High Hopes XIX

873 93 20
                                    


"Kakak gak cape?"

Taehyung menggeleng.

Figurnya yang berdiri tepat di hadapan Jungkook dengan cahaya senja yang menerpa tubuhnya dari belakang, kaki Jungkook dibuat diam tepat di depan pintu rumahnya sendiri. Jungkook agaknya masih mengagumi ketampanan si Kakak yang hari ini entah mengapa terlihat sangat menyala. Padahal mereka sudah berjalan dari pagi sampai sore, mungkin sudah mengelilingi seluruh sudut kota Seoul. Namun, Taehyung tetap tidak kehilangan pesonanya. Ia tetap nampak sangat tampan sekalipun dengan wajah yang sudah terlihat agak berminyak pun masih tetap wangi. Tadi aroma mobilnya hampir dipenuhi oleh wangi parfum Taehyung yang begitu maskulin, mengalahkan parfum Jungkook yang ringan dan segar.

"Kenapa?" Taehyung angkat alis, heran.

Suara Taehyung juga, baritone, lembut dan menenangkan. Jungkook menggeleng, kemudian menunduk.

Taehyung juga menyetir sepanjang hari, sebab Jungkook tidak bisa melakukannya. Mungkin ia sudah sangat lelah sekarang sekalipun wajahnya biasa saja. Mungkin lengannya pegal dan punggung kakaknya itu juga sakit, sebab terlalu lama di depan setir mobil apalagi dengan postur duduk tegak yang seperti sudah terbiasa ia lakukan, tipikal atlit sekali. Mungkin kaki kakaknya itu juga sakit sebab ikut berjalan ke sana kemari mengikuti dirinya yang sangat terhibur dengan mall yang mereka datangi tadi. Mungkin uang tabungan kakaknya itu hampir habis untuk memanjakannya sepanjang hari. Mulai dari makan, minum sampai jajan yang entah tidak Jungkook hitung jumlahnya.

Gapapa, 'kan ayahku kaya.

Kalimat itu terus keluar dari mulutnya ketika Jungkook mengajukan keberatannya terhadap semua kebaikan Taehyung dalam bentuk traktir itu.

Gapapa, aku ingin. Jangan tolak aku.

Dan Jungkook tidak bisa apa-apa jika Taehyung sudah bicara begitu, wajah cemberutnya karena kalimat pertama Taehyung yang terlalu ringan pun ia hilangkan.

Taehyung selalu begitu, di tiap kesempatan yang ia punya. Dari pertama kali bertemu dengan Jungkook sampai dengan detik ini. Taehyung tidak pernah ragu pun tidak pernah berkata tidak padanya. Maka berbagai macam hal yang tiba-tiba muncul di dalam kepala Jungkook, ketika ia melihat sosok Taehyung yang berdiri di hadapannya kontan buat ia agaknya merasa terharu.

"Kook?"

Taehyung merunduk, mencoba melihat wajah yang disembunyikan itu. Yang berusaha dilihat pun mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu, Taehyung lihat bola mata Jungkook mendadak lembut. Menatapnya dengan alis yang agak turun dan binarnya seperti sedang berkata bahwa ia sedang kewalahan.

Taehyung khawatir.

"Hei, ada apa?"

Ia kontan mendekat, mencoba meraih bahu Jungkook. Namun Jungkook melangkahkan kakinya lebih cepat dengan tangan terbuka, lalu meraih tubuh Taehyung. Mendiamkan tangan di punggung Taehyung, tepat di atas belikat. Jungkook menenggelamkan wajah pada bahu Taehyung. Jungkook sadar dengan tinggi tubuh mereka yang hampir sama, maka ia tidak bisa menyembunyikan wajah malunya di dada kakaknya. Ia tau kakaknya terkejut, ia juga merasakan tubuh itu bergerak menjadi sedikit tegak hingga sampai pada posisi yang cukup nyaman untuk Jungkook rasakan. Jungkook hampir menangis ketika tangan Taehyung naik, mengelus surainya.

"Ada apa? Capek ya?"

Jungkook menggeleng, bergumam tidak apa-apa. Ia mengeratkan pelukannya, pada sosok yang begitu baik.

Sosok yang membuatnya merasa menjadi adik yang ia dambakan, yang membuatnya merasakan bagaimana bentuk kasih sayang seseorang selain ibunya. Sosok saudara yang sudah lama ia inginkan. Ia tidak pernah masalah soal adik atau kakak, tetapi ketika Taehyung hadir di hidupnya sebagai figur yang lebih tua, Jungkook tidak pernah tau kalau menjadi adik akan senyaman ini. Mungkin bukan sebagai adiknya, mungkin keberadaan dengan segala sifat Taehyunglah yang membuatnya senyaman ini untuk terus bertahan dengan harapan paling tinggi,

High HopesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang