17. ujung jalan

7 2 0
                                    

EHHH! HAPPY 300 READER YA GES YA😍

     

                                  ***

Nathan dan Gibran berdiri di depan tubuh lemah seorang laki-laki yang memiliki luka di sekujur tubuhnya. Mereka tadi menjumpai Alta dengan luka yang tak biasa, sangat parah. Dan, untuk ke sekian kalinya, Nathan membawa Alta ke tempat ini dengan keadaan babak belur.

Mereka menatap Alta yang masih memejamkan matanya dengan kepala Alta yang di perban karena benturan ke lantai yang cukup parah.

"Nasib lo gini banget," cicit Gibran dengan suara pelan. Ia kasihan melihat sahabatnya itu harus mendapatkan luka seperti ini berkali-kali. Memiliki banyak musuh, memiliki Ayah yang sangat gila, memiliki saudara tiri yang ternyata adalah musuhnya sendiri. Malang sekali.

BRAK

Pintu apartment Alta di buka dengan kasar dan mendapatkan Raisa yang berjalan masuk sambil menahan amarahnya itu. Ia mendekati ranjang Alta dan dengan itu, ia dapat melihat wajah tampan Alta yang sekarang penuh luka lebam. "HEH! LO TUH, YA! GUE UDAH BILANG JANGAN SUKA KAYAK GINI TETEP AJA NGEYEL! MASUKIN BAPAK LO KE PENJARA, KAN, BISA!"

Nathan dan Gibran yang melihat Raisa marah-marah di depan sosok Alta yang tengah tak sadarkan diri itu hanya bisa terdiam. Raisa akan melakukannya setiap ia mendapati Alta dengan keadaan seperti sekarang.

"Bangun gak lo! Gak bangun motor lo gue cat jadi warna pink ya!" ancam Raisa pada sosok Alta yang pastinya tidak akan menggubrisnya untuk saat ini.

Nathan yang melihat bahu Raisa sudah bergetar itu memilih untuk mendekati gadisnya itu. Nathan menarik Raisa dalam pelukannya dan mencoba menyalurkan kekuatan untuk Raisa.

"Gue cape liat dia kayak gitu terus, emang dia gak cape apa punya bokap yang udah bau tanah tapi gilanya Allahuakbar?" ucap Raisa dengan isakan kecil.

Nathan hanya diam dan mendengarkan semua ocehan Raisa. Ia paham, untuk saat ini Raisa hanya ingin didengar dan membutuhkan pendengar.

"Tau, ya, anjir! Gue kesel banget sama dia. Tinggal masukin penjara aja apa susahnya!" timpal Gibran yang juga kesal dengan Alta. Kalau dengan David, itu tak perlu ditanyakan lagi. Orang yang hanya tau kisah Alta tanpa pernah bertemu David juga pasti akan kesal.

Nathan hanya menatap Gibran dengan tatapan seolah meminta Gibran agar tidak membuat Raisa semakin tersulut amarah. Kemudian Gibran diam.

Alta mengerjakan matanya untuk menyesuaikan dengan cahaya yang akan masuk, ia telah siuman. Matanya langsung menjumpai Raisa, Nathan, dan Gibran berdiri di samping ranjangnya.

Raisa yang melihat sepupu satu-satunya itu telah sadar, ia menghapus kasar air matanya sebelum berucap, "lo kenapa bisa gini lagi?"

Alta tersenyuk getir. "Biasa," jawabnya singkat.

"Sorry gue ngerepotin kalian terus," ucap Alta dengan tulus. Ia merasa tak enak jika harus selalu merepotkan orang lain.

Dengan cepat, Nathan menggeleng. "Gue akan ngerasa direpotkan kalau lo gak ngabarin kita di saat lo kayak gini"

Alta terkekeh, kemudian ia mencari keberadaan ponselnya yang ternyata berada di meja nakas samping ranjangnya. Dahinya mengernyit melihat beberapa panggilan tak terjawab dan ada beberapa pesan dari Novan.

Novan: bang, markas kita diserang

Alta membuang nafas kasar. Pesan itu baru dikirimkan di menit yang sama saat ini. Ia belum terlambat.

"Markas diserang, kalian ke sana," titah Alta sambil menatap kearah 3 orang lainnya dengan tatapan serius.

"Lo di sini sendirian?"

ALTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang