Bab 7: What is Love?

45 8 4
                                    

"Lo emang nggak bisa ngatur buat suka sama siapa. Tapi lo bisa nahan diri. Biar nggak terjebak sama perasaan-perasaan yang nantinya bisa bikin lo hancur."

-Clara-

🎶

Tio berjalan menuju ke kantin. Sebenarnya dia tidak ingin kembali ke sana, tapi dia sudah memesan makanan. Bisa-bisa Marvin mengamuk jika dia membuang-buang makanan.

Pemuda itu tak mengerti dengan sikap sahabatnya. Bukankah biasanya orang kaya itu suka menghambur-hamburkan uang???

Seperti dugaanya. Bakso dan pop ice yang dia pesan sudah dihidangkan.

Tanpa banyak kata, ia pun langsung duduk dan bergegas menyantap makanannya.

"Ada apa?" tanya Juna saat menyadari Tio telah kembali.

Pemuda itu hanya mengedikkan bahu.

Juna mengembuskan napas berat. Merasa sedikit kecewa karena teman satu band-nya itu tidak terbuka padanya.

Masih enggan membuka suara, Tio meraih mangkuk plastik berisi sambal dan mulai menyendokkannya. Biasanya hanya 3 sendok, tapi kali ini dia sudah memasukkan sendok ke lima.

Saat ingin memasukkan sendok ke enam, Marvin meraih tangannya. Berusaha menghentikan.

"Perhatiin juga kesehatan lo," ujarnya lembut.

Tio menghela napas panjang dan menurut.

Sebenarnya ia tidak berselera makan. Tapi ia butuh menaikkan hormon serotonin. Yang salah satunya bisa dihasilkan dari makanan pedas.

Meja yang biasanya rame itu kini mendadak menjadi dingin. Tidak ada yang mau membuka suara.

Alan yang sedari tadi diam, kini berusaha memecah keheningan. "Bisa nggak, lain kali kalo mau tampil selain penampilan inti kabar-kabar dulu?"

Marvin tersentak mendengar penuturan pemuda berdarah campuran itu. Tapi dirinya juga tidak bisa menyalahkan, karena ia bisa memahami perasaan Alan dan Juna yang bisa saja merasa tak dianggap.

"Nggak ada kata lain kali," jawab Tio dingin.

Lagipula mau tampil buat siapa??? Mereka sudah putus. Dan sepertinya dia pun tidak lagi bersemangat menjalin hubungan dengan orang lain.

Pemuda itu memohon dalam hati, agar perbincangan tersebut jangan dibahas dulu. Saat ini perasaannya tengah kalut. Ia tidak mau lepas kendali.

Juna yang ikut kesal mendengar penuturan Tio menimpali, "Ya kan kita nggak bakalan tahu apa yang bakal terjadi nanti. Sekarang mungkin lo nggak ada rencana. Tapi siapa yang tahu ke depan?"

Pertahanan Tio runtuh. Ia merasa tidak bisa bersabar lagi.

"Gue cuma nggak mau ngerepotin lo berdua. Apalagi cuma demi cewek." Suara pemuda itu sedikit meninggi.

"Ya kan apa salahnya ngabarin. Kalo kita keberatan juga pastinya bakal nolak." Juna pun ikut tersulut.

"Kita cuma pengin keterbukaan. Kalo kayak gini tuh rasanya keberadaan kita tuh nggak lo anggep," jujur Alan.

Suasana kian memanas.

Marvin merasa serba salah. Di satu sisi dia tahu teman-temannya yang lain merasa kecewa. Di sisi lain dia juga tahu keadaan Tio tidak sedang baik-baik saja. Salah menggunakan kata-kata bisa membuat semuanya semakin runyam.

"Iya, lain kali kita usahain buat saling terbuka. Tapi gue minta sekarang, please jangan bahas ini dulu. Mood Tio lagi nggak baik. Gue nggak pengin kita ribut gara-gara masalah yang sebenarnya bisa diselesain dengan kepala dingin." Marvin berusaha menenangkan ketiga kawannya.

Serenade untuk YasmineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang