19. Dia

6 1 0
                                    

Alta mengendarai motornya memasuki halaman luar pemakaman kota. Saat ini, ia ingin mengunjungi rumah abadi Alya. Sudah lama rasanya ia tidak mengunjungi rumah Alya. Alta menyempatkan diri untuk membeli buket bunga Lily ungu ke sukaan Alya.

Dengan senyum yang mengembang, Alta memasuki daerah pemakaman. Menyusuri tiap blok pemakaman. Melalui banyak makam. Hingga akhirnya, ia sampai di blok paling ujung.

Senyum Alta semakin mengembang melihat makam Alya yang terawat dan tampak sangat rapi. Tak ada yang berubah dari waktu kunjungan terakhirnya, hanya ada beberapa daun-daun kering di atas permukaannya.

Setelah puas memandangi nisan Alya dan seakan ia tengah melihat Alya tersenyum bahagia, Alta jongkok di samping makam Alya. Tangannya bergerak untuk membersihkan daun-daun kering yang berguguran di permukaan makam Alya.

Kemudian, tangannya terangkat untuk menaruh buket bunga yang sejak tadi ia pegang. Setelah itu, ia mengusap lembut nisan yang bertuliskan 'Alya Pranindata'.

"Nama yang cantik untuk orang yang cantik," gumam Alta masih sambil tersenyum, "hai, Alya! Gue dateng ke sini. Lo seneng gak?" Sapanya.

"Al, lo tau? Papa gue nikah lagi dan gue punya saudara tiri. Namanya Rean, Rean itu sebenernya musuh gue. Gue gak suka sama Rean tapi keadaan yang buat gue harus ketemu dia setiap hari," seloroh Alta. Alta sudah sangat biasa curhat di depan makam Alya. Baginya, raga Alya memang pergi, tapi jiwa Alya masih ada ketika ia berkunjung ke makam Alya. Semuanya terasa begitu nyata. Alta selalu merasa ada Alya jika dia mengunjungi makam Alya. Alta merasa ketika ia curhat tentang apapun di makam Alya, Alya akan mendengarkan semuanya. Terkadang, ntah hanya halusinasinya semata ataukah memang kenyataan, ia merasa ada usapan hangat di punggungnya ketika ia menangis di depan makam Alya.

Alta tersenyum sendu sembari mengusap nisan makam Alya. "Alya, lo tau? Gue ketemu sama orang yang sifatnya kayak lo. Gak mau terlihat lemah walau gue tau dia lagi di posisi lemahnya. Gue ketemu dia waktu hujan, dia takut hujan, Alya. Beda sama lo yang justru semakin seneng kalau hujan." Alta menjeda ucapannya sejenak. Tiba-tiba saja ia berpikir, apakah Alya akan marah jika dirinya membahas wanita lain? Semoga tidak.

"Tapi, Alya.... gue sayang sama dia. Boleh, gak?" Ada sedikit rasa sesak saat Alta mengatakan itu. Bayang-bayang wajah Meisya dan wajah Alya bersatu di benaknya. Dua wanita yang sangat ia jaga terlihat sedang tersenyum bahagia seakan tidak memiliki beban hidup sama sekali.

"Semua orang berhak mencintai dan dicintai." Suara Alya tiba-tiba saja terdengar. Alta geming. Ia mengingat sesuatu.

                              •••••

Sore hari di akhir tahun 2019 hujan mengguyur Ibu Kota dengan derasnya. Aroma eksotis khas tanah menjadi aroma yang paling Alya sukai. Terbukti, di sore hari dengan langit yang menangis kali ini, Alya duduk di bangku yang berada di teras rumahnya.

Ia menatap hujan dan menghirup aroma tanah yang sangat khas baunya. Rintik-rintik hujan yang mengguyur tanaman rumahnya tampak sangat sejuk dan menenangkan.

Biasanya, di saat hujan mengguyur kota, Alta akan mengunjungi rumahnya untuk berbincang ringan ditemani dengan teh manis buatan Alya. Tapi kali ini, Alta belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Alya jadi sedikit heran. Kemana perginya Alta hingga tidak muncul di hujan sore hari kali ini?

Di saat Alya tengah berpikir, suara deru motor terdengar dan menampakkan pemiliknya. Seorang yang masih menggunakan helm full face itu melambai ke arah Alya. Alya tau orang itu. Orang yang ke hadirannya ia tunggu sedari tadi. Alta.

Alya tersenyum kemudian membalas lambaian tangan Alta. Sesaat kemudian, Alta sudah memasuki halaman rumah Alya dengan motornya yang ia biarkan di luar. Alta tersenyum, begitu juga dengan Alya. "Kenapa di luar?" Tanya Alta.

ALTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang