama rambut.  Aku ungu putih kamu putih ungu." kataku dan Satya memegang rambutnya serta memerhatikan rambut ku.

***

Bersambung...

Kumpulan Cerpen (Kembali update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang